-->

Tagar ‘GakSengaja’ Trending, Bukti Keadilan Hanya Ilusi

Oleh : Inang Handayani

Penamabda.com - Salah satu yang tak kalah menjadi bahan perbincangan saat ini di dunia maya selain perkembangan corona, kini beredar di media sosial terkait #GakSengaja. Bahkan tagar tersebut sempat menjadi tranding topik di twitter sejak Kamis (18/6) hingga Jum’at pagi (19/6). Tagar tersebut merupakan salah satu bentuk perasaan kecewa warga media sosial akan ketidakadilan dalam penanganan kasus penyiraman air keras pada penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan. Banyak komentar bermunculan di media sosial, baik Facebook, Instagram bahkan Twitter. Beragam komentar – komentar yang dilontarkan oleh warga net. Namun lebih didominasi oleh perasaan kecewa yang dirasa tidak adil pada proses hingga pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Kata ‘Gak Sengaja’ berawal dari pembelaan JPU dalam sidang kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan. Anehnya pelaku penyerangan air keras terhadap Novel Baswedan, Rahmad Kadir Mahulette dan Ronny Bugis hanya dituntut pidana satu tahun penjara. Setelah kurang lebih tiga tahun pelaku dicari, dan telah lama hilang dari pemberitaan, akhirnya pelaku tersebut berhasil diadili dengan tuntutan yang dirasa tidak sepadan. Dalam surat tuntutan yang dibacakan oleh JPU di Pengadilan Jakarta Utara pada Kamis, 11 Juni 2020. Jaksa tersebut menyebutkan bahwa terdakwa tidak sengaja menyiram air keras di bagian wajah Novel. Menurutnya kedua terdakwa hanya ingin menyiramkan air keras ke badan Novel.

Perbuatan yang dilakukan kedua pelaku tersebut karena terdakwa menganggap bahwa Novel telah mengkhianati institusi Polri. Sekitar bulan April 2017, ketika sedang ramai pemberitaan tentang saksi Novel Baswedan yang keluar dari institusi Polri dan melawan institusi Bareskrim. Saat itu sedang menegakkan hukum atas kesalahannya yang dilaporkan masyarakat Bengkulu dalam kasus burung walet. Mendengar hal tersebut, terdakwa menjadi tidak suka dan benci terhadap Novel dan ingin memberinya pelajaran. Jaksa menyebut rasa benci pelaku lah yang mendorong untuk menyiramkan cairan asam sulfat ke Novel. (news.detik.com, 12/6).

Sontak, melihat hal tersebut membuat geram masyarakat dan menuai banyak respon. Salah satu yang menyoroti perihal kasus penyiraman air keras Novel Baswedan adalah Komika Bintang Emon. Ia mengutip jaksa dengan menyebut  'Gak Sengaja' dalam kasus penyiraman air keras. Komika ini juga tak segan menyindir tuntutan hukuman yang diajukan Jaksa. “Katanya enggak sengaja, tapi kok bisa sih kena muka? Kan, kita tinggal di bumi, gravitasi pasti ke bawah. Nyiram badan enggak mungkin meleset muka”, ucapnya membuka video.

Kasus yang menyebabkan mata Novel tidak berfungsi dengan baik, akibat air keras yang disiram ke bola matanya dianggap janggal dan mulai muncul pertanyaan di berbagai kalangan. Masyarakat bertanya – tanya dimana letak keadilan, perlindungan serta kepastian hukum dalam kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan. Akibat siraman air keras tersebut menyebabkan kebutaan permanen pada satu matanya. Novel juga harus melakukan pengobatan ke Singapura dan ditangani oleh dokter kornea terbaik di dunia. Yang membuat miris, pengacara dari terdakwa menyebutkan kebutaan yang dialami Novel akibat salah dalam penanganannya. (tribunnews.com, 16/6).

Melihat pemberitaan tentang kasus Novel, dada semakin sesak terasa menyaksikan penegakkan keadilan di negeri ini. Ditambah dengan sikap pemerintah yang bungkam seribu bahasa tanpa ada ketegasan atas kasus tersebut. Anehnya, kasus yang sama yakni penyiraman air keras yang dilakukan Ruslam terhadap istrinya juga mertuanya mendapat hukuman 10 tahun penjara. Tidak cukup disitu, Heriyanto yang melakukan penyiraman air keras terhadap istrinya hingga meninggal dunia pada Juli 2019 ini diganjar dengan 20 tahun masa tahanan.

Ironis memang, kasus sama namun tuntutan sangat jauh berbeda. Terlebih, Novel Baswedan adalah pejabat negara yang menjabat sebagai penyidik senior di KPK. Maka tidak heran banyak pihak yang mengkritik atas tuntutan jaksa terhadap kepada pelaku. Melihat ketidak adilan perlakuan yang diterimanya, Novel mengaku pasrah terhadap kasus yang menimpanya. Bahkan dalam akun Twitter-nya, ia mengatakan agar pelaku penyiraman air keras terhadap dirinya dibebaskan. Pasalnya, Novel tidak yakin bahwa kedua terdakwa tersebut adalah pelaku yang menyiram dirinya dengan cairan asam sulfat ke wajahnya pada tiga tahun silam.

Berkaca dari kasus Novel Baswedan, semakin membuka mata bahwa keadilan rakyat di sistem Demokrasi Kapitalis saat ini tidak dapat ditegakkan dengan baik. Ibaratnya, menegakkan keadilan di negeri ini laksana menegakkan benang kusut. Bagaikan mencari jarum dalam tumpukan jerami, sangat sulit sekali ditegakkkan. Hanya sebuah ilusi, jika sistem Demokrasi Kapitalis menjadikan keadilan sebagai prinsip negara hukum yang menjunjung nilai – nilai keadilan. Sistem ini hanyalah melahirkan manusia yang orientasi hidupnya mencari materi semata. Pemburu dunia akan menghalalkan segala cara demi melanggengkan kepentingannya.

Sangat jauh berbeda, jika kacamata diubah dengan sudut pandang Islam. Sistem Islam akan membebaskan manusia dari kepentingan – kepentingan pribadinya. Sehingga tidak akan ada celah bagi manusia untuk mengutak – atik hukum sesuai dengan kepentingannya. Dalam Sistem Islam pelaksanaan sanksi di dunia merupakan tanggung jawab khalifah (imam) atau yang ditunjuk untuk mewakilinya.

Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw berikut ini: 

الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).

Sehingga negaralah yang tetap melaksanakan sistem sanksi (uqubat) tersebut, bukan dari masing – masing pribadi. Sanksi di dunia yang diberikan berfungsi sebagai pencegah (zawajir), yakni mencegah orang – orang untuk melakukan perbuatan dosa dan tindakan kriminal. Sekaligus sebagai penebus dosa (zawabir) yang akan menggugurkan sanksi di akhirat bagi pelaku tindakan kriminal, karena telah dikenakan sanksi di dunia.

Sebagaimana sabda Rasulullah saw, dari Ubadah bin Shamit ketika menuturkan ikhwal Baiat Aqobah pertama yang menyebutkan :

“Siapa diantara kalian yang memenuhinya, maka pahalanya di sisi Allah. Siapa yang melanggarnya lalu diberi sanksi, maka itu sebagai penebus dosa baginya. “Siapa yang melanggarnya namun kesalahan itu ditutupi oleh Allah, jika Allah menghendaki maka Dia akan mengampuninya, jika ia menghendaki Dia akan mengadzabnya” (HR. bukhari).

Adapun bentuk sanksi dalam Sistem Islam akan digolongkan menjadi Hudud, Jinayat, Ta’zir dan Mukhalaf. Dimana masing – masing sanksi tersebut memiliki kriteria dan pemberlakuan sendiri – sendiri. Dalam kasus penyiraman air keras yang menimpa Novel Baswedan hingga mengakibatkan cacat permanen, maka dalam Islam digolongkan dalam tindakan kriminal dengan sanksi Jinayat.

Bentuk sanksi Jinayat merupakan suatu tindakan pencederaan jiwa hingga hilangnya nyawa. Maka sanksi yang akan diberikan berupa hukum qishas (pembalasan yang setimpal). Namun apabila pihak keluarga korban memaafkan, hakim tidak bisa untuk memberikan sanski secara sepihak. Sehingga pelaku diwajibkan untuk membayar diyat (biaya kompensasi). Jumlah diyat yang dikeluarkan juga berbeda – beda, tergantung dari cidera yang dialami korban. Ketika tindakan kriminal menimbulkan hilangnya nyawa, maka diyat yang harus dikeluarkan sebanyak seratus unta atau seribu dinar. Sementara ketika korban mengalami pencideraan badan, maka nilainya disesuaikan dengan fungsi organ serta jenis anggota badan yang dicederainya.

Jelas, sangat tidak adil jika kasus penyiraman air keras yang menimpa Novel Baswedan hanya dibayar dengan masa tahanan 1 tahun penjara. Jauh berbeda jika hukum sanksi mengacu pada hukum dari Allah swt yang mengadili seadil – adilnya. Jadi, sudah saatnya kita sadar bahwa sistem hukum yang berlaku saat ini benar – benar bathil dan keadilan rakyat hanyalah ilusi. Sudah saatnya, dunia termasuk negara Indonesia mengambil sistem yang berasal dari Allah swt. Sistem Islam yang terterapkan dalam Daulah Khilafah telah terbukti menerapkan keadilan bagi seluruh rakyatnya. 

Wallahu a’lam bish-shawab.[]