-->

New Normal yang Abnormal

Oleh: Sri Ramayanti Bidari (Pemerhati Sosial)

Penamabda.com - Pemerintah Indonesia menggaungkan seruan berdamai dengan covid-19 dengan suatu tatanan yang dilabeli 'new normal' pada Kamis 7 Mei 2020 lalu.  'New normal' didefinisikan sebagai langkah percepatan penanganan covid-19 dalam bidang kesehatan, sosial, dan ekonomi. Masih segar dalam ingatan ketika awal pandemi ini melanda, pemerintah kita menyikapinya dengan sikap sangat santai dan terkesan berolok-olok. Namun siapa nyana Indonesia saat ini masuk dalam peringkat 10 dalam total jumlah kasus positif, dan peringkat 7 dalam kasus kematian. (Pikiran Rakyat.com). 

Jajaran pemerintah daerah merespon dengan cepat mandat dari pemerintah pusat. Kebanyakan daerah menerapkan new normal per 1 Juni 2020 dan sebagian mulai melonggarkan PSBB yang tengah diterapkan. DKI Jakarta menggunakan nama PSBB transisi, karena ingin tetap menekankan bahwa pandemi masih berlangsung. Walaupun hal itu diberlakukan untuk wilayah tertentu yang terkategori zona aman, namun tentu menimbulkan kerancuan di dalamnya. Karena antar wilayah pastinya akan saling terhubung dan berinteraksi dengan wilayah lain. 

Langkah pemerintah yang paling mencolok dalam persiapan 'new normal' adalah membuka pusat-pusat kegiatan ekonomi, tempat ibadah, berbagai moda transportasi, dan perkantoran. Bandara sudah dibuka kembali sejak awal Mei. Walau konon menerapkan berbagai ketentuan seperti harus melengkapi diri dengan surat keterangan perjalanan, surat terbebas dari covid-19, rapid test, dll namun tak sedikit penumpang yang kedapatan positif covid setelah usai mendarat dari penerbangannya.

Pembukaan Mall perdana ditandai dengan pembukaan Mall Summarecon Bekasi oleh Presiden pada tangal 26 Mei 2020, disusul oleh mall-mall lain pada tanggal 6 Juni 2020, termasuk pertokoan Pasar Tanah Abang, dan pasar-pasar tradisional. Pegawai BUMN berusia di bawah 45 tahun kembali masuk bekerja mulai tanggal 25 Mei 2020. ASN banyak yang tetap bekerja di masa PSBB, hanya mendapatkan pengurangan jam kerja. Kereta Api jarak jauh mulai diaktifkan kembali pada pertengahan Mei, sementara MRT beroperasi normal di awal Juni. Ojek online mulai diperbolehkan membawa penumpang per 8 Juni.

Saat ini jalanan ibukota sudah mulai mengalami rutinitas kemacetannya seperti sedia kala. Di tempat lain pun jalan-jalan sudah mulai ramai kembali, kendaraan dan pejalan kaki berlalu lalang. Tak jarang masyarakat mengabaikan protokol kesehatan. Mereka seolah mengekspresikan kebebasannya setelah 3,5 bulan hidup terkekang dalam masa social distancing. Berbagai macam alasan yang melatar-belakangi. Ada yang karena bersikap masa bodoh, kurang teredukasi, dan ada yang semata mengejar tuntutan ekonomi.

Adakah mereka tahu bahwa per hari ini posisi kurva covid Indonesia masih belum melandai ? Yang berarti gelombang pertama pandemi belum usai, bahkan belum lagi mencapai puncaknya. Data per Sabtu 20 Juni 2020 menunjukkan jumlah Positif sebanyak 45.029 jiwa, Sembuh sebanyak 17.883 jiwa, dan Meninggal Dunia sebanyak 2.429 jiwa. Sementara itu jumlah ODP mencapai 37.336 jiwa dan PDP 13.150 jiwa. (Detik.com) Sedangkan untuk wilayah Jawa Barat data per 15 Juni menunjukkan Depok sebagai wilayah tertinggi kasus terkonfirmasi positif sebanyak 587, disusul Bekasi 497, Kota Bandung 338, Kabupaten Bogor 217, Kabupaten Bekasi 196, dan Kota Bogor 124. (Ig Ridwan Kamil) Semua data ini menunjukan bahwa persoalan covid19 masih belum selesai dan belum kelihatan arah penyelesaiannya.

Pemerintah terkesan bersikeras menerapkan 'new normal'. Mungkin ini bisa dijelaskan dengan adanya ancaman resesi yang menghantui perekonomian Indonesia. Dengan rekor hutang negara yang luar biasa, ditambah dengan kelesuan sektor ekonomi di masa pandemi ini, Kementrian Keuangan memperkirakan pertumbuhan ekonomi Kuartal 2 akan ada di kisaran -3,1% dan semakin buruk di Kuartal 3. Syarat resesi adalah tumbuh negatif selama 2 kuartal berturut-turut. Salah satu langkah yang ditempuh adalah menggelontorkan anggaran jumbo dalam Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dan pelonggaran PSBB di awal Juni 2020. Menkeu berharap agar dengan langkah ini, resesi bisa dihindari dengan target mendekati 0% pada kuartal 3. Imbas dari masa pandemi ini adalah menurunnya tingkat konsumsi masyarakat karena menurunnya daya beli akibat lonjakan PHK, dan aksi menahan konsumsi, di mana pada kuartal 1 konsumsi memegang hampir 60% porsi PDB. (tirto.id)

Dan tentu ada kepentingan para kapitalis dibalik penerapan 'new normal' ini. Para pengusaha mall, industri hotel dan pariwisata tentu tak tinggal diam melihat investasinya berbuah sepi karena pandemi. Sehingga tanpa memperhatikan pertimbangan sains medis pemerintah berusaha memacu kembali tingkat konsumsi masyarakat, untuk memenuhi kembali pundi-pundi uang para kapitalis. Di tengah pandemi ini kita dapati pula impor buah, sayuran, garam, bawang putih, bawang bombay, dll semakin meningkat, padahal produksi dalam negeri kita baik-baik saja. Keberpihakan pemerintah kepada siapa jelas terlihat. Yang disayangkan, pemerintah enggan menarik dana dari kalangan pengusaha dalam menangani pandemi ini. Padahal mereka telah sekian lama mencari makan di tanah kita. Yang ada justru pemerintah sempat menghimbau percepatan pembayaran zakat agar bisa digunakan untuk meringankan beban ekonomi masyarakat terdampak pandemi. Dana pembukaan ibukota baru sama sekali tidak tersentuh untuk setidaknya membeli APD bagi tenaga medis.

Untuk kita ketahui, WHO sebagai badan internasional rujukan pandemi ini memberlakukan terpenuhinya 3 indikator untuk diterapkannya 'new normal'. 
Pertama, RO (basic reproduction number) wilayah tersebut di bawah 1, artinya tingkat penularan terjadi dari 1 orang kepada kurang dari 1 orang atau artinya tidak ada penularan.

Kedua, kapasitas sistem kesehatan yang adaptif dan memadai. Hendaknya maksimum 60% kapasitas bangsal RS diperuntukan bagi pasien covid19. Pasien baru yang datang harus di bawah angka 60% itu. 

Ketiga, Surveilans, pengujian masif dengan tes yang valid. 
 
Dari ketiga indikator WHO di atas jelas Indonesia belum layak menerapkan new normal. Namun Indonesia membuat indikator sendiri. Pemerintah pusat mengijinkan pemerintah daerah mempersiapkan new normal jika daerah mereka berada di level moderat/sedang dari 5 level yang diterapkan (krisis, parah, substansial, sedang, dan rendah). Para pejabat negara sontak disibukkan membuat paket SOP skenario new normal untuk berbagai bidang. Di antaranya sektor industri, pendidikan, restoran, akomodasi, tempat ibadah, dan transportasi. Hal ini diungkap Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto setelah rapat terbatas pada 18 Mei 2020 lalu.  

Penerapan 'new normal' disinyalir sebagai usaha negara menyamarkan kegagalan negara mengatasi pandemi covid-19. Pandemi covid-19 tak urung menjadi beban anggaran negara. Namun tanpa adanya pandemi ini pun perekonomian Indonesia sudah berada di ujung tanduk. Sehingga buruknya kinerja ekonomi rezim bisa dilimpahkan kepada covid-19. Penerapan 'new normal' yang menimbulkan respon reaktif kalangan medis dan akademisi menunjukkan bahwa kebijakan ini diambil lebih berat kepada pertimbangan ekonomi dan kepentingan para kapitalis bukan pertimbangan sains medis apalagi pertimbangan konstitusi dalam rangka memenuhi kewajiban negara melindungi seluruh rakyatnya dari berbagai ancaman, termasuk covid-19 ini.