-->

Lagi, Tarif Listrik Cekik Rakyat Di Kala Pandemi

Oleh : Adzkia Mufidah, S.Pd

Penamabda.com - Awal Juni ini keluhan masyarakat soal tagihan listrik yang membengkak, ramai di medsos. Masyarakat memperkirakan ada kenaikan tarif listrik secara diam-diam atau ada subsidi silang yang diterapkan untuk pengguna daya 450 VA dan 900 VA.

Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PLN Bob Syahril membantah, dan mengatakan, perhitungan yang dilakukan PLN secara transparan. Oleh sebabnya, masyarakat yang tagihannya mengalami kenaikan bukan karena manipulasi atau kenaikan tarif melainkan karena pembatasan sosial. Menurut Bob, "Setelah ada PSBB tentu saja kegiatan di rumah lebih banyak, belajar dari rumah menggunakan fasilitas internet yang membutuhkan listrik. Bapak-bapak kerja juga dari rumah membutuhkan listrik. Lalu AC juga, sehingga mengakibatkan kenaikan pada bulan selanjutnya," jelasnya. (cnbcindonesia.com) 

Mencermati realitas di atas, persis seperti pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Tampaknya pepatah tersebut sesuai dengan kondisi masyarakat saat ini. Di tengah serangan pandemi corona yang tak kunjung berhenti, dan sulitnya penghidupan akibat penerapan PSBB, rakyat kembali tercekik dengan fakta kenaikan tarif listrik. Ironis memang. 

Dimana hati nurani para penguasa negeri ini? Tidakkah mereka merasa iba dengan nasib rakyat yang kian terpuruk?
Mencuatnya kembali persoalan listrik ini, menjadi bukti kelalaian Pemerintah dalam meriayah atau mengurusi rakyatnya. Seharusnya negara bertanggung jawab sepenuhnya terhadap hajat hidup orang banyak. Terlebih disaat pandemi ini. Alangkah eloknya jika negara lebih perduli dan ringan tangan terhadap rakyat. 

Memudahkan urusan mereka dan tidak menambah beban mereka dengan berbagai persoalan, seperti menaikkan tarif listrik/energi. 
Namun apa mau dikata. Rakyat kembali harus mereguk pil pahit dari diterapkannya sistem batil atas mereka. Seperti yang terjadi saat ini. Tarif Listrik Mencekik, Buah Diterapkannya Sistem Kapitalis-Neoliberal Listrik, sejak dulu telah menjadi polemik di negeri ini. Dari kualitas layanannya yang buruk hingga lonjakan tarifnya yang terus menerus terjadi. Inilah buah dari diterapkannya sistem ekonomi kapitalisme-neoliberalis yang mencengkram negeri ini. Sistem tersebut telah mendorong terjadinya liberalisasi disegala bidang. Tak terkecuali pada sektor energi. 

Setali dua uang, liberalisasi juga menyentuh tata kelola listrik, baik sumber energi primer maupun layanan listriknya. Liberalisasi sumber energi primer ditandai dengan disahkannya UU no. 22 tahun 2001. Undang-undang tersebut menjadi payung hukum atas legalisasi perampokan terhadap ladang minyak dan gas (migas) di Indonesia . Di samping itu, pada tahun 2009, lahir Undang-Undang7No. 04 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba). 

Tidak cukup dengan itu, liberalisasi ini masih diperkuat dengan UU No. 30 tahun 2009 tentang
ketenagalistrikan. Dengan itu dilakukanlah unbundling vertikal (pemecahan secara fungsi, yaitu
fungsi pembangkit, transmisi dan distribusi). Alhasil pembangkit, transmisi dan distribusi hingga ritel/penjualan ke konsumen dapat dilakukan sepenuhnya oleh swasta.

Mirisnya, disaat yang sama pemerintah yang seharusnya bertanggung jawab atas penyediaan listrik, justru hanya bertindak sebagai regulator saja. Sementara pengelolaan diserahkan pada mekanisme pasar/bisnis. 

Itulah yang terjadi pada PT. PLN sebagai perusahaan listrik negara-yang merupakan perpanjangan tangan pemerintah dalam hal penyediaan listrik di Indonesia. Akibat adanya unbundling, semua fungsi dilakukan oleh lembaga tersebut secara komersil. Maka tak heran kalau tarif listrik senantiasa naik. 

Di sisi lain, rakyat juga tidak berdaya. Karena listrik merupakan hajat hidup mereka, maka berapapun harganya pasti dibeli. Meski dengan kualitas layanan seadanya. 

Sungguh liberalisasi ini sangatlah berbahaya. Ia sejatinya adalah bagian dari agenda kapitalisme-sekular untuk menguasai dan meraup sebanyak-banyaknya materi. Tidak perduli apakah itu merupakan harta kepemilikan umum atau tidak. 

Karena itu, bagaimanapun produk aturan yang dihasilkan oleh sistem kapitalis ini, tetap tidak bisa menjamin bahwa rakyat banyak bisa memperoleh haknya terhadap energi listrik dengan mudah dan murah. Karena dari hulu ke hilir paradigma pengelolaannya adalah mencari keuntungan.

Listrik Murah Dan Berkualitas ; Hanya Dalam Sistem Islam

Sungguh Islam memiliki aturan yang paripurna (kaffah), karena mengadopsi sistem yang berasal dari Allah SWT, yang menciptakan manusia dan semesta alam ini. Dalam pandangan Islam, energi, termasuk listrik, merupakan bagian dari kepemilikan umum, berdasarkan hadis Nabi saw :
"Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara: padang rumput (kebun/hutan), air, dan api (energi)."[HR Ahmad].

Termasuk dalam kategori api (energi) tersebut adalah berbagai sarana dan prasarana penyediaan listrik seperti tiang listrik, gardu, mesin pembangkit, dan sebagainya. Begitu pula sumber energi yang digunakan untuk pembangkit listrik yang sebagian besar berasal dari barang tambang (yang depositnya besar seperti migas dan batu bara) juga merupakan milik umum. Syariah Islam telah menetapkan negara (Khilafah) sebagai wakil umat untuk mengatur produksi dan distribusi energi (termasuk listrik) tersebut untuk kepentingan rakyat. Haram hukumnya bagi negara menyerahkan kepemilikan ataupun penguasaannya kepada pihak swasta/asing. 

Di samping itu, negara sebagai wakil umat, juga tidak boleh mengeruk keuntungan dari kepemilikan umum ini. Negara hanya boleh memungut tarif sebagai kompensasi biaya produksi dan distribusi barang-barang tersebut (lihat: Abdurrahman al-Maliki, As-Siyâsah al-Iqtishâdiyah al-Mutslâ). 

Karena itu, listrik haruslah dikelola oleh sebuah badan milik negara yang statusnya adalah institusi pelayanan, dan bukan dijadikan sebagai institusi bisnis. Konsekuensinya, badan milik negara yang mengelola listrik ini haruslah terus disubsidi oleh negara. 

Negara bertanggung-jawab penuh akan hal itu. Sehingga setiap individu rakyat terpenuhi kebutuhan listriknya baik dari sisi kualitas maupun kuantitasnya. Tentu dengan harga murah bahkan gratis (jika memungkinkan). Hal ini berlaku untuk seluruh rakyat. Baik kaya atau miskin. Muslim maupun non muslim.

Dengan prinsip-prinsip pengelolaan listrik sesuai syariah inilah, Indonesia dengan sumber energi primer yang melimpah, akan mampu mengatasi berbagai persoalan terkait ketenagalistrikan. Termasuk harga atau tarif listrik yang melangit.

Namun, semua itu hanya akan terwujud jika kita membuang sistem kapitalisme-sekular. Lalu, menggantinya dengan sistem Islam, yakni khilafah yang akan menerapkan syariah Islam secara kaffah/totalitas. 

Wallaahua’lam