-->

Utopia Keadilan Dalam Sistem Sekuler Demokrasi

Oleh : Novianti (Praktisi Pendidikan) 

Penamabda.com - Setelah menunggu selama 3 tahun 2 bulan, publik akhirnya mendapatkan jawaban terkait kasus penyiraman air keras pada Novel Baswedan.  Peristiwa yang menimpa  penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi ini terjadi saat pulang sholat shubuh April 2017. Akibatnya, kedua belah mata Novel mengalami cacat permanen. 

Namun publik dicengangkan oleh keputusan yang jauh dari nilai keadilan. Kedua  pelaku,  yang merupakan anggota Polri,  hanya diganjar hukuman 1 tahun.  Alasannya, kedua pelaku Ronny Bugis dan Rahmat Kadi Mahulette, hanya berniat memberikan pelajaran tapi tidak sengaja mengenai mata korban.  Mereka membenci Novel yang dianggap mengkhianati institusi Kepolisian Negara Republik Indonesi (Polri).

Kontan keputusan ini menyentak rasa keadilan masyarakat. Hukuman yang diberikan dipandang tidak sebanding dengan penderitaan yang harus dialami Novel Baswedan. Karenanya,  berbagai kalangan melontarkan  kritikan.

Ahli Hukum Pidana dari Sekolah Tinggi Hukum Bandung, Putra Zenno menyampaikan kedua terdakwa seharusnya dituntut pidana maksimal karena perbuatannya  termasuk kategori penganiayaan berat (Cirebon.com Pikiran Rakyat, 14/6/2020).

Eks Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Bambang Widjojanto menilai telah terjadi pembohongan publik yang besar. Indonesia telah dibohongi oleh pengadilan yang mengada-ada sehingga master mind peradilan tidak terungkap (Tempo.Co, 14/6/2020).

Bahkan, Direktur Yayasan Lokataru Haris Azhar menganggapnya dangdutan ringan. Persidangan sangat kental dengan rekayasa.  Banyak kejanggalan dan dakwaan jaksa terkesan ala kadarnya. Penyiraman air keras hanya berdasarkan pengakuan tersangka tanpa dibuatkan bukti forensik apapun.  Sehingga wajar  jika kejahatan kejam hanya dituntut rendah karena pelaku hanya boneka (idtoday.co, 13/6/2020).

Keputusan pengadilan yang mencederai nurani ini bukan yang pertama. Seringkali terjadi  hukum tumpul ke atas, tajam ke bawah. Bagi sebagian masyarakat keadilan menjadi barang mahal yang sulit dijangkau. Aroma penegakkan hukum yang diskriminatif sangat menyengat jika pelaku dekat dengan kekuasaan.  Prosesnya berbelit-belit dan berjalan lambat, tidak jarang ujungnya berhenti begitu saja.  Sementara jika pelaku adalah orang yang kritis atau masyarakat kecil, perkaranya diproses sangat cepat.

Ketidakadilan  telanjang dipertontonkan hingga tebang pilih begitu terlihat. Hukum berlaku sesuai selera dan kepentingan penguasa.  Ada yang begitu mudah diciduk, ada yang dibiarkan begitu saja seolah-olah kebal hukum. Ada pelaporan kasus yang cepat ditindak, ada proses yang begitu lambat.

Sebagai contoh kasus pencurian oleh masyarakat kecil yang mendapat tekanan hukum yang begitu kuat. Sementara hukum begitu lemah pada kasus pencurian uang rakyat dalam jumlah yang sangat besar dan merugikan negara. 

Kasus Jiwasraya, Asabri yang dikategorikan megakorupsi, hingga kini tidak terdengar bagaimana penanganannya. Kasus pelecehan Rasulullah sholalloohu 'alaihi wassalam oleh Sukmawati dan Muwafiq  contoh lainnya. Betapa tumpulnya pisau hukum penguasa atas mereka. Sementara mereka yang kritis atas kebijakan penguasa, tak perlu waktu lama untuk mendekam di penjara.

Hukum yang semestinya memberikan perlindungan dan keadilan pada masyarakat hanya menjadi slogan. Akrobat permainan peradilan datang silih berganti dalam setiap kepemimpinan. Lantas, kapan ketidakadilan ini akan berakhir?

Hukum Islam adalah Solusi

Bukan hal yang aneh jika sistem peradilan saat ini begitu compang camping. Pasalnya, apa yang menjadi landasan hukum  merupakan produk akal manusia. Akal manusia terbatas dan bersifat subyektif. Terlebih akal tanpa bimbingan wahyu pasti akan memutuskan sesuai hawa napsu.  Alhasil, hukum cenderung melindungi kelompok tertentu.  Inilah konsekwen dari penerapan sistem sekulet demokrasi.  Sistem yang memberlakukan aturan termasuk peradilan dalam ruang hampa agama. Kedaulatan hukum ada di tangan manusia. Karenanya tak heran, perkara diputuskan suka-suka.  Berharap keadilan dari sistem yang cacat adalah utopia belaka 

Konsep ini sangat berbeda dengan Islam yang menempatkan Allah sebagai sumber hukum. Karena Allah Dzat Pencipta, pasti Dia Maha Tahu dalam mengatur urusan mahlukNya.

Hukum islam melindungi aqidah, akal, harta, dan jiwa seluruh manusia. Tanggung jawab pelaksanaannya dibebankan pada seorang khalifah. Ia harus memutuskan perkara diantara manusia dengan bersumber dari hukum syara'.

Pemberlakuan sanksi (uqubat) memiliki dua fungsi yaitu  sebagai pencegahan (zawajir) dan penebus (jawabir).  Sanksi  mencegah orang-orang melakukan tindakan dosa dan kriminal.  Selain itu, bagi pelaku sebagai penebus dosa (jawazir) untuk menggugurkan sanksi di akhirat. 

Diriwayatkan oeh Bukhari dari Ubadah bin Shamit ra berkata:

Kami bersama Rasulullah Saw. dalam suatu majelis dan beliau bersabda, “Kalian telah membai’atku untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu, tidak mencuri, tidak berzina, kemudian beliau membaca keseluruhan ayat tersebut. “Barangsiapa diantara kalian memenuhinya, maka pahalanya di sisi Allah, dan barangsiapa mendapatkan dari hal itu sesuatu maka sanksinya adalah kifarat (denda) baginya, dan barangsiapa mendapatkan dari hal itu sesuatu, maka Allah akan menutupinya, mungkin mengampuni atau (mungkin) mengazab.”

Sanksi dalam Islam digolongkan menjadi 4, yaitu hudud, jinayat, ta'zir, dan mukhalafat.  Masing-masing memiliki kriteria dan sangsi sendiri-sendiri.

Terkait kasus Novel Baswedan yang mengakibatkan cacat permanen, Islam mengkategorikannya sebagai perbuatan kriminal. Pelakunya mendapat sanksi jinayat.   Jinayat merupakan tindakan pencederaan terhadap jiwa hingga hilangnya nyawa.

Sanksi yang diberikan adalah hukum qishash. 

"Dan dalam (hukum) qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 179)

Islam sangat melindungi nyawa manusia. Rasulullah bersabda, " Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak." (HR. Nasai)

Seseorang yang tahu bahwa hukuman bagi seorang pembunuh adalah dibunuh,  dia akan merasa takut dan berpikir 1000 kali untuk melakukan pembunuhan. Inilah makna yang dimaksud dalam qishash ada jaminan hidup bagi jiwa manusia. Dengan kata lain uqubat (sanksi) ini berfungsi sebagai pencegahan karena dapat mencegah seseorang untuk melakukan kejahatan.

Pelaku terbebas jika keluarga korban memaafkan. Hakim pun tidak bisa memberikan sanksi sementara pelaku diwajibkan membayar diyat.  Diyat adalah penyerahan sejumlah harta kepada keluarga korban sebagai kompensasi atas pencederaan badan atau  timbulnya kematian. Diyat kematian sejumlah 100 unta atau 1000 dinar.  Diyat untuk pencederaan badan, nilainya disesuaikan dengan kerusakan pada organ atau anggota badan yang kehilangan fungsi.

Inilah hukum yang telah dijelaskan oleh para ulama termasuk para imam mazhab. Sehingga seorang qodhi (hakim) wajib  berkedudukan sebagai ulama karena ia harus memutuskan perkara dari sumber hukum islam yaitu Al Quran, Sunnah, Ijma sahabat dan Qiyas.

Penerapan  sanksi dalam hukum islam yang dijalankan oleh para qadhi (hakim) hanya dapat diterapkan secara maksimal  ketika negara menerapkan  sistem  Islam secara kaffah. Dimana baik sistem ekonomi, sosial budaya, pendidikan, kesehatan, politik dalam negeri maupun luar negeri menggunakan sistem Islam dalam naungan Daulah Khilafah Rasyidah.

"Sesungguhnya umat sebelum kalian celaka karena jika yang mencuri dari kalangan bangsawan mereka membiarkannya. Namun jika yang mencuri dari golongan masyarakat biasa mereka menjatuhkan hukuman kepadanya. Demi Allah, jika seandainya Fathimah binti Muhammad mencuri maka aku pun akan memotong tangannya” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah).