-->

New Normal Life: Tren Yang Tak Normal

Oleh : Ummu Salman (Ibu Rumah Tangga, Penulis, Aktivis Dakwah) 

Penamabda.com - Wacana new normal life terus bergulir pasca seruan hidup berdamai dengan corona. Berbagai persiapan tengah dilakukan untuk penerapan new normal life tersebut. Diantaranya adalah Pemerintah sudah merilis beberapa skenario new normal life untuk pekerja (PNS, BUMN dan Perusahaan). 

Sekretaris Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) Dwi Wahyu Atmaji mengatakan skenario ini merupakan pedoman yang disiapkan agar PNS dapat bekerja optimal selama vaksin Corona belum ditemukan. Wahyu menambahkan ada tiga komponen yang diatur dalam skenario new normal. 

Pertama, skenario ini akan menerapkan sistem kerja yang lebih fleksibel (flexible working arrangement) yang membuat ASN bisa bekerja dari kantor, rumah, atau tempat lain.

Kedua, skenario ini juga mewajibkan penerapan protokol kesehatan, seperti jaga jarak, pemakaian masker dan cuci tangan untuk mencegah penularan virus selama bekerja. Skema ini, jelas Wahyu, tentunya akan diiringi dengan penyesuaian sarana dan ruang kerja.

Ketiga, percepatan dan perluasan penerapan teknologi informasi dan komunikasi juga harus dilakukan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik, misalnya melalui e-office, digital signature, dan rapat lewat video conference.

Meski demikian PAN-RB masih mengkaji siapa saja dan berapa batasan usia pegawai yang diperbolehkan untuk beraktivitas kembali. (cnbcindonesia.com, 25/5/2020)

Upaya tersebut dilakukan untuk menormalkan kondisi ekonomi. Sayangnya semua upaya menormalkan kondisi ekonomi tersebut tidak diiringi dengan peningkatan penanganan wabah dari aspek kesehatan. Terlihat dari protokol yang diterapkan, masih sama seperti yang sebelum-sebelumnya. Itupun pelaksanaannya tidak benar-benar konsisten karena kenyataannya di lapangan misalnya dalam penggunaan masker, ada yang menggunakan dan ada juga yang tidak. Disamping itu penerapan jarak antara pegawai juga tidak didukung dengan fasilitas, sarana prasarana dan infrastruktur yang memadai.

Pemerintah juga belum memiliki peta jalan yang jelas, akan seperti apa menjalankan new normal life. Posisi Indonesia sebagai negara pengekor, menjadikan penerapan New normal life hanya sekedar mengikuti tren global tanpa menyiapkan perangkat memadai agar tidak menjadi masalah baru. 

Para medis dan pakar kesehatan menilai penerapan new normal life di Indonesia terlalu tergesa-gesa atau tanpa pertimbangan yang matang. Pertimbangan besarnya hanyalah dari sisi ekonomi, yakni bertujuan membangkitkan ekonomi namun, abai dari sisi kemanusiaan, dimana kebijakan new normal life tersebut bisa membahayakan manusia. 

Salah satu kritikan penerapan new normal life datang dari Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Dr Hermawan Saputra. Beliau mengkritik persiapan pemerintah menjalankan kehidupan new normal. Menurut dia belum saatnya, karena temuan kasus baru terus meningkat dari hari ke hari. Terlalu dini, maksud Hermawan adalah wacana new normal ini membuat persepsi masyarakat seolah-olah telah melewati puncak pandemi Covid-19, namun kenyataan belum dan perlu persiapan-persiapan dalam new normal tersebut (merdeka.com, 25/5/2020)

Melihat ketidaksiapan tersebut, alih-alih ekonomi bangkit justru wabah gelombang ke dua mengintai di depan mata. Penerapan New normal life tanpa persiapan matang justru makin menunjukkan bahwa penguasa negeri ini sedang berlepas tangan dari tanggung jawabnya dalam mengurusi urusan keselamatan dan kesehatan rakyatnya.

Solusi Islam

Sistem Islam yang telah terbukti selama ribuan tahun diterapkan, memiliki solusi yang mampu memecahkan masalah. Dalam Islam, negara tidak boleh menjadi pembebek apalagi membebek pada negara-negara kufar dalam mengambil kebijakan-kebijakannya. Negara harus mandiri, memiliki pandangan yang jelas yaitu Islam dalam mencari solusi dan menetapkan kebijakan. Negara tidak akan melihat kebijakan yang membebek tren internasional. Apalagi jika kondisi negara memang belum memungkinkan untuk menerapkan tren tersebut.

Kebijakan yang membebek pada negara kufar jelas menunjukkan kelemahan negara tersebut, dan menunjukkan penguasaan akan negara kufar terhadap negara kita. Padahal Allah berfirman: 

“Dan sekali-kali Allah tidak akan pernah memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin.” (QS. Al-Nisâ’ [4]: 141). 

Jelas ketika mengkaji pesan-pesan agung al-Qur’an yang melarang keras menjadikan kaum kafir sebagai bithanah, awliya’, termasuk dalam menjadikan mereka rujukan untuk pengambilan kebijakan negara. 

Dalam tuntunan Islam ada standar-standar yang menjadi ukuran untuk menghentikan kebijakan darurat wabah. Standar tersebut yaitu

1. Penguasa telah melakukan segenap daya upaya dalam menghentikan penularan wabah, yaitu melalui lockdown wilayah yang menjadi wilayah wabah, sekaligus menanggung konsekuensi dari kebijakan lockdown tersebut. Lockdown adalah solusi syar'i berdasarkan hadis Rasulullah Saw. Edukasi tentang wabah juga terus dilakukan, dan dibangun ketakwaan individu dan masyarakat, agar tumbuh kesadaran mereka untuk mematuhi berbagai aturan penanganan wabah yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Masyarakat saling mengingatkan sekaligus menjadi kontrol sosial tentang kepatuhan pada aturan tersebut. Ini akan mudah dilakukan, jika masyarakat percaya dan meyakini bahwa penguasanya sungguh sedang bekerja keras melakukan yang terbaik untuk rakyatnya, dan yang paling penting mereka yakin bahwa penguasanya adalah orang-orang yang taat dan patuh terhadap Allah dan RasulNya.

2. Melakukan pengobatan dan perawatan intensif terhadap rakyat yang menjadi pasien wabah, dan biayanya ditanggung penuh oleh negara

3. Memantau perkembangan para pasien, termasuk memantau perkembangan wabah, adakah penambahan jumlah pasien atau tidak, sampai dipastikan bahwa tidak ada lagi penambahan pasien positif wabah. 

Jika semua pasien telah tertangani dengan baik, dan tidak ada lagi penambahan kasus positif wabah, maka kebijakan penanganan wabah bisa dihentikan. Kehidupan bisa kembali normal seperti biasanya.

Wallahu'alam bishowwab