-->

IMPOR MENGGILA DISAAT WABAH

Oleh : Fitrianingsih (Aktivis Muslimah) 

Penamabda.com - Di tengah tingginya kebutuhan pangan di Indonesia, khususnya dalam masa pandemi Covid-19 Indonesia masih saja mengimpor bahan-bahan pangan dengan klaim bahwa produksi lokal turun. Sebagaimana dilansir oleh Kompas (25/05), Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor sayur- sayuran sepanjang tahun 2019 meningkat dari tahun 2018, menjadi 770 juta dollar AS atau setara Rp11,3 triliun (asumsi kurs Rp14.700 per dolar AS). 

Tak hanya sayuran, ternyata Indonesia juga mengimpor bawang putih dan bawang bombai, dikutip Katadata (23/04), Kementerian Perdagangan telah melakukan relaksasi impor sementara untuk bawang putih dan bawang bombai mencapai 48 ribu ton sudah masuk ke tanah air.

Merespons hal tersebut, Direktur Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian (Kementan) Prihasto Setyanto mengatakan, angka tersebut didominasi komoditas sayur-sayuran yang pasokannya memang masih perlu dibantu oleh impor, seperti bawang putih dan kentang industri. 

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Indrasari Wisnu Wardhana mengatakan kebijakan impor tersebut tak akan merugikan petani dalam negeri. Menurutnya, importasi bawang hanya berlaku hingga 31 Mei 2020. Di masa pandemi ini, impor semakin meningkat dan salah satu jalan untuk memudahkannya melakukan impor  ini diperkuat dengan lahirnya Perpres No.58 Tahun 2020. Dalam Perpres tersebut, Jokowi mengatur penyederhanaan impor untuk kebutuhan pangan pokok, cadangan pangan pemerintah, serta bahan baku.
Maka dari sini nampak jelas mencerminkan importasi bawang putih dapat dilakukan dengan mudah. Ironisnya pemerintah memberikan peluang kepada para kapitalis dibanding menjamin pemenuhan kebutuhan dasar rakyat. 

Sistem kapitalisme yang mencengkram negeri ini. Kapitalisme yang mengubah negeri agraris ini menjadi negeri importir pangan. Dalam mengambil kebijakan betapa birokrasi dan struktur kerja antar institusi pemerintah pengelola begitu minim komunikasi dan koordinasi. Mereka terlihat bekerja tanpa visi bersama serta adanya ketidaksinkronan kebijakan impor antara kementerian perdagangan dan kementerian pertanian. Maka tidak heran jika kebijakan yang dilahirkan hanya mengedepankan keuntungan dan manfaat belaka. Yang hanya menyengsarakan rakyat bukan lagi menjadikan kepentingan rakyat. 

Disatu sisi para petani lokal yang mengalami banyak kerugian bahkan bisa mematikan usaha mereka. Ujung-ujungnya rakyat makin sengsara dan menderita.
Sejatinya pemerintahlah yang abai mengurusi pangan, sebab kebutuhan ini seharusnya mampu diproduksi sendiri dalam negeri justru kini kebanyakan melalui jalan impor.

Sebagai satu-satunya agama yang sempurna, Islam memiliki seperangkat aturan kehidupan yang mampu memberikan solusi terhadap seluruh problematika kehidupan umat manusia. Termasuk problem impor mengimpor.
Dalam Islam, kebijakan perdagangan internasional tidak diperbolehkan apabila kebijakan tersebut merugikan rakyat dan menyebabkan rakyat makin sengsara, khususnya para petani.

Sebagaimana dalam riwayat hadist Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa fungsi pemerintah adalah laksana penggembala, beliau bersabda: “Imam (kepala negara) laksana penggembala dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR. Bukhari).

Hadist ini menjelaskan bahwa khalifah memiliki tanggung jawab besar dalam mengurusi rakyat termasuk persoalan impor, yang harus sesuai hukum syara’ serta menyediakan kebutuhan dasar masyarakat dengan harga terjangkau dan ketersediaan yang mudah. Maka tentu negara akan mengusahakan pertanian dalam negeri agar mampu memenuhi kebutuhan pasar.

Jika masih belum bisa memenuhi, barulah dipertimbangkan untuk melakukan impor dengan catatan, impor ini tidak membuat negara bergantung pada pasokan luar negeri, sebab akan berdampak seperti kondisi sekarang ini.

Negaralah yang berperan untuk menjamin ketersediaan segala kebutuhan pokok rakyatnya, termasuk pangan, daulah islam memaksimalkan hasil sumber daya alam secara merata hingga pemenuhan kebutuhan hidup rakyat secara keseluruhan terpenuhi. Tentunya hal ini dapat dirasakan kesejahteraan dan menjadi rahmatan lil alamin jika ada institusi negara yang melaksanakannya.
Hal ini tidak akan kita jumpai kecuali dalam sistem Islam, satu-satunya sistem yang telah terbukti memberikan jaminan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia. 

Wallaahu a’lam bi ashshawab.