-->

PSBB Dilonggarkan, Benarkah?

Oleh: Khanifatul Jihadiyah 

Penamabda.com - Pemerintah bermaksud untuk melakukan pelonggaran program PSBB dalam rangka merespon adanya kesulitan masyarakat saat akan keluar mencari nafkah. Seperti yang dikutip dari pernyataan Menkopolhukam Mahfud MD saat melakukan live instagram, “"Kita tahu ada keluhan ini sulit keluar, sulit berbelanja dan sebagainya, sulit mencari nafkah dan sebagainya, kita sudah sedang memikirkan apa yang disebut relaksasi PSBB.” tirto.id, 2 mei 2020.

Statemen Mahfud MD sebenarnya dilatarbelakangi banyaknya komplain dari masyarakat yang sangat stress. Stress yang dialami oleh masyarakat timbul sebagai akibat dilema hebat. Sebab mereka dihadapkan pada pilihan sulit yang keduanya sama-sama beresiko kehilangan nyawa. Bagaimana tidak, saat memilih berdiam di rumah sebagaimana kebijakan Pemerintah maka mereka dipastikan tidak ada pemasukan sehingga bahaya kelaparan pun muncul. Sedangkan, saat keluar untuk bekerja maka bahaya terinfeksi virus Covid-19 yang mematikan itu semakin besar. 

Diantara mereka berasal dari kalangan pedagang kecil. Mereka mengeluh tidak bisa berjualan sehingga otomatis tidak ada pemasukan sejak kasus Covid-19 muncul di awal maret. Mereka gelisah karena tidak tahu harus bagaimana menghidupi keluarganya. Seperti yang dilansir melalui BBC.news (3/5/2020) dalam wawancaranya kepada pak Fathi, seorang pedagang kerajinan di daerah Jakarta, “Karena itu yang di awal-awal sebelum PSBB, itu ketika sudah dinyatakan sekolah libur oleh Pemprov DKI dua minggu awal sampai akhir Maret itu, itu sudah sangat sepi sebenarnya, akhirnya malah kita tutup duluan sebelum PSBB karena sudah tidak kondusif keadaannya”. Kasus seperti pak Fathi hanya satu dari jutaan rakyat Indonesia lainnya akibat lockdown selama masa pandemi ini. Bahkan ada ribuan diantaranya yang berkerja sebagai buruh terkena PHK. 

Bagai buah simalakama, ternyata kebijakan pelonggaran PSBB tersebut bertentangan dengan sisi kesehatan yang juga kewajiban pemerintah dalam upaya penjagaan pada kesehatan masyarakat. Sebab, data lapangan menunjukkan tren kasus Covid-19 belum benar-benar mengalami penurunan yang konsisten dan signifikan. Padahal untuk memberlakukan kebijakan “relaksasi” PSBB harus berdasarkan data lapangan yang memang menunjukkan penurunan. Itu pun juga harus melalui proses bertahap, seperti pernyataan pakar epidemiologi UI dalam wawancaranya via telepon, "Jadi harus diyakinkan ada penurunan kasus yang konsisten, sudah rendah, artinya pandemi sudah mereda, pada saat itulah kita akan melepas pelan-pelan restriksi yang sudah dijalankan," BBC News (3/5/2020).

Oleh karena itu, banyak pihak yang kemudian mempertanyakan langkah Pemerintah dalam menangani wabah. Karena saat awal-awal kasus Corona pun Pemerintah cenderung lambat, kemudian mengeluarkan kebijakan yang tidak jelas sehingga jatuh banyak korban bahkan banyak diantaranya berasal dari kalangan tenaga kesehatan. Apalagi bila program PSBB juga akan segera dilonggarkan dimana tren kasusnya belum kunjung menurun maka semakin terlihat betapa amburadulnya keputusan mereka. 

Anggota PKS Anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Dewan Perwakilan Rakyat, Syahrul Aidi Maazat, mencurigai rencana pemerintah melonggarkan Pembatasan Sosial Bersakala Besar (PSBB) hanya demi kepentingan segelintir pebisnis. “Kami mempunyai kekhawatiran ada segelintir pebisnis tertentu yang resah dengan jatuhnya bidang usahanya dan mengakibatkan mereka di jurang kebangkrutan dan mendesak pemerintah untuk melonggarkan PSBB,” kata Syahrul lewat keterangan tertulis, Ahad, 3 Mei 2020.

Menurut Syahrul, bila alasan dibalik rencana itu benar hanya untuk kepentingan bisnis, maka pemerintah sudah melanggar asas keadilan dalam Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan. Dalam UU Karantina Kesehatan, menurut dia, keselamatan masyarakat adalah hal yang paling utama. 

Sejatinya kebijakan yang sarat dengan kepentingan ekonomi bukanlah hal baru. Di awal kasus Corona, pemerintah kerap kali memberikan keputusan serba pincang. Salah satu yang paling diingat adalah saat kebijakan darurat sipil diambil dan menganulir semua keputusan Pemprov yang melakukan karantina wilayah. Alasannya, tidak lain kebijakan karantina wilayah atau lockdown adalah wewenang pemerintah pusat bukan daerah. Lalu apa bedanya? Karena, kebijakan darurat sipil menjadikan pemerintah lepas tanggung jawab dari penyediaan kebutuhan dasar masyarakat yang kesulitan selama terjadi pandemi. Padahal karantina wilayah sendiri telah termaktub dalam UU kesehatan No. 6 tahun 2018. Analisa ini diperkuat dengan pernyataan presiden sendiri saat melakukan rapat terbatas Gugus Covid-19 melalui siaran Live Youtube, dikutip dari detikNews (3/3/2020). 

Sungguh wajar bila kebijakan PSBB pun akan segera dilonggarkan. Karena bila melihat track record rezim dalam menangani kasus Covid-19 dengan mencla-mencle maka dirasa sangat rasional dengan diambilnya kebijakan tersebut. Karena dengan situasi longgarnya masyarakat untuk mencari nafkah menjadikan rezim semakin nyaman dan acuh untuk tidak mengurusi rakyatnya. Ditambah lagi, kebijakan ini terkesan menjadi win-win solution bagi negara bergaya korporatokrasi ini. Tak peduli apakah hal tersebut membahayakan nyawa rakyat yang rentan terinfeksi virus mematikan sekalipun. Sungguh dzalim tindakan mereka.

Kemalangan yang menimpa rakyat kecil semacam ini hanya lumrah ditemui di negara yang menganut sistem kapitalisme. Karena kondisi ini akan bertolak belakang bila kita melihat Sistem Islam dalam pengurusan rakyat. 

Salah satu kasus yang paling terkenal adalah ketika Amirul Mukminin, Sayyidina Umar bin Khattab ra., mennyelesaikan kasus wabah kelaparan Ramadah pada tahun 14 H. wabah kelaparan tersebut meluas di seluruh wilayah hijaz yang meliputi arab Saudi dan yaman saat ini. 
Para Ulama merinci tentang tindakan apa saja yang dilakukan Amirul Mukminin saat wabah terjadi. 

Pertama, aspek manajemen yang diberlakukan oleh Amirul Mukminin dengan membagi-bagi kamp pengungsian warga di sekitar Madinah. Setiap Kamp dilengkapi dapur umum untuk menyediakan bahan makanan bagi masyarakat terdampak agar memudahkan mereka mendapat bantuan dan lebih cepat tertangani. Umar memerintahkan pihak pengelola Baitul Mal untuk mensuplai bahan makanan dan mengecek ketersediaan bahan makanan di semua kamp setiap harinya. Umar mengatur para pejabat negara untuk bertugas membantu menyalurkan bantuan. Bahkan, beliau sendiri tiap hari sibuk wara-wiri untuk turut memasak makanan. 

Kedua, aspek koordinasi oleh Amirul Mukminin saat Madinah sudah tidak memiliki lagi stok makanan bagi para pengungsi. Umar segera menghubungi beberapa gubernur (Wali) di daerah-daerah subur untuk mengirim bantuan. Tercatat ada 3 daerah yang mengirim bantuan, yaitu Amr bin Ash dari mesir yang mengirim 1000 karavan unta yang membawa muatan gandum dan dari jalur laut mengirim 20 kapal berisi gandum dan pakaian, lalu Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang mengirim gandum sebanyak 3000 karavan unta untuk kloter pertama dan 2000 karavan unta di kloter berikutnya. Tak ketinggalan, Saad bin Abi Waqqash mengirim beberapa caravan unta berisi gandum, kurma dan pakaian. Bila ditaksir seluruh bantuan bias mencapai ratusan miliar.

Kondisi yang begitu indah dan mengharukan tersebut tak mungkin lahir kecuali dari Rahim Sistem Islam. Sistem yang menerapkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah sehingga mampu menjadikan keberkahan dan kemakmuran di seluruh negerinya sebagaimana Firman Allah ta’ala di surat Al A’raf ayat 96:

“Dan jika penduduk negeri beriman dan bertaqwa ( kepada) Allah sesungguhnya Kami ( Allah ) bukakan kepada mereka ( pintu-pintu ) berkah dari langit dan bumi…”

Bukan hanya itu, dari sistem ini pulalah lahir banyak sosok pemimpin yang dalam dadanya dipenuhi ketakwaan, kepalanya diisi dengan Alqur’an dan hatinya dihiasi dengan kasih sayang. Bias kita lihat bagaimana Umar dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum ajma’iin yang begitu serius dan rela menggelontorkan banyak sekali dana untuk menangani wabah paceklik. Semua itu tidak lain didasari ketakwaan kepada Allah. Mereka lebih mengutamakan nyawa rakyat dibandingkan kas negara. Mereka begitu takut tentang pertanggung jawaban mereka dia khirat kelak tentang tanggung jawabnya sebagaimana hadits baginda Nabi SAW : 

“Setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannnya. Seorang kepala negara adalah pemimpin atas rakyatnya dan akan diminta pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya” (H.R. Muslim)

Semoga Allah segera menjadikan Sistem Islam ditengah-tengah kehidupan kita diterapkan lagi. Agar ketakwaan dan keberkahan Allah yang sangat dinanti juga segera kembali.