-->

Bikin Kantong Kering! Kuliah Daring, Tapi UKT Tak Miring

Oleh: Elin Herlina (Aktivis Muslimah)

Penamabda.com - Pandemi Covid-19 membawa dampak dan dilema bagi sebagian besar masyarakat, termasuk juga bagi para mahasiswa. Perkuliahan yang dilakukan secara online karena masih merebaknya wabah, membuat para mahasiswa harus mengeluarkan biaya tambahan yang tak sedikit untuk membeli kuota internet. Biaya kuliah yang tetap harus dibayar, meski dilakukan secara daring. Sementara perekonomian keluarga kebanyakan dari mereka mengalami penurunan. Tidak adanya respon yang memadai dari pemangku kebijakan, membuat para mahasiswa bersuara menyampaikan tuntutannya, yaitu pembebasan atau relaksasi uang kuliah. 

Kondisi ini akhirnya membuat mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi di Indonesia melakukan aksi demonstrasi menuntut penurunan UKT, meski ditengah ancaman covid-19. Dengan tetap memberlakukan protokol kesehatan, menerapkan jaga jarak, memakai masker, sampai membawa hand sanitizer. Beresiko tentunya, tetapi ini harus disuarakan agar para pemangku kebijakan itu mau mendengarkan jeritan rakyat kecil. Jangan hanya menarik pajak, iuran atau biaya  ini itu, sementara hak rakyatnya tak dipenuhi.
Tidak hanya beraksi di lapangan, tetapi para mahasiswa itu juga memviralkannya di media sosial. Tagar MendikbudDicariMahasiswa dan #NadiemManaMahasiswaMerana bahkan sempat menjadi trending topik di jagad Twitter Indonesia berapa waktu lalu. 
Tagar ini ternyata dikomandoi oleh Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) yang menyuarakan beragam isu dalam dunia Pendidikan Nasional. Adapun tuntutan para mahasiswa ini dalam ranah perguruan tinggi adalah pertama, pembebasan ataupun relaksasi biaya kuliah atau UKT (uang kuliah tunggal). Kedua, yakni soal bantuan pulsa atau kuota internet, kemudian logistik dan kesehatan bagi mahasiswa yang tertahan di kos-an karena tidak bisa pulang.

Para mahasiswa mengeluhkan pembayaran UKT yang tetap harus dilakukan walaupun mahasiswa belajar secara daring di tengah masa pandemi. Mahasiswa menyuarakan keberatannya karena selama pandemi mereka tidak bisa memanfaatkan fasilitas kampus sebagaimana semestinya, seperti gedung perkuliahan, perpustakaan, laboratorium, dsb.

Bahkan ada beberapa kampus yang menaikkan UKT walaupun kebijakan ini diputuskan sebelum masa pandemi. Mahasiswa merasa hal ini bisa dibatalkan sebab dimasa pandemi perekonomian rakyat yang semakin sulit. Harusnya kampus, terutama pemerintah bisa memberikan kebijakan yang memudahkan mahasiswa untuk tetap bisa menuntut ilmu, walau di tengah situasi sulit seperti sekarang ini. Bukan malah menambah beban.

Perkuliahan selama pandemi ini memang banyak dilakukan secara daring. Dan untuk bisa mengikuti perkuliahan secara online, mahasiswa tentunya harus memiliki kuota internet, yang itu dibeli dengan biaya sendiri. Mereka harus menganggarkan uang yang tak sedikit untuk bisa mengikuti kuliah online. Belum lagi untuk mengerjakan tugas-tugas kuliah lainnya yang mengharuskan tambahan ongkos. Hal ini tak pelak membuat kantong mereka kering. Beragam gambar yang menunjukan keluhan tersebut diupload oleh warganet. 
Sejak lama memang dirasakan UKT ini membebani keluarga mahasiswa, apalagi saat pandemi covid-19 yang menyebabkan banyak keluarga mahasiswa terdampak hingga mereka tidak mampu membayar sejumlah nominal UKT yang telah ditetapkan. Sayangnya demo mahasiswa di sejumlah perguruan tinggi tersebut tidak mendapatkan respon, padahal dengan diberlakukannya kuliah daring mahasiswa juga mengeluarkan biaya besar untuk beli kuoata internet.

Mereka juga tidak menggunakan sarana prasarana kampus untuk kuliah, praktikum dll. Lalu mengapa harus tetap bayar UKT? Bahkan 4 empat skema keringanan pembayaran UKT yang dikeluarkan tetap saja membuat orang tua mahasisiwa harus melunasi kewajibannya itu sekalipun dengan mekanisme penundaan pembayaran. Cicilan UKT seolah-seolah terdengar sangat membantu mahasiswa, namun tetap saja ketika pandemi ini selesai UKT-nya harus tetap di bayar.

Sebelumnya, Ketua Majelis Rektor Perguruan Negeri Indonesia Jamal Wiwoho menyatakan bahwa mahasiswa PTN bisa mengajukan permohonan keringan UKT atau SPP selama corona kepada pihak kampus. Keringanan yang dimaksud mengacu pada pembebasan sementara, pengurangan, pergeseran klaster, pembayaran berangsur, dan penundaan pembayaran UKT (kompas.com - 05/06/2020). 

Empat skema keringanan pembayaran UKT yang dikeluarkan oleh Plt. Dirjen Perguruan tinggi Kemendikbud tetap saja membuat orang tua mahasiswa harus melunasi kewajibannya itu sekalipun dengan mekanisme penundaan pembayaran, pencicilan pembayaran, ataupun menurunkan level UKT. Kalaupun ada beasiswa, itu tidak bisa dinikmati oleh seluruh mahasiswa karena syarat dan ketentuan tetap berlaku (kompas.com - 05/06/2020).

Realitas pendidikan tinggi saat ini dengan mengemban sistem kapitalis sekuler yang dianut oleh Indonesia, memaksakan sejumlah PTN untuk menjadi dan sedang berproses menjadi BHMN (Badan Hukum Milik Negara). Ini artinya Perguruan Tinggi Negeri tersebut harus mencari biaya sendiri dan tidak ditanggung oleh Negara dalam memenuhi kebutuhaannya. 
Konsekuensinya, mahasiswa harus menanggung semua biaya perkuliahan uang kuliah tunggal (UKT) yang diberlakukan sejak 2013 lalu. Meski kebijakan ini disesuaikan dengan tingkat sosial ekonomi mahasiswa, namun dirasa tetap memberatkan karena kondisi pandemi yang berdampak besar pada semua sektor kehidupan.

Seharusnya, penguasa memperhatikan kesulitan rakyat yang semakin parah di tengah pandemi Covid-19 ini. Banyak rakyat yang terdampak PHK, perputaran ekonomi melambat, dan rakyat makin sulit. Pendidikan pun juga turut terkena imbasnya. Jika tak ditangani secara benar dan serius, bukan tak mungkin banyak anak-anak negeri ini yang terpaksa harus berhenti kuliah atau sekolah.

Begitulah keniscayaan pendidikan dalam sistem kapitalis. Dimana pendidikan yang berkualitas hanya nyaman dinikmati oleh kaum dengan ekonomi yang mapan saja. Sungguh bertolak belakang dengan sistem pendidikan dalam Islam. Dimana negara atau khilafah telah terbukti mampu mencakup seluruh lapisan masyarakat. Pendidikan hanya meletakan prinsip kurikulum strategi dan tujuan sistem pendidikan sesuai aqidah Islam, yang terbukti melahirkan SDM terdidik, berpikir dan bersikap Islami.
Pendidikan yang bisa dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat, tanpa melihat latar belakangnya. 

Negara menyediakan pendidikan yang bukan hanya berkulitas, namun juga terjangkau, bahkan gratis untuk semua jenjangnya. Biaya pendidikan yang mencakup gaji para guru atau pun dosen serta sarana prasarana pendidikan sepenuhnya menjadi tanggung jawab negara. 

Pendidikan sebagaimana kesehatan dan keamanan menjadi tiga kebutuhan pokok yang disediakan secara gratis. Ini karena terkait langsung dengan fungsi dasar negara sebagai penjamin dan penanggung jawab kebutuhan mendasar warga negaranya. 

“Setiap pemimpin bagaikan pengembala dan dia bertanggung jawab atas kembalaannya itu”(H.R Muslim). 

Khilafah sebagai institusi negara wajib memberikan pelayanan pendidikan secara gratis dan berkualitas pada warga negaranya, baik yang kaya maupun miskin, Muslim ataupun non-muslim. Mereka semua mendapatkan pelayanan yang sama. Bahkan jika warga negara Khilafah tinggal sangat jauh dari pusat ibu kota khilafah, maka negara akan menyediakan guru khusus kepada mereka beserta seluruh kebutuhan yang diperlukan. Untuk merealisasikan jaminan tersebut, terdapat strategi pelayanan yang mengacu pada tiga aspek; yaitu kesederhanaan aturan, kecepatan memberikan pelayanan, dan dilaksanakan oleh individu yang mampu dan profesional. Birokrasi yang tidak berbelit, cepat, efektif, efisien dan professional memungkinkan rakyat mendapatkan pelayanan yang terbaik.
Sarana-sarana fisik yang mendorong terlaksananya program pendidikan, berupa buku-buku pelajaran, sekolah atau kampus, asrama siswa, perpustakaan, laboratorium, toko-toko buku, ruang seminar, auditorium, tempat dilakukannya diskusi, majalah, surat kabar, radio, televisi, kaset, komputer, internet, dan sebagainya, akan terjamin ketersediaannya oleh Khilafah. Dengan dorongan akidah, mereka akan berlomba-lomba meraih kebaikan sehingga mampu mengembangkan berbagai inovasi IPTEK yang dapat bermanfaat bagi masyarakat dan dapat dirasakan semua kalangan, bukan dimonopoli oleh pihak tertentu. 

Disinilah peran penting Khilafah untuk memastikan pemerataan tersebut. Semua jaminan ini bisa dan realistis dilakukan karena Khilafah didukung dengan sistem ekonomi dan politik Islam. Sistem berlandaskan prinsip Islam inilah yang seharusnya diterapkan dalam memberi pelayanan pendidikan yang terbaik dan mudah untuk rakyat. Sehingga ketika terjadi pandemi seperti saat ini, negara tidak gagap dalam menghadapi dan menyelesaikan permasalahan dalam bidang pendidikan. Bukan hanya ketika ada wabah, tetapi juga di kondisi normal. Maka, dalam kondisi apapun, masyarakat tetap tercerdaskan dan bersikap dengan tepat.

 “Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mngikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu” (TQS. Al-Ma’idah:48).

Waallahu'alam bishawwab