-->

Angka Kemiskinan Melonjak, Benarkah Sebab Corona?

Oleh : Helda Apriliyanti (Aktivis Muslimah)

Penamabda.com - Kasus kemiskinan akhir-akhir ini menjadi pembicaraan ditengah publik. Hal ini tidak lain karena adanya wabah saat ini mengharuskan sebagian pekerja dirumahkan bahkan ada yang kehilangan mata pencaharian. 

Sebagaimana menurut Fajar Desira, prediksi adanya peningkatan angka kemiskinan ini disebabkan penduduk yang sebelumnya tidak miskin kemudian menjadi miskin akibat tidak bisa mencari penghasilan selama pandemi Covid-19. “Belum lagi yang terkena PHK, akhirnya jumlah penduduk miskin di Kalsel meningkat. (BanjarmasinPost) 

Fajar menambahkan Pemerintah Provinsi Kalsel sudah menyiapkan strategi mengatasi angka kemiskinan ini agar jumlahnya tidak semakin bertambah baik dengan pemberian jaminan sosial maupun stimulus keuangan. “Ada pemberian jaminan sosial berupa sembako ataupun stimulus keuangan, seperti pembebasan denda pajak ataupun relaksasi hutang. (BanjarmasinPost) 

Secara umum pemerintah sendiri mengantisipsi kemiskinan yang terjadi ini dengan mengeluarkan Perppu untuk menambah alokasi belanja APBN 2020 sebesar Rp110 triliun untuk jaring pengaman sosial (social safety net/SSN) melalui kartu sembako, kartu prakerja, dan subsidi listrik, bisa dipastikan, tak semua rakyat yang “harus jatuh miskin” bakal mendapat kebutuhan mendasarnya.

Jika kita melihat kasus kemiskinan, sebenarnya apakah disebabkan karena adanya wabah?

Data penduduk miskin Indonesia sebelum wabah, Ekonom Core Akhmad Akbar Sutanto menjelaskan, jumlah panduduk di bawah garis kemiskinan pada Maret 2019 mencapai 25,1 juta atau 9,4% total penduduk Indonesia. Namun, jumlah penduduk rentan miskin dan hampir miskin mencapai 66,7 juta jiwa, sekitar 25% total penduduk Indonesia.

Begitu pula data Kalimantan selatan, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kalsel, Nurul Fajar Desira membeberkan prediksi itu seusaii rapat Komisi III DPRD Kalsel, (19/5) “Angka kemiskinan sebelumnya sebesar 4,55 persen, mengacu data BPS (Badan Pusat Statistik), Karena dampak wabah diprediksi naik menjadi 5,54 persen atau naik menjadi 0,99 persen,” ungkapnya. 

Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar rakyat Indonesia sudah sejak lama mengalami kemiskinan dan kesulitan dalam kehidupan baik dalam memenuhi kebutuhan pokok maupun kesehatan dan pendidikan. Sehingga mengambinghitamkan wabah atas meningkatnya kemiskinan tidaklah tepat, sebab hal tersebut bukanlah inti dari permasalahannya.

Adanya kemiskinan yang dialami rakyat tidak lain karena pengelolaan negara menggunakan sistem kapitalisme, Karena tatanan kapitalisme mengharamkan negara untuk menanggung kebutuhan hidup seluruh warga, sekalipun dalam kondisi krisis. Mereka “harus miskin” dulu untuk mendapatkan jaminan kebutuhan. Itu pun sementara, sehingga disebut jaring pengaman sosial.

Kemiskinan secara struktural adalah “kutukan” kapitalisme. Sampai kapan pun, ideologi ini tak bakal mampu menghilangkan kemiskinan (end poverty), sekalipun memformat dunia dengan program global yang bombastis.
Demikianlah cerminan negara gagal. Gagal memenuhi kebutuhan kalangan terdampak Covid-19. Jangankan memenuhi seluruh kebutuhan primer, mencukupi sembako selama wabah saja tak akan sanggup. Padahal kebutuhan pokok kalangan marginal hari ini tak cuma makan, tapi juga bayar kontrakan rumah, energi –listrik, gas, dan bahan bakar motor–, dana pendidikan anak-anak, hingga pulsa.

Pemerintah tidak mampu mencukupinya karena hajat hidup publik tidak berada di tangannya. Tetapi telah diserahkan sebagian atau keseluruhan pada swasta, untuk menjalankan privatisasi milik umum sebagai “amanah” lembaga rente dunia. Peran pemerintah hanya berhenti sebagai regulator: mengeluarkan peraturan dan memberi sanksi seadanya pada korporasi yang membisniskan hajat publik.