-->

Tetap Jaga Fokus, Hati-Hati Optimisme Berlebih

Oleh : F. Dyah Astiti

Penamabda.com - Permasalahan covid-19 belum juga berakhir. Di Indonesia per tanggal 10 Mei 2020, sebanyak 14.032 orang dinyatakan positif COVID-19. Jumlah ini meningkat lebih dari 300 kasus dibanding sehari sebelumnya. Kondisi tak menentu turut dirasakan setiap elemen masyarakat. Harapan muncul dari berbagai pihak agar pandemi ini segera berakhir. Banyak riset dilakukan demi memprediksi kapan berakhirnya pandemi.

Hasil riset Singapore University of Technology and Design (SUTD) menunjukkan, wabah Covid-19 di Indonesia akan berakhir pada 7 Oktober 2020. Namun, SUTD memberi peringatan bahwa pembaca harus menyikapi prediksi apa pun dengan hati-hati. Karena Optimisme berlebihan dapat mengendurkan kedisiplinan dan kendali(kompas.com). 

Seharusnya peringatan tersebut menjadi hal yang perlu digaris bawahi. Mengingat kemungkinan virus semakin menyebar karena kendurnya kedisiplinan bisa saja terjadi. Di Indonesia sendiri, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi memutuskan untuk membuka lagi akses layanan seluruh moda transportasi umum mulai Kamis, 7 Mei 2020. Dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan yang sudah ada. Alasannya agar roda perekonomian nasional tetap berjalan di tengah pandemi.(tirto.id). 

Meski demikian banyak pihak mengkhawatirkan kebijakan tersebut bisa mempengaruhi jalannya PSBB di sejumlah daerah.  Apalagi semakin lama, alamiahnya masyarakat semakin terbiasa dengan keberadaan Covid-19. Sehingga bisa berakibat munculnya ketidakwaspadaan dan ketidak disiplinan dalam mematuhi protokol kesehatan.

Negara Harus Fokus

Setiap elemen masyarakat maupun pemerintah tentu menginginkan kondisi kembali normal secepat mungkin. Baik dalam sosial, pendidikan maupun perekonomian. Terlepas dari keinginan agar semua aspek kembali normal utamanya dalam hal ekonomi. Ataupun mengacu pada akhir masa pandemi yang diprediksi tinggal beberapa bulan lagi. Untuk saat ini, seharusnya pemerintah berkonsentrasi terhadap memutus rantai penyebaran virus dan pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat. Jangan sampai keinginan mengembalikan kondisi perekonomian secara cepat. Dan didasari acuan prediksi akhir pandemi yang tinggal sebentar lagi, menjadikan pemerintah optimis berlebih dan tidak fokus. Alih-alih ingin ekonomi kembali normal, namun justru virus semakin menyebar. Ketika hal tersebut terjadi maka derita akibat pandemi akan semakin menjadi-jadi. Semakin lama virus berputar di sekitar masyarakat maka dampak akan semakin besar. 

Jika melihat realitas yang ada, semakin masyarakat terbiasa dengan keberadaan covid-19 maka sikap abai dan kurangnya kewaspadaan akan muncul. Dalam kondisi seperti ini maka Negaralah yang harus menjadi yang paling waspada dan berhati-hati. Selain itu, akan lebih bijak jika setiap kebijakan Covid-19 perlu selalu didukung oleh data-data yang valid dan akurat. 

Tujuannya agar kebijakan yang dikeluarkan negara tidak salah. Negara yang mampu mengkoordinir daerah dan masyarakat agar senantiasa sejalan dalam memutus rantai penyebaran. Kebijakan-kebijakan tumpang tindih dan terkesan melonggarkan justru akan berefek kepada tidak kunjung terselesaikannya masalah. 

Namun apa daya, jika sistem yang diterapkan adalah kapitalisme. Sistem yang selalu berorientasi manfaat ini telah menjadikan mau tidak mau laju ekonomi adalah nomor satu. Bagaimana tidak, jika liberalisme segala bidang yang dihasilkan dari sistem ini. Menjadikan sumber pemasukan negara terbesar adalah pajak dan hutang. Karena sumberdaya Alam bukan lagi untuk rakyat. Hal tersebut berdampak sangat besar bagi carut marutnya ekonomi ketika masyarakat tak lagi mampu menjalankan roda perekonomian. Negarapun kehilangan peran sebagai pengurus urusan masyarakat.

Kondisi tersebut sangat berbeda dengan Negara yang menerapkan Islam. Dalam Islam, pemimpin memiliki dua fungsi utama. Yaitu sebagai raa’in (pengurus) dan junnah (penjaga) bagi masyarakat. Fokus negara hanyalah mengurusi urusan masyarakat dengan islam. Penerapan islam secara kaffah di seluruh bidang menjadikan negara tidak lagi mengandalkan hutang dan pajak dari masyarakat. Karena sumber penerimaan APBN atau Baitul maal sendiri telah ditetapkan.

Salah satunya adalah berupa sumber kekayaan alam yang pengelolaannya hanya boleh diserahkan oleh negara. Bukan diserahkan pada perusahaan swasta, atau asing. 

Wallahu a'lam bishshowab.