-->

Ketika Oppa Korea digugat

Oleh: Rut Sri Wahyuningsih (Institut Literasi dan Peradaban) 

Penamabda.com - Rakyat gaduh tersebab naiknya biaya listrik. Beban makin berat karena masih harus berjuang melawan dampak yang diakibatkan Covid-19 lainnya, pengangguran, tak ada penghasilan, kesehatan mahal, pekerjaan langka dan malah diberikan kepada TKA asal China, dan seterusnya. Tanpa ada jaminan kapan semua derita ini akan berakhir. 

Muncul ungkapan tak jelas yang menyebut drama Korea penyebab kenaikan tagihan PLN.  Muncul dari lisan Direktur Utama PT PLN Persero Zulkifli Zaini hingga Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eddy Soeparno merasa perlu mengungkapkannya  dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama PLN yang disiarkan secara langsung di situs web DPR RI (KompasTV, 17/6/2020).

Eddy menilai komunikasi PLN harus diperbaiki kepada para pelanggannya. Masyarakat pun perlu diberi penjelasan dengan bahasa yang sederhana. Eddy kembali mengingatkan direksi PLN soal cara berkomunikasi dengan pelanggan. Apalagi masyarakat yang sedang susah di tengah pandemi Covid-19, kaget mengetahui tagihan listriknya terjadi lonjakan di luar kewajaran.

Tak sekali dua lontaran lisan tak bertanggung jawab muncul dari para pejabat negara. Padahal jika melihat posisi mereka, seharusnyalah mereka yang paling besar upaya melindungi rakyat. Sebab adanya mereka karena rakyat memilih melalui parlemen.  Dan tak mungkin juga rakyat dengan sukarela memilih wakil mereka hanya untuk merumuskan sebuah kebijakan yang samasekali tidak berpihak pada rakyat. Bahkan hanya menerima dikata-katai tanpa ada pembelaan yang jelas . Sungguh berbeda keadaannya jika rakyat yang " mengata-ngatai" pejabat negara, sekalipun nyata merugikan rakyat namun selalu  berakhir di balik jeruji besi.

Mengapa hukum bisa tajam kebawah tumpul keatas ? Sebab hari ini kualitas pemimpin tidak sebaik kualitas pemimpin pada masa Rasulullah dimana setiap pemimpin senantiasa bergerak dan bertindak sesuai dengan landasan aqidah Islam yang menyatu dalam pribadi mereka , dalam benak mereka ketika apa nah pimpinan ada di pundak mereka hanyalah satu yaitu Bagaimana cara mewujudkan nya hingga amal itu bernilai ibadah dan Allah meridhoinya.

Ketika pemimpin merasa takut bahwa lisannya pun akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah maka pada saat itu muncullah sebuah peradaban mulia yang tidak mampu dikalahkan oleh peradaban manapun hingga hari ini. Sekularisme sebuah asas yang memisahkan agama dari kehidupan telah  sukses membentuk jiwa- jiwa pemimpin pengecut yang hanya pandai bicara tapi lambat bekerja. 

Seorang pemimpin dalam Islam akan dimintai pertanggungjawabannya atas apa yang ia pimpin. Demikian pula seorang pemimpin tidak layak hanya mengandalkan kata-kata semata yang tidak ada maknanya sebab Islam pun melarang seseorang mengatakan sesuatu yang bakal menyakiti saudaranya dan memerintahkan  lebih baik dia diam.

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam.” (Muttafaq ‘alaih: Al-Bukhari, no. 6018; Muslim, no.47).

Makna hadits di atas jelas menunjukkan bahwa kualitas keimanan seseorang orang itu tampak ketika ia berkata-kata maka semestinya pemimpin hari ini ini lebih fokus kepada apa yang diakibatkan oleh pandemi covid 19 bukan justru mengumbar pernyataan yang tidak ada dalilnya. Tidak saja menimbulkan keguncangan di dalam masyarakat karena menimbulkan persepsi yang berbeda-beda juga secara syariat dianggap telah menimbulkan fitnah.

Maka jelaslah bahwa sistem yang membolehkan di dalamnya bebas berkata-kata tanpa dalil ternyata menimbulkan kerusakan sosial. Maka mengapa masyarakat masih mempertahankannya?  Apa alasannya sementara kaum muslimin terikat dengan hukum syariat secara Kaffah. Ada baiknya kita mulai memikirkan bagaimana syariat Islam bisa diterapkan secara kaffah, agar kita bisa meraih keadaan sejahtera yang lebih baik dan  terbebas dari pemimpin yang hanya pandai berkata-kata. 

Wallahu a' lam bish showab.