-->

The New Normal : Haruskah Tergesa Buka Sekolah?

Oleh :  Ummu Tsabita Nur (Pemerhati dan praktisi pendidikan)

Penamabda.com - Berbagai pihak -baik praktisi maupun peduli pendidikan-  meminta pemerintah tidak tergesa menetapkan tahun ajaran baru di tengah pandemi. Sebelum muncul keputusan Kemdikbud tentang permulaan tahun ajaran baru, Persatuan Keluarga Besar Taman Siswa (PKBTS) meminta menteri Nadiem mengundurnya jadi Januari 2021.

Alasannya sederhana, di tengah pandemi urusan mencari sekolah baru bisa menambah beban para ortu. Belum lagi jika pembelajaran daring terus dilakukan sebagaimana yang sudah berlangsung, dirasa banyak pihak kurang efektif plus membebani keluarga. Khairul Rosadi, Sosiolog dari Universitas Trunojoyo Madura sepakat dengan keberatan berbagai pihak tersebut.  “ Berdasar pengalaman, ada banyak kendala dalam pembelajaran daring, baik dari sisi siswa, keluarga, para guru, juga kurikulum yang belum menyesuaikan dengan situasi pandemi, “ katanya.  (eramuslim.com). 

Ya tentu wajib bagi pemangku kebijakan mengevaluasi semua kendala itu agar mampu mencapai tujuan pendidikan.  Bukan sekedar asal sekolah dan asal belajar. Belum lagi bicara beban pengeluaran keluarga yang makin berat seiring pandemi Corona yang entah kapan berakhir. Tidakkah ini menjadi pertimbangan ?

Rosadi pun mewanti pemerintah untuk tidak buru-buru membuka sekolah sesuai edaran soal protokol The New Normal. Saat ini kurva pandemik Covid-19 masih tinggi, resiko pelajar dan guru terpapar virus sangat besar. Argumen bahwa pembukaan sekolah ikut menggerakkan perekonomian terlalu lemah jika dibanding bahaya bagi kesehatan secara massal jika anak-anak dibiarkan aktif bersekolah kembali.  Kebayang memang tak mudah menerapkan protokol kesehatan untuk tetap menjaga interaksi “aman” agar tidak tertular, terutama pada anak usia TK dan SD. Iya kan?

Komisi Perlindungan Anak (KPAI) pun sependapat. Karena bisa saja sekolah justru menjadi klaster baru penyebaran virus Corona. Komisioner KPAI, Retno Listyarti merilis data Kemenkes tentang adanya 4 persen kasus yang terkonfirmasi positif Covid-19 di rentang usia anak 0 sampai 14 tahun atau  ada 831 anak dari total kasus 20.796 per tanggal 22 Mei 2020. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mendata ada 129 anak tewas dengan status PDP dan 14 anak meninggal dengan status positif. (idntimes.com). Semua data ini cukup tinggi dibanding kasus negara lain di dunia, dan yang penting digarisbawahi bahwa rumor covid-19 tidak menyerang anak-anak atau (berdampak) ringan di usia anak sama sekali tak benar !

Ekonomi atau nyawa rakyat ?

Kebijakan untuk " new normal " seolah menunjukkan betapa negara tak sanggup lagi menanggung beban “derita” tak bergeraknya perekonomian. Walaupun kurva dari data kasus pandemik di seluruh Indonesia trend-nya belum menunjukkan tanda-tanda melandai, tetap saja muncul wacana ini.

Tak heran banyak yang menduga, negara sedang memberlakukan herd immunity alias kekebalan kelompok. WHO sendiri sudah memperingatkan bahwa teori seperti ini sangat berbahaya. Salah satu ciri pemerintah menerapkan konsep ini adalah dengan tidak melaksanakan startegi pandemi (testing, tracing, isolasi) secara serius atau bahkan abai sama sekali. (kompas.com). Gimana tak bahaya ketika masyarakat dibiarkan berjuang sendiri menghadapi virus.  Tanpa upaya serius dari negara untuk melindungi mereka. Yang imunnya baik, bisa bertahan.  Sedang yang lemah harus tumbang. Apakah negri +62 sedang menuju ke sana, entahlah. 

Namun yang sudah nyata penampakannya adalah perekonomian menjadi prioritas dibanding menjaga jiwa (nyawa). Padahal Rasul Saw telah bersabda: 

"Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingnya terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.”(HR. Nasai, Turmudzi ).

Apalagi mengingat anak-anak dan remaja adalah generasi penerus, apa jadinya jika harus bertarung dengan virus tanpa ada jaminan keselamatan jiwa mereka.  Vaksin dan obatnya belum fiks ditemukan, sedangkan di negri ini kebijakan terlihat mencla-mencle. Tak serius mencegah dan mengobati masyarakat.  Mulai dari rapid test yang –dianggap- tidak akurat, karantina wilayah tidak-psbb pun setengah hati, larangan mudik vs pulkam tapi moda transportasi bolah jalan lagi.

Juga berbagai hal yang justru jadi topik hangat untuk terus digunjingkan di dunia nyata dan media sosial.  Mengapa jadi topik hangat, ya karena tak jelas negara maunya apa? 

Terus rakyat musti mengadu ke mana? Yang muncul akhirnya keputusan-keputusan individu yang cukup keras. Salah satunya, melanggar stay at home demi sesuap nasi.  Mati kena virus belum tentu, mati kelaparan udah pasti. Berat kan? Dan sekarang anak-anak pun harus bertarung sendiri menghadapi virus yang tak nampak ini, demi roda perekonomian berputar. Sehingga banyak ortu berencana tidak akan membiarkan anaknya bersekolah kembali. Tinggal kelas ga papa weis, ujarnya. Mereka tak berani membayangkan jika anak mereka terpapar virus , dan harus diisolasi sendiri di ruang karantina.  Membayangkan saja bergidik rasanya. 

Semua harusnya makin sadar betapa rezim penganut ekonomi kapitalis di mana pun akan sama saja.  Para pemodal besar yang usahanya vakum sejak Corona merebak, mulai kesulitan bernapas.  Makanya mereka mendesak agar segera diterbitkan kebijakan yang memperpanjang napas mereka. The new normal itu hakikatnya demi para kapital besar walaupun harus mengorbankan nyawa rakyat.  Termasuk nyawa anak-anak kita semua.

Menyakitkan sekali hidup di bawah rezim tak punya hati. Kita butuh pnguasa yang peduli nasib rakyatnya. Apalagi nasib generasi mudanya, generasi penerus di masa depan. Jangan sampai rakyat  seluruhnya mengatakan #Terserah! Suka-suka kalian saja.

Sebagaimana sakit hatinya para nakes yang sudah harus mengikhlaskan lebih dari 50 teman seprofesinya tumbang. Salah satu dokter menulis di linimasa, “ Petugas kesehatan berjuang untuk memutus mata rantai  Covid-19, sementara di lain pihak orang hanya melanggar aturan.... Ini seperti cinta tak berbalas. #IndonesiaTerserah.” (kompas.com).

Kita butuh sistem dan penguasa yang bertakwa dan mampu menjadi Junnah (perisai).  Rasulullah Saw bersabda :    
“Sesungguhnya al imam (Khalifah) itu perisai, di mana (orang-orang) akan berperang di belakangnya, mendukung dan berlindung dari musuh dengan (kekuasaan) nya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Makna ungkapan kalimat “al-imamu junnah” adalah perumpamaan sebagai bentuk pujian terhadap imam yang memiliki tugas mulia untuk melindungi orang-orang yang ada di bawah kekuasaannya.
Sebagaimana dijelaskan oleh al-Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim, 

“(Imam itu perisai) yakni seperti as-sitr (pelindung), karena Imam (Khalifah) menghalangi/mencegah musuh dari mencelakai kaum Muslimin, dan mencegah antar manusia satu dengan yang lain untuk saling mencelakai, memelihara kemurnian ajaran Islam, dan manusia berlindung di belakangnya dan mereka tunduk di bawah kekuasaannya.”  Termasuk menjadi pemelihara keselamatan (jiwa) warganya. 

Seharusnya negara menjamin agar pendidikan anak bangsa berjalan baik, meski di tengah pandemi. Karena ini menjadi hak umat. Dan sudah semestinya pembiayaan ditanggung penuh oleh kas negara. Bukan malah dibiarkan memikirkan urusan kuota yang membengkak. Dan menjadi tambahan beban hidup yang sudah semakin rumit sejak negara api menyerang eh virus Corona maksudnya.

Itu bisa dilakukan jika negara berasas Islam, yang menjadikan ekonomi negara tidak berkiblat pada Barat. Tapi bagaimana mengoptimalkan pengelolaan SDA sehingga bisa menjadi andalan pemasukan kas negara. Bukan mengandalkan pajak dan utang, yang justru menjadikan negara lemah dalam menjamin kebutuhan rakyat. Juga menjadikan negara tidak mandiri alias bisa disetir para pemilik modal.

Rasulullah Saw  pun mengingatkan tentang  penguasa  ruwaibidhah.  

"Ada yang bertanya, “Siapa Ruwaibidhah itu?” Nabi menjawab, “Orang bodoh yang mengurusi urusan orang umum.” (HR. al-Hakim, al-Mustadrak ‘ala as-Shahihain, V/465). 

Nyata benar itu terjadi sekarang. Masih ragu untuk tinggalkan sistem bobrok yang bikin penguasa dikuasai pemodal seperti saat ini??[]