-->

Impor Menggila Ditengah Wabah

Oleh: Rika Merdha (Member Tinta Pelopor) 

Penamabda.com - Indonesia negeri yang memiliki semboyan "gemah ripah loh jinawi" ini,  faktanya kini diambang kehancuran. Bagaimana tidak, negeri yang tanahnya subur, lautan menghampar luas dan SDA yang melimpah, nyatanya belum mampu menciptakan kedaulatan pangan. Bahkan, impor barang setiap tahunnya terus membanjiri negeri ini. Apalagi di saat wabah pandemi Corona melanda negeri, lonjakan impor malah justru menggila.

Seperti dilansir dari sindonews.com, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, impor komoditas sayuran asal China membanjiri Indonesia selama bulan lalu. Nilainya mencapai USD 75,37 juta, melonjak 219,31 persen atau tiga kali lipat dibandingkan Maret 2020 yang hanya USD 23,60 juta.

Merespon hal tersebut, Direktur Jenderal Holtikultura Kementerian Pertanian (Kementan) Prihasto Setyanto mengatakan, angka tersebut didominasi oleh komoditas sayur-sayuran yang pasokannya memang masih perlu dibantu oleh impor, seperti bawang putih dan kentang industri. Lebih lanjut , Prihasto mengakui pasokan dalam negeri saat ini belum mencukupi kebutuhan masyarakat, karena bawang putih tumbuh optimal di daerah sub tropis seperti China. (Kompas.com 25/05/20).

Sementara dilansir tempo.co, Ekonom senior Universitas Indonesia Faisal Basri menyampaikan impor Indonesia dari China tergolong besar. Impor tersebut berasal dari berbagai sektor mulai dari pangan hingga ke teknologi. Impor sayur misalnya, hampir 67,5 persen berasal dari China.

Alih-alih menciptakan swasembada pangan, komoditas pangan impor malah justru membanjiri Indonesia setiap tahunnya. Dan yang juga perlu dikritisi adalah lonjakan impor yang terjadi saat wabah. Para punggawa mengklaim bahwa produksi lokal turun sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan rakyat. Akan tetapi yang mengherankan, dalih pada saat pandemi malah justru menjadikan adanya pelonggaran syarat impor. 

Sebagaimana yang disampaikan oleh Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Indrasari Wisnu Wardhana, "jumlah bawang putih yang masuk mencapai 48 ribu ton. Dari jumlah itu, 20 ribu ton memakai Persetujuan Impor (PI), sementara 28 ribu ton masuk tanpa Persetujuan Impor (PI)". (Katadata.co.id 24/04/2020)

Adanya perbedaan sikap antara kementerian perdagangan dan pertanian soal impor di masa wabah. Menegaskan bahwa tidak ada kebijakan yang terintegrasi untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyat. Karenanya rencana swasembada atau kemandirian produksi pangan tidak sejalan dengan peluang cukai yang ingin di dapat oleh kementerian perdagangan dan kepentingan pebisnis yang mendorong pelonggaran syarat impor. 

Kegiatan ekspor impor barang memang bisa menjadi salah satu alternatif memenuhi kurangnya pasokan kebutuhan komoditas yang diperlukan. Hanya saja, adanya impor justru akan membuat masalah baru dengan meningkatkan ketergantungan terhadap negara lain serta dapat mematikan produksi dalam negeri. Lalu bagaimana strategi agar pangan tetap bisa memenuhi kebutuhan masyarakat, tanpa adanya kelangkaan dan harga yang mahal? 

Dalam Islam kegiatan ekspor impor merupakan bentuk perdagangan (tijarah) yang di dalamnya terdapat praktek jual-beli (buyu'). Jual beli sendiri hukumnya boleh (mubah) baik domestik maupun luar negeri. Sebagaimana dalam firman Allah, yg artinya :

"Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal, Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba". (TQS. Al-Baqarah :275)

Dalam pandangan Islam kegiatan jual beli termasuk dalam wilayah habluminannas ( hubungan antara sesama manusia) yang syariat Islam mengatur urusannya. Oleh karena itu dalam jual beli tidak bisa dilepaskan dari hukum syariat, jika tidak diatur berdasarkan syariat pasti akan menimbulkan kemudharatan (kerugian). Maka wajar jika kegiatan ekspor impor saat ini justru merugikan petani lokal, sebab mekanisme untuk mengatur kegiatan ini bukanlah berdasarkan sistem Islam melainkan sistem kapitalisme yang mencengkram negeri ini.

Sisten kapitalisme ini memberi peluang yang sangat besar untuk para kapital, mengintervensi kedaulatan negara inferior mereka. Meskipun pihak penguasa mengklaim impor ini bertujuan memenuhi pasokan dalam negeri yang tidak tercukupi. Namun, fakta di lapangan para petani lokal yang justru harus bersaing dengan barang impor, tak jarang mereka harus merugi akibat kebijakan ini. 

Dalam menjaga kedaulatan pangan, khilafah akan menerapkan mekanisme agar tidak semua produk pangan di masa subur akan dikonsumsi tetapi ada yang disimpan untuk cadangan. Oleh karena itu, Khalifah akan mendukung berbagai pengembangan teknik pengawetan pangan, sistem sirkulasi, standar bangunan penyimpanan pangan, serta pengaturan gaya hidup dan konsumsi masyarakat. Optimalisasi produksi akan dilakukan di seluruh lahan yang berpotensi untuk melakukan usaha pertanian berkelanjutan yang menghasilkan bahan pangan pokok. 

Selain itu upaya ini akan didukung dengan berbagai aplikasi sains dan teknologi, mulai dari mencari lahan yang optimal untuk benih tanaman, teknik irigasi, pemupukan, penanganan hama, hingga penanaman dan pengolahan lahan pasca panen. Selain itu masyarakat juga akan diedukasi untuk tidak berlebih-lebihan dalam konsumsi pangan, karena konsumsi berlebihan justru berpotensi merusak kesehatan atau obesitas dan juga meningkatkan persoalan limbah.

Pun manajemen logistik, dimana masalah pangan beserta yang menyertainya (irigasi, pupuk, anti hama) sepenuhnya dikendalikan oleh pemerintah yaitu dengan memperbanyak cadangan saat produksi berlimpah dan mendistribusikannya secara selektif pada saat ketersediaan mulai berkurang. Adapun prediksi iklim juga akan dilakukan dengan menganalisis kemungkinan terjadinya perubahan iklim dan cuaca ekstrim dengan mempelajari fenomena alam seperti curah hujan, kelembaban udara, serta intensitas sinar matahari yang diterima bumi. Dan juga khilafah akan melakukan mitigasi bencana kerawanan pangan, yaitu antisipasi terhadap kemungkinan kondisi rawan pangan yang disebabkan oleh perubahan drastis kondisi alam dan lingkungan. Mitigasi ini berikut tuntunan saling berbagi di masyarakat dalam kondisi sulit.

Inilah yang akan dilakukan oleh khilafah untuk menjaga ketahanan pangan dan kedaulatan negara, mengoptimalisasi produksi dalam negeri dengan berbagai upaya yang optimal. Jika hal ini sudah dilakukan namun pasokan kebutuhan masih mengalami kekurangan, khilafah akan melakukan impor dengan mekanisme yang dibenarkan oleh syariat sehingga kebijakan yang diambil tidak merugikan para petani dalam negeri.