-->

Peradaban Islam Menyatukan Dunia

Oleh : Sri Nova Sagita
(Institut Kajian Politik dan Perempuan)

Penamabda.com - Penyebaran pandemi Covid-19 ini telah melahirkan kecemasan dan ketakutan mendalam dari masyarakat dunia. Kehadiranya yang menakutkan serentak membuat masyarakat dunia seakan-akan berada dalam gerbang kematian.

Pandemi Covid-19 terus menunjukkan peningkatan dan efeknya akan terasa selama beberapa dekade ke depan. Demikian dikatakan Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam sebuah forum kesehatan yang diselenggarakan otoritas Dubai, Senin (22/6/2020).

Menurut dia, ancaman terbesar yang dihadapi dunia bukanlah Covid-19, melainkan kurangnya solidaritas global dan kepemimpinan global. (CNBNIndonesia, 22/6/2020)

Sikap pesimis yang ditunjukkan oleh jendral WHO tersebut bukan tak beralasan. Sebab kebijakan lockdwon yang diterapkan oleh negara-negara di dunia telah menghancurkan perekonomian dunia. Tidak hanya itu, penyebaran virus bergerak masif dan menelan korban yang terbilang banyaknya. 

Krisis Solidaritas dan Kepemimpinan

Istilah solidaritas dapat diartikan sebagai kesadaran akan minat, tujuan,standar, dan simpati bersama yang menciptakan rasa psikologis akan kesatuan kelompok atau kelas global. Istilah ini merujuk pada ikatan dalam suatu masyarakat yang mengikat orang menjadi satu. 

Namun dalam sistem demokrasi kapitalis saat ini negara-negara di dunia di ikat oleh rasa nasionalisme, maka tidak mungkin solidaritas antar negara itu akan muncul. Sebab, nasionalisme itu sendiri melahirkan wawasan sempit yang hanya mementingkan bangsa sendiri tanpa memikirkan bangsa lainnya.

Sejatinya saat ini masyarakat dunia membutuhkan kebijaksanaan dari masing negara-negara dan para pemimpin untuk mengambil pilihan tepat dalam menentukan dunia ini ke depan, terlebih berhadapan dengan ancaman global dari pandemik covid-19. Tidak hanya kebijakan yang berlaku bagi masing-masing negara, namun juga keterkaitan antar  negara.

Namun sayangnya, nasionalisme yang telah mengakar tersebut memunculkan sikap egosentrisme, narsisme dan saling curiga terhadap negara lain. Sudah saatnya negara-negara di dunia menentukan pilihan berjalan sendiri atau melakukan tindakan kooperatif (solidaritas Global) yang akan  mengubah tatanan dunia di masa yang datang.

Melihat kenyataan dunia saat ini dalam menghadapi Pandemi Covid- 19  kepemimpinan masing-masing negara pun turut luntur. Para pemimpin telah diuji kekuatan nyali, ketangguhan, kecerdasan, serta kecepatan dan ketepatan dalam mengambil keputusan.

Namun yang tampak bahwa di hampir semua spektrum politik, kepemimpinan  di dunia saat ini hampir memiliki karakter  yang sama dalam menghadapi COVID-19. Mereka  bias optimisme dan rasa puas diri, ambigu, dan anti-sains.  Karakter ini  membuat mereka tidak mampu memimpin dalam situasi krisis.  

Seperti, menteri Dalam Negeri Turki, Suleyman Soylu, merasa bertanggung jawab atas kepanikan publik saat ditetapkannya "lockdown" di Turki, lalu mengajukan pengunduran diri kepada Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan (Kompas.com, 13 April 2020). Selanjutnya, Ketua Dewan Penelitian Uni Eropa, Mauro Ferrari, mengundurkan diri karena frustasi atas kegagalan Benua Biru mengatasi wabah Covid-19 (Koran Tempo, 9 April 2020).

Fenomena lainnya, sudah setengah juta orang membuat petisi di Change.org menuntut agar pemimpin organisasi kesehatan dunia World Health Organization (WHO), Tedros Adhanom, mundur karena dianggap gagal dan telah meremehkan situasi dan ancaman Virus Corona (Liputan6.com, 27 Maret 2020). Bahkan, terjadi juga di China (Tiongkok) seperti yang diberitakan oleh Reuters, aktifis hak asasi manusia disana sudah menyuarakan menuntut mundur Presiden Xi Jinping, karena dianggap pemerintah gagal dalam penangan krisis (CNBC Indonesia, 18 Februari 2020).

Pastinya krisis slolidaritas dan kepemimpinan di dunia tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Lihat saja negara adidaya pun seperti Amerika turut berkontribusi terhadap kegagalan skala global dalam merespons pandemi COVID-19 secara tepat.

Peradaban Islam dalam Menyatukan Dunia

Dalam hal ini, Will Durant terang mengakui:
"Agama Islam telah menguasai hati ratusan bangsa di negeri- negeri yang terbentang mulai dari Cina, Indonesia, India hingga Persia, Syam, Jazirah Arab, Mesir bahkan hingga Maroko dan Spanyol. Islam pun telah memiliki cita-cita mereka, menguasai akhlaknya, membentuk kehidupan¬nya, dan membangkitkan harapan di tengah- tengah mereka, yang meringankan urusan kehidupan maupun kesusahan mereka. Islam telah mewujudkan kejayaan dan kemuliaan bagi mereka sehingga jumlah orang yang memeluknya dan berpegang teguh padanya pada saat ini [1926] sekitar 350 juta jiwa. Agama Islam telah menyatukan mereka dan melunakkan hati¬nya walaupun ada perbedaan pendapat maupun latar belakang politik di antara mereka." (Will Durant – The Story of Civilization).

Semua pencapaian  kemajuan  peradaan  Islam  itu  tidak  lepas  dari peran sentral Khilafah. Kecemerlangan sejarah itu terjadi ketika umat Islam menerapkan sistem negara Khilafah yang menjadikan Islam sebagai dasar ideologi dan syariah Islam sebagai dasar   hukum   yang   mengatur   segenap   aspek kehidupan manusia.

Persoalannya tinggal berpulang pada umat saat ini, apakah siap kembali kepada al-Quran dan  menjadikannya sebagai sumber inspirasi peradaban Islam masa depan?

Wallâhu a’lam bi ash-shawâb