-->

Ironi Kebijakan Dimasa Pandemi; Ekonomi Diangkat Ibadah Dihambat

Oleh : Watini Alfadiyah, S.Pd. (Praktisi Pendidikan dan Pengamat Sosial)

Penamabda.com - Saat ini kita sedang dihadapkan dengan kebijakan yang membingungkan. Bagaimana tidak kebijakan baru disosialisasikan belum terlaksana sudah lahir kebijakan berikutnya. Kebijakan yang serasa ambigu, dan perlu dipertanyakan serta dikritisi, terlebih dimasa Pandemi terkait dengan adanya kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yaitu dimana keberadaan masjid ditutup sementara mall dan bandara dibuka. Hingga akhirnya
Anggota Komisi Agama DPR RI John Kennedy Azis mengkritik pemerintah yang tidak konsisten dalam menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di tengah pandemi virus corona (Covid-19).

John menyebutkan,
"Di mal-mal penuh, sementara di masjid tetap dikunci, ada apa di sini? Bapak sebagai Kepala Gugus Tugas ada apa di sini? Di mal Bapak biarkan, di tempat-tempat keramaian yang lain dibiarkan," kata John dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VIII dengan BNPB yang disiarkan langsung dpr.go.id. (Kamis,12/05/2020/CNNIndonesia).

Demikian pula, Sekretaris Jendral Majelis Ulama Indonesia (Sekjen MUI) Anwar Abbas mempersoalkan sikap pemerintah yang tetap melarang masyarakat berkumpul di masjid. Anwar mempertanyakan, mengapa pemerintah tidak tegas terhadap kerumunan yang terjadi di bandara.

"Tapi yang menjadi pertanyaan, mengapa pemerintah hanya tegas melarang orang untuk berkumpul di masjid. Tapi tidak tegas dan tidak keras dalam menghadapi orang-orang yang berkumpul di pasar, di mal-mal, di bandara, di kantor-kantor dan di pabrik-pabrik serta di tempat-tempat lainnya," kata Anwar Abbas dalam keterangan tertulis, Minggu (17/5/2020).

Anwar menilai kebijakan pemerintah mengenai pengecualian perjalanan transportasi di tengah pandemi virus Corona (COVID-19) ini sebagai sebuah ironi. Karena, kata Anwar, kebijakan ini bertentangan dengan sikap pemerintah Indonesia yang bersikeras ingin memutus rantai penyebaran virus Corona. (17/05/2020/detikNews.com)

Menteri Agama Fachrul Razi yang didukung  oleh Persaudaraan Alumni 212 juga menggaungkan akan adanya relaksasi tempat ibadah.

Menurut mereka jangan sampai ada diskriminasi saat pemerintah membuka akses bandara tetapi rumah ibadah tidak dibuka.

"Sebab kalau tidak ini bisa jadi bom waktu pembangkangan massal umat Islam karena merasa ada diskriminasi kebijakan," ujar Ketua Persaudaraan Alumni 212, Slamet Maarif. (Rabu,13/05/2020/Tribunnews.com)

Para ulama yang diwakili oleh Majelis Ulama Indonesia, Persaudaraan Alumni 212, dan para da'i pun  mempertanyakan atas  ironinya kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang tidak konsisten dalam membuat kebijakan PSBB. Pembatasan Sosial Berskala Besar ( PSBB) yang dikeluarkan disaat wabah belum terhenti   maka akan membahayakan rakyat. 

Disisi lain pemerintah  membuat kebijakan dengan  alasan pemulihan perekonomian rakyat, tetapi justru akan berdampak negatif bagi kesehatan bahkan keselamatan nyawa rakyat karena wabah belum berakhir. Lantas,  pemerintah memihak kepada siapa kalau tidak pada korporasi/ pengusaha hingga mengabaikan kepentingan rakyat dari sisi kesehatan dan keselamatan. Dengan begitu tampak ada diskriminasi/ ketidakadilan karena kepentingan ibadah rakyat yang justru dihambat.

Kebijakan yang demikian itu mestinya kita sadari karena tidak mengantarkan solusi tetapi justru melahirkan persoalan baru akibat gejolak masyarakat yang dihambat dalam urusan ibadahnya.

Dalam kondisi demikian saatnya para ulama bersuara lantang untuk mengangkat setiap jenis aspirasi rakyat yang menjerit akibat kebijakan zalim rezim kapitalis. Karena posisi
ulama adalah bentuk jama’ dari ‘alim yang artinya ahli ilmu atau ilmuwan. Bahkan
Rasulullah ﷺ bersabda,”Ingatlah, sejelek-jelek keburukan adalah keburukan ulama dan sebaik-baik kebaikan adalah kebaikan ulama”. [HR Ad Darimi].

Ulama hakekatnya berhubungan dengan ilmu dan kebaikannya. Harta dan tahta adalah godaan bagi ulama yang bisa menjerumuskan ke dalam kehinaan. 

Sayyidina Anas ra meriwayatkan :
“Ulama adalah kepercayaan Rasul selama mereka tidak bergaul dengan penguasa dan tidak asyik dengan dunia. Jika mereka bergaul dengan penguasa dan asyik terhadap dunia, maka mereka telah mengkhianati para Rasul, karena itu jauhilah mereka.” [HR al Hakim]. Itulah jatidiri ulama yang harus selalu dijaga keberadaannya.

Ulama kini harus berani mengangkat  kritik kata sepakat bahwa dengan adanya wabah virus covid-19 (Corona ) ini selayaknya kita semua menyadari hakekat  manusia  yaitu diciptakan oleh Allah, untuk beribadah kepada Allah, dan akan kembali kepada Allah.  Sebagaimana Allah berfirman : " Dan Aku tidak ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku". (TQS. Adz-Dzariyat : 56). 

Dengan memahami bahwa konsep hidup ini untuk beribadah maka akan selalu terikat dengan syari'at-Nya dalam seluruh aspek kehidupan. Dengan demikian, ironisnya kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah dimasa pandemi  yang bermaksud mengangkat ekonomi namun menghambat penghambaan kepada Illahi Rabbi selayaknya harus dikritisi oleh para ulama sampai pemerintah menyadari bahwa kebijakannya menunjukkan ketidakadilan dan memihak kepada korporasi. 

Sementara kebijakan yang demikian tidak akan terjadi pada sistem Islam, karena kepemimpinan dalam Islam itu berangkat dari ketaqwaan dan menyadari bahwasanya setiap amanah akan dimintai pertanggungjawaban. Sebagaimana Rasulullah Saw bersabda : 

"Imam/ Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggungjawab terhadap rakyat yang diurusnya." (HR. Muslim dan Ahmad). 

Dengan demikian, pemimpin dalam sistem Islam akan selalu berfikir untuk rakyat yang dipimpinnya.

Wallahu a'lam bi as-showab.