-->

Polemik Tarif Listrik (Naik) Kala Pandemik

Oleh : Ummu Tsabita Nur

Penamabda.com - Viral di jagat maya keluhan netizen soal pembayaran listrik yang melonjak tajam. Salah satunya pemilik bengkel las UMKM di Malang. Dia mendapat tagihan yang membengkak.  Tau ga berapa? Biasanya paling banyak 2,5 juta per bulan tetiba jadi 20 Juta. Lalu karena tak sanggup lunasi sekarang meterannya disegel PLN. Duh perih banget. (portalislam.id).

Para netizen yang (bukan ) kebetulan pelanggan setia PLN, ternyata banyak mengalami kasus serupa. Mereka merasa seperti dirampok katanya. Dengan kenaikan tarif yang bervariasi. Ada yang 2x lipat , bahkan 9 kali lipat. Nah kalo kasus di atas berapa kali lipat yak?

Pihak PLN menolak tuduhan (kenaikan sepihak) tersebut. Lonjakan tagihan yang dialami sebagian pelanggan tidak disebabkan oleh kenaikan tarif. Bukan juga karena ada subsidi silang tarif golongan tertentu (yang dapat subsidi) dengan golongan lain. Tapi ya karena WFH alias work from home yang menyerap banyak energi listrik, menjadi penyebabnya. Juga seperti diungkap Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan Bob Saril bahwa “Lonjakan pada sebagian pelanggan tersebut terjadi semata-mata karena pencatatan rata-rata rekening sebagai basis penagihan pada tagihan bulan Mei, kemudian pada bulan Juni ketika dilakukan pencatatan meter aktual selisihnya cukup besar. Itulah yang menyebabkan adanya lonjakan,” katanya (sindonews.com).

PLN memang sempat menghentikan pengiriman petugas pencatat meteran karena adanya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk mencegah penyebaran virus corona. Sehingga pada waktu tagihan setiap bulan direrata saja oleh pihak PLN. Baru ketika  terjadi pencatatan meter aktual, keluhan kenaikan mengemuka. Namun kenaikan tagihan berkali lipat tetap saja dinilai tidak wajar oleh pelanggan.

Bantuan Setengah hati

Rakyat sempat sangat senang ketika ada informasi  bantuan berupa penggratisan  atau diskon bea listrik bagi 24 juta pelanggan dengan daya 450 Volt Ampere (VA) dan 7 Juta pelanggan dengan daya 900 VA. Periode berlaku untuk tagihan  April, Mei, dan Juni 2020 (kompas.com).

Pembebasan dan diskon tarif  ini merupakan bagian dari kebijakan pembatasan sosial skala besar yang diterapkan oleh pemerintah untuk mencegah penyebaran virus corona lebih luas.

Namun ketika tau ada S dan K -nya, mereka gigit jari.  Misal terkait diskon setengah harga untuk pelanggan 900 VA, hanya berlaku bagi yang  bersubsidi. Real faktanya di lapangan, orang yang punya meteran 450 VA atau 900 VA itu belum tentu miskin. Sedangkan yang tak dapat subsidi belum tentu kaya. Apalagi kita pun tahu persis bahwa yang terdampak covid-19 itu seluruh masyarakat. Jelas sekali bantuan seperti ini, tak bisa dinikmati semua. Sisanya harus berjuang memenuhi kebutuhan makan dan tetap wajib bayar tagihan listrik.

Lalu apa lagi yang tepat menggambarkan kerisauan masyarakat, ketika pendapatan sedang seret justru mendapat lonjakan tagihan ? Sudah jatuh , malah lanjut tertimpa tangga.  Malang betul nasib rakyat.

Apapun jawaban perusahaan plat merah tersebut  untuk menanggapi keluhan, baik itu adalah kenyataan atau cuma ngeles , yang terasa tetaplah berat buat rakyat . Karena bebannya nambah di masa pandemi. Kebayang ya.. kemaren banyak gelombang PHK atau minimal dirumahkn tanpa gaji. Anak pun harus BDR alias home learning, dan kuota internet jadi bengkak. Nah sekarang pembayaran listrik ikut melonjak. Belum lagi soal bpjs, dsb. Gimana tu rasanya? Apa tidak puyeng ?

Wahai rezim berhati-hatilah dengan rakyat yang engkau pimpin dan urus. Tak takutkah dengan doa Nabi ini ?
Nabi Saw berdoa : "'Ya Allah, barangsiapa yg mengurusi urusan umatku lalu dia merepotkan umatku maka susahkanlah dia"(HR.  Muslim). Aamiin.

Adakah solusi terbaik?

Persoalan kelistrikan di negri +62 merupakan dampak dari penerapan sistem ekonomi liberal kapitalis. Di mana pengelolaan kelistrikan sangat liberal.  Rakyat posisinya seperti konsumen. Negara adalah perusahaan yang menjual 'barang' . Tentu untuk mencari untung.  Padahal kalau saja mau sedikit menengok solusi Islam, maka soalan seperti ini tak kan terjadi. Kok bisa?

Ya iya lah. Karena  sistem ekonomi Islam telah menegaskan bahwa listrik yang digunakan sebagai bahan bakar termasuk dalam kategori ’api’ . Dia merupakan barang milik publik. Termasuk dalam kategori tersebut adalah berbagai sarana dan prasarana penyediaan listrik seperti tiang listrik, gardu, mesin pembangkit, dan sebagainya.

 Rasulullah saw bersabda:
"Manusia berserikat pada tiga hal: air, api dan padang gembalaan.” (HR. Muslim dan Abu Daud)

Ditambah lagi, sebagian besar sumber energi dalam memproduksi listrik baik yang dikelola oleh PLN maupun swasta merupakan barang-barang tambang yang juga merupakan barang publik seperti minyak bumi, gas dan batu bara. Maka seharusnya di posisikan sebagai milik rakyat, bukan milik negara. 

Dalam Islam, pengelolaan barang publik seperti itu hanya diwakilkan kepada khalifah (negara), dan hasilnya seluruhnya demi kemaslahatan rakyat.  Jadi dengan dikelola oleh negara seluruh hasil pengelolaan bisa optimal masuk ke kas negara. Bukan seperti sekarang, hanya mengandalkan pajak dan royalti yang sangat kecil dari pihak swasta yang mengelola SDA. Itupun banyak yang mangkir.  Habis itu mereka diberi tax amnesty. Akhirnya negara tak untung, rakyat pun buntung. 

Lalu bagaimana mekanisme distribusinya hasil SDA ? Semua diserahkan kepada ijtihad dan pendapat khalifah.  Barang publik tersebut bisa saja digratiskan  yang didistribusikan sesuai dengan kebutuhan rakyat tanpa ada yang diistimewakan atau dikecualikan. Untuk Listrik ,  sudah seharusnya dikelola penuh negara. Mulai dari hulu hingga hilir. Sehingga terhindar dari tujuan mencari untung dan sikap culas oknum yang bisa memainkan data agar mendapat  subsidi meski mampu. 

Trus bagaimana menggaji jajaran eksekutif,  staf dan petugas di PLN? Ya diambil dari kas negara. Jangan dari harta milik publik. Karena menggaji pegawai negara ya..bukan kewajiban rakyat. Dan kas negara khilafah sangat mampu untuk itu.
 
Jadi, di kas negara (baitul mal) dana pengelolaan SDA seluruhnya akan disimpan dalam pos harta milik umum dimana khalifah sama sekali tidak diperkenankan menggunakannya untuk kegiatan negara , misal menggaji ASN.  Wajib sebesar-besarnya hanya untuk kemaslahatan rakyat. (AQ.Zallum : 2004).

Dengan demikian, negara memiliki kemampuan untuk memenuhi seluruh kebutuhan masyarakat. Terutama terkait kebutuhan publik yang merupakan kewajiban negara seperti listrik, air bersih, BBM  dsb. Juga soal pendidikan dan kesehatan. 

Wabah covid-19 seolah makin membuka tabir kerusakan sistem kapitalis. Rezim dan jajarannya yang  setengah hati membantu rakyat. Kalau pun ada bantuan, tak menjangkau semua orang. Bahkan lebih sering tak tepat sasaran. Rakyat mengeluh tak berkesudahan. Ketika tersedia solusi terbaik dari Dienul Islam, lalu mengapa - sebagai mukmin- kita tak sudi mengambilnya dan mengakhiri penderitaan ini??[]