-->

Nelangsa Anak Sendiri Ditendang, Asing Terus Disanjung

Oleh : Nisa Revolter (Praktisi Pendidikan)

Penamabda.com - Tak ada habisnya, kasus baru di tengah pandemi terus mencuat. Dari lemahnya kesehatan, kriminalitas meningkat, kelaparan, hingga PHK terus bergelombang tinggi di dalam negeri. Efek pandemi membuat roda ekonomi seakan terhenti berputar. Demi sesuap nasi rakyat terpaksa mencari cara lain, maka menjadi pekerja di negeri orang menjadi pilihan. Salah satunya adalah dengan menjadi Anak Buah Kapal (ABK). Syaratnya yang tergolong mudah, berbekal kekuatan fisik dan tanda tangan kontrak kerja, sudah cukup untuk resmi bekerja di kapal milik negara lain.

Namun, siapa sangka ternyata menjadi ABK tak semudah dibayangkan. Harapan bekerja di kapal pesiar mewah dengan iming pendapatan ratusan dolar kini pupus. Jauh panggang dari api. Bekerja sebagai ABK menguras energi dan batin. Bahkan mati pun menjadi resiko. Tanpa berkabar, tanpa berjejak, hidup syukur, mati tak apa.

Seperti yang telah dilansir CNN Indonesia (08/05/2020), sebanyak dua dari empat ABK yang meninggal dunia di kapal penangkap ikan milik China. Keduanya adalah warga Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan. 

Jenazah kedua ABK tersebut dilarung di lautan lepas. Pihak keluarga tidak tahu jika jenazah dua ABK tersebut dilarung. Dua ABK yang meninggal itu adalah Sepri (26) dan Ari (25) warga Dusun II Desa Serdang Menang, Kecamatan Sirah Pulau Padang, Kabupaten OKI.

Dikabarkan keduanya meninggal setahun lalu, dua bulan kemudian setelah meninggal baru disampaikan kepada keluarga mendiang. Meski demikian, pihak perusahaan mengaku telah memakamkan keduanya secara islami. Hingga berita ini muncul, pihak keluarga menuntut perusahaan atas hak yang harus diterima keluarga sepeninggalnya dua ABK tersebut.

Tak hanya itu saja, kejadian yang sama berulang. Hingga maret 2020 total kematian tiga WNI saat kapal Long Xin 629 dan Long Xin 604 sedang berlayar di Samudera Pasifik. Jenazahnya pun dilarung di laut. Kemenlu China mengklaim pelarungan ini sudah disesuaikan praktik kelautan internasional untuk menjaga kesehatan para awak kapalnya. Sebab kabarnya sang WNI jatuh sakit hingga meninggal dunia (Kompas.com, 07/05/2020).

Kemenlu sudah menghubungi pihak keluarga almarhum. Santunan kematian sudah diberikan kepada pihak keluarga oleh pihak agen yang menghubungkan calon ABK ke perusahaan kapal China (Bisnis.com, 07/05/2020).

Nasib tragis awak kapal WNI sungguh berbeda dengan keromantisan pemerintah bersama WNA di negeri kita tercinta. Kepada WNA karpet merah terbentang. Sungguh diskriminatif. Terang saja bahkan dari data hingga 2018 jumlah WNA yang bekerja mencapai 126 ribu orang, meningkat sekitar 70 persen dibandingkan akhir 2016 sebanyak 74 ribuan orang. Mayoritas pekerja berasal dari China. Jumlah itu terus membludak tiap tahunnya. Bahkan baru-baru ini ada 49 WNA telah mendarat di Kendari (Tirto.id, 19/03/2020). Lebih parahnya lagi, 500 TKA telah masuk di Konawe, Sulawesi Tenggara, dengan alasan agar bisa selamatkan 15 ribu karyawan lokal dari PHK (TribunKaltim.co, 02/05/2020). Bahkan para TKA ini telah mengantongi izin dari pemerintah maret lalu, boleh tinggal darurat di Indonesia hingga kondisi membaik dari pandemi.

Pemerintah Diskriminatif, Ada Apa?

Kini terang-terangan pemerintah memperlihatkan keberpihakannya kepada asing. Sayangnya kepada asing berbanding terbalik kepada anak kandungnya. Anak sendiri bak barang dagangan, boleh diambil, bayar di awal, kalau lecet beri santunan. Padahal mereka yang telah membantu keuangan negara. Air susu dibalas dengan air tuba. Sungguh tak tahu balas budi. Tegas layaknya penguasa hutan rimba kepada warga sendiri, tapi lemah terhadap warga asing.

Watak pemerintah yang diskriminatif mempertontonkan ketidaklayakannya menjadi penguasa, pemangku kebijakan. Pemerintah kerapkali mengeluarkan kebijakan yang jauh dari kemaslahatan rakyatnya, justru menguntungkan asing.

Terbukanya lapangan kerja seluas-luasnya bagi warga seperti ilusi di negeri ini. Sebab penyedia lapangan kerja dikendalikan oleh asing, pemerintah hanya fasilitator. Maka pantas saja pemerintah sangat lemah lembut kepada asing dibanding warganya sendiri. Sungguh ironi.

Islam Solusi Tuntas

Wajah pemerintah yang terkesan cuci tangan tentu tak ditemui dalam kehidupan ketika islam menjadi aturan. Islam sebagai suatu sistem kehidupan yang berasal dari Allah Sang Pemilik alam semesta, sekaligus sebuah ideologi yang memahami betul kebutuhan manusia. Terpenuhinya kebutuhan akan sandang, pangan, dan papan, menjadi perhatian penting. Bukan tidak mungkin, penyediaan lapangan kerja adalah suatu kewajiban sebagai penunjang terpenuhinya segala kebutuhan. 

Pemimpin adalah pengurus, sebagaimana dalam hadist Rasulullah SAW : “Pemimpin (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab  atas rakyatnya” (HR. al-Bukhari dari Abdullah bin Umar).

Dalam negara islam, baik muslim maupun non-muslim sama-sama mempunyai hak sebagai warga negara. Mereka mempunyai kewajiban bekerja, bagi laki dewasa, berakal dan mampu, juga dijamin oleh negara. Negara wajib menyediakan lapangan kerja untuk mereka, sehingga mereka bisa menunaikan kewajibannya.

Namun, seorang khalifah tak hanya memusatkan perhatian kepada warganya, bahkan pula kepada asing. Bagi warga negara asing kafir yang terang-terangan memerangi islam (harbi fi’lan) misal seperti Cina, Rusia, AS, atau Israel, keberadaan mereka di wilayah khilafah hanya boleh untuk mempelajari Islam, bukan untuk berdagang atau bekerja. Karena itu, mereka tidak boleh melakukan aktivitas lain terkait dengan perdagangan ataupun jasa. Sebab visa yang diberikan oleh negara khilafah hanya untuk belajar, bukan yang lain.

Sedangkan warga negara asing yang tidak terlibat langsung dalam memerangi Islam dan kaum Muslim (kafir harbi hukman), baik yang terikat perjanjian dengan khilafah maupun tidak, seperti Jepang atau Korea, maka mereka boleh keluar masuk wilayah khilafah tanpa visa khusus. Jika terlibat perjanjian dengan negara meliputi perdagangan dan jasa, maka mereka boleh berdagang dan bekerja di wilayah negara khilafah. Jika tidak, maka tidak boleh.

Ini terjadi ketika ekspansi wilayah islam di Turki sekitar abad 14. Sebagaimana di masa penaklukan Konstantinopel oleh pemimpin fenomenal Utsmani, Sultan Muhammad Al-Fatih. Ia memperkerjakan seorang insinyur ahli
meriam yang bernama Orban, yang merupakan warga asing Ustmani. Kedatangannya disambut hangat oleh Sultan. Meriam hasil buatannya memiliki berat hingga ratusan ton dan Sultan melakukan pengawasan langsung pembuatan meriam tersebut, serta dia sendiri yang melihat uji cobanya. Segala fasilitas yang dibutuhkan Orban diberikan oleh Sultan.

Begitupula ketika telah tertakluknya Konstantinopel, penduduknya yang masih beragama Kristen diberikan kebebasan beribadah. Negara islam menjamin hak-hak beragama mereka. Bahkan didirikan bagi mereka sekolah dan tempat ibadah khusus. Seorangpun tidak boleh mengintervensi masalah internal mereka termasuk urusan keuangan, juga mereka berhak memilih pemimpin agama mereka sendiri yang berurusan langsung dengan negara. Mereka boleh bekerja di bidang-bidang ahli mereka ataupun bidang administrasi Khalifah.

Demikianlah sejarah dalam setiap lembarannya membuktikan sikap toleran tinggi kepada kaum kafir, juga adil kepada warga negara sendiri. Namun ketika kaum kafir melanggar tentu akan ada sanksi yang diperoleh, diantaranya dideportasi, dipenjara atau sanksi lain yang dianggap tepat oleh hakim negara sesuai dengan tingkat kejahatannya. Juga jika ada warga negara yang ketahuan bersekongkol dengan kafir melakukan tindak kejahatan maka akan dikenai takzir, baik dipenjara, didenda maupun dibunuh.

Begitulah cara negara khilafah menjaga ketahanan negaranya, dengan kebijakannya terhadap warga negara asing. Berbeda dengan kondisi saat ini, sebab masih memegang kuat kapitalisme-sekuler demi mempertahankan eksistensi diri, cara yang ditempuh pun semata-mata demi menjaga kepentingan pribadi. Rakyat dibiarkan terlunta-lunta. Sementara negara masih mesra dengan asing. Demikian rusaknya sistem ini. Maka sudah saatnya campakkan sistem kapitalisme-sekuler, mari berjuang dalam mengembalikan kehidupan islam.

Wallahu 'alam bishshowab.