-->

New Normal : Antara Tren dan Kesiapan Negara

Oleh: Siti Aminah (Pemerhati Masalah Sosial Lainea, Sulawesi Tenggara) 

Penamabda.com - Baru-baru ini kita disuguhkan lagi dengan kata-kata baru dalam menghadapi wabah Covid-19 yaitu new normal atau normal baru. Hanya saja, banyak pakar yang mengatakan tidak bisa di praktekkan di Indonesia karena melihat fakta di lapangan, korban Covid-19 semakin hari semakin berkembang.

Seperti yang dilansir oleh Merdeka.com (25/5/2020) - Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Dr Hermawan Saputra mengkritik persiapan pemerintah menjalankan kehidupan new normal. Menurut dia belum saatnya, karena temuan kasus baru terus meningkat dari hari ke hari. 

Dan seakan-seakan penerapan new normal seperti janin yang belum siap untuk dilahirkan atau terkesan prematur. Sebagaimana yang dilansir oleh KANALKALIMANTAN.COM (28/5/2020)– Epidemiolog FKM Universitas Hasanuddin Ridwan Amiruddin menilai, rencana penerapan hidup normal baru atau new normal yang dipilih pemerintah terkesan prematur. Pasalnya, penerapan new normal dilakukan ketika kasus virus corona covid-19 di Tanah Air masih tinggi.

Berbeda dengan apa yang diungkapkan oleh presiden Jokowi. Seperti yang dilansir oleh CNN Indonesia (31/5/2020) -Presiden Joko Widodo (Jokowi) menargetkan jumlah kasus positif virus corona turun pada Mei 2020. Dengan demikian, kurva penyebaran corona pada Juni 2020 masuk posisi sedang, dan Juli 2020 masuk posisi ringan.

Senada dengan ungkapan di atas pemerintah Jawa Barat akan menerapkan new normal. Seperti yang dilansir oleh Liputan6.com (1/6/2020) - Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah mengeluarkan aturan untuk penerapan adaptasi kebiasaan baru (AKB) atau new normal. Polda Jabar menyatakan ada 17 ribu personel yang disiapkan untuk mengawal tatanan kehidupan normal baru tersebut.

Dan baru hitungan hari new normal ini diwacanakan sudah muncul masalah baru. Sebagaimana yang dilansir oleh tirto.id (28/5/2020)- Pada 24 Mei lalu, seorang pria bernama Justinus Silas Dimara (35) asal Hamadi Jayapura Selatan tewas setelah menghindari semprotan air dari water cannon milik personel gabungan Satgas COVID-19. Berdasarkan keterangan warga seperti yang dilaporkan Jubi, Justinus terpelanting dan mengalami pendarahan pada telinga kanan dan hidung kiri. 

Melihat fakta di atas, menunjukkan bahwa antara pemerintah dengan para ahli tidak sejalan. Kenapa pemerintah seakan memaksakan diri untuk memberlakukan new normal? Bahkan akan mempersiapkan personel untuk menerapkan new normal ini. Bukankah para ahli atau yang memiliki kompeten di bidangnya yang lebih mengetahui kondisi wabah yang menyebar di negri kita saat ini?

Untuk siapa sebenarnya new normal ini? Jika untuk memikirkan seluruh masyarakat atau demi kepentingan publik, maka salah besar. Karena saat ini kita sudah cukup terlunta-lunta dengan kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak terhadap publik. Misalnya saja pembebasan napi yang memunculkan masalah baru.

Dan jika alasannya karena banyak negara lain yang memberlakukan new normal,  maka kita sudah cukup belajar dari Korea Selatan yang terbukti memunculkan masalah baru dalam menangani Covid-19. Padahal dari segi angka kasus sebelumnya sudah jauh menurun serta dari segi kesiapan atau fasilitas mereka serba canggih. 

Bagaimana dengan Indonesia? Apakah sudah siapa menghadapi semua itu jika menerapkan new normal? Dari sisi kesiapan tim medis, masyarakat, serta kejadian-kejadian yang tak terduga ketika sudah diberlakukan new normal. Terutama kesiapan fisik atau pola kesehatan masyarakat. 

Jadi, jika negri ini mau menerapkan new normal dan akan mengarahkan personil untuk mendukung kebijakan ini maka betul-betul sistem saat ini adalah sistem yang berpihak kepada kepentingan para kapital dan tidak berpihak kepada rakyat. Inilah ciri khas dari sistem kapitalisme sekuler, semua kebijakan tidak akan pernah berpihak terhadap rakyat. Karena dalam sistem ini yang lebih diutamakan adalah keuntungan. Sistem ini menyelesaikan masalah malah memunculkan masalah baru. Tidak ada kemandirian berpikir dan tidak melihat dari kesiapan masyarakatnya secara menyeluruh.

Berbeda dengan sistem Islam. Islam selalu bersandar pada Al-Qur'an dan hadits Rasulullah. Tidak berdasarkan hawa nafsu, tidak memikirkan untung rugi. Tetapi lebih mementingkan nyawa manusia, apalagi dalam kondisi seperti saat ini. Dimana manusia harus diselamatkan dari wabah ini. Bukan malah ditakut-takuti.

Sitem islam adalah sistem yang mandiri bukan sistem pembebek. Bukan hanya mandiri dalam hal aturan individu, tetapi mandiri dari segala hal. Dari sistem kesehatan, sistem ekonomi, sistem sosial semua diatur oleh aturan islam. Jadi, ketika terjadi wabah seperti saat ini maka negara sudah ada kesiapan untuk menghadapi masalah ekonomi, kesiapan kesehatan, serta kesiapan masyarakat secara menyeluruh akan teratasi dengan baik. 

Walla a'lam bi Al-Shawab.