-->

Reportase : Liqo Syawal Akbar, Umat Rindu Penerapan Syariah

Penamabda.com - “Ummatan Wahidan…Royatan Wahidan…Daulatan Wahidan…”. Salah satu syair yang di putar dalam Liqo Syawal Akbar tokoh ulama Jawa Timur, sabtu 13 juni 2020. Sukses membuat peserta bergetar dan menitikkan air mata. Hal ini terlihat dari respon para peserta liqo yang menyampaikan rasa harunya dalam live chat.

Liqo Syawal yang diselenggarakan secara streaming  youtube @kaffahchannel ini diikuti oleh ratusan peserta dari berbagai daerah di Indonesia secara online. Mengangkat tema ; New Normal, Diantara Ancaman Krisis Ekonomi dan Dekatnya Kebangkitan peradaban Islam.

Acara dibuka dengan pembacaan Ayat Suci Alquran. Dilanjutkan dengan testimoni dari berbagai kalangan. Mulai dari mahasiswa, kalangan intelektual, pengusaha hingga para Muballigh. Semua menyampaikan pandangannya tentang New Normal Life, mewakili suara dari setiap kalangan.

Adinda Khotibul Umam yang memberikan pandangannya mewakili kalangan Mahasiswa menyampaikan, secara umum aturan-aturan yang dikeluarkan pemerintah terkesan tidak konsisten dan arah kebijakannya tidak jelas. Mulai awal Januari dan Februari yang seharusnya dimaksimalkan untuk persiapan Covid-19, cenderung diabaikan.” 

“Tidak diterapkannya UU nomor 6 tahun 2016, menunjukkan kegagapan pemerintah. hal ini berdampak pada masyarakat terutama kami sebagai mahasiswa. Saat PSBB diterapkan, mahasiswa harus melalui program belajar Daring. Yang seharusnya dipersiapkan secara matang, namun gagap di laksanakan. Sehingga banyak proses pembelajaran yang delay dan mahasiswa tidak mendapatkan materi secara maksimal.” Tambah Umam.

Pemaparan dari kalangan intelektual, yang diwakili oleh Lukman Noerrochim, Ph.D membuat kita memiliki pandangan baru tentang New Normal. “Sebenarnya New Normal itu terkait pelaksanaan tekhnis saja, yakni merubah kebiasaan hidup dengan mengikuti protokol kesehatan. Artinya menambahi beban masyarakat. Padahal, masyarakat Indonesia sudah terbiasa dengan kehidupan yang upnormal. Kesenjangan pendidikan, kualitas pendidikan, kenaikan TDL, PPM, ASN terkena Tapera dan masih banyak lagi kehidupan upnormal yang dijalani oleh masyarakat Indonesia. Dengan adanya New Normal, justru semakin menambah beban penderitaan masyarakat.”

Saat kita perhatikan kebijakan stategis pemerintah dalam menyikapi Covid-19, cenderung dipaksakan kepada masyarakat yang sedang terpuruk kondisinya. Sikap ini menimbulkan pendapat bahwa pemerintah menjadikan New Normal sebagai alat untuk kepentingan oligarki penguasa. Pertanyaannya, benarkah pemerintah lebih mementingkan kepentingan ekonomi dibandingkan keselamatan masyarakat?

KH Muhammad Ismail Yusanto, sebagai pemateri pertama memaparkan bahwa saat ini Indonesia masih belum memenuhi kriteria sebagai negara yang layak melakukan New Normal versi WHO. Salah satunya Karena masih ditemukan jumlah kasus terkonfirmasi yakni diatas 12-13 persen. “Jika kondisi Indonesia seperti ini, mengapa dipaksakan New Normal?” pertanyaan retoris dari Kyai Ismail menggambarkan keheranannya.

“Tidak dipungkiri, kengeyelan pemerintah ini didorong oleh faktor ekonomi. Banyak pengusaha yang mengeluh kepada pemerintah bahwa jika sampai Juni usaha mereka tidak beroperasi, maka para pengusaha ini akan bangkrut. Simalakama yang dihadapi pemerintah antara menyelamatkan kesehatan ekonomi atau  kesehatan manusia, terjadi karena Pemerintah melewatkan Golden Time yakni saat pandemi ini pertama kali muncul di China.” Imbuh Kyai Ismail.

Pemerintah dihadapkan pada pilihan yang sulit. Namun, Simalakama yang dihadapi oleh pemerintah ini tidak lepas dari pandangan kapitalistik yang selalu menyikapi sesuatu dengan pandangan untung rugi. 

Kyai Ismail menutup pemaparannya dengan menyampaikan bahwa tugas Negara dan pemerintah adalah sebagai pelindung masyarakat. Jika pemerintah mengorbankan masyarakat demi kepentingan ekonomi, pasti akan berat pertanggung jawabannya dihadapan Allah. Karena membiarkan rakyatnya sengsara baik dari sisi ekonomi maupun sengsara dalam sisi kesehatan.

Islam memiliki pandangan yang paripurna dalam menangani wabah. Sayangnya solusi islam tidak pernah di ambil oleh penguasa, hal ini karena sistem yang berlaku di inonesia bukan sistem islam. Padahal jika mau mengambil syariat islam, wabah covid-19 tidak akan meluas seperti sekarang. Hal ini disampaikan oleh KH. Rohmat S labib, selaku pemateri kedua.

Karut marut ini semua terjadi karena kita hidup dalam peradaban kapitalistik, padahal ada sebuah peradaban yang mampu mengembalikan kebangkitan umat islam. Yakni peradaban islam. Fakta sejarah tidak bisa di pungkiri, bahwa saat islam diterapkan kaum muslimin menjadi umat terbaik. Laa izzata illa bil islam , tidak ada kemuliaan tanpa islam. Maka jadikan Islam sebagai tuntunan, maka rahmat akan kita dapatkan. (Novi)