-->

Dua Perisai Umat

Oleh : Aya Ummu Najwa

Penamabda.com - Memasuki akhir Ramadhan ini, kita layak untuk merenungkan kembali dua hadits Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam terkait dengan puasa dan imam adalah perisai. Dalam kitab-kitab hadits, kata “junnah” atau perisai ternyata hanya digunakan pada dua hal: puasa dan pemimpin. 

Pertama adalah Puasa sebagai Perisai.
Puasa adalah ibadah yang istimewa karena memiliki banyak keutamaan. Di antara keistimewaannya yaitu puasa merupakan perisai bagi seorang muslim. Di dalam sebuah hadis dijelaskan:

- حَدَّثَنَا عَتَّابٌ ، قَالَ : حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ ، قَالَ : أَخْبَرَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ ، قَالَ : حَدَّثَنِي أَبُو يُونُسَ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : الصِّيَامُ جُنَّةٌ ، وَحِصْنٌ حَصِينٌ مِنَ النَّارِ.

Rasulullah shallallahu `alaihi wa Sallam bersabda:

الصِّيَامُ جُنَّةٌ ، وَحِصْنٌ حَصِينٌ مِنَ النَّارِ

“Shaum itu Perisai dan Benteng yang kokoh (penjaga) dari api Neraka”. (Hadis riwayat Ahmad: 9214, Shohih Hasan)

Ibnu Rajab rahimahullah berkata:

فَالْجُنَّةُ: هِيَ مَا يَسْتَجِنُّ بِهِ الْعَبْدُ، كَالْمِجَنِّ الَّذِي يَقِيهِ عِنْدَ الْقِتَالِ مِنَ الضَّرْبِ، فَكَذَلِكَ الصِّيَامُ يَقِي صَاحِبَهُ مِنَ الْمَعَاصِي فِي الدُّنْيَا، كَمَا قَالَ عَزَّ وَجَلَّ: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ} [البقرة: 183] [الْبَقَرَةِ: 183] ، 

“Junnah adalah sesuatu yang dijadikan perisai oleh seorang hamba, seperti sebuah perisai yang dapat menjaganya dari pukulan atau tebasan di saat tempur. Demikian juga shoum dapat menjaga pelakunya dari berbuat maksiat saat di dunia. Allah `Azza wa Jalla berfirman: 

 “Hai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan di atas kalian shoum seperti yang telah diwajibkan di atas umat sebelum kalian, niscaya kalian bertakwa”. (Qs. Al-Baqarah: 183).

فَإِذَا كَانَ لَهُ جُنَّةٌ مِنَ الْمَعَاصِي، كَانَ لَهُ فِي الْآخِرَةِ جُنَّةٌ مِنَ النَّارِ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ جُنَّةٌ فِي الدُّنْيَا مِنَ الْمَعَاصِي، لَمْ يَكُنْ لَهُ جُنَّةٌ فِي الْآخِرَةِ مِنَ النَّارِ.

Jika shaum itu menjadi perisai yang menjaga seseorang dari perilaku maksiat di dunia, maka di akhirat shaumnya itu akan menjadi perisai dari api neraka. Jika shaum itu tidak menjadi perisainya dari perilaku maksiat saat di dunia, maka di akhirat pun shaumnya itu tidak akan menjadi perisai dari api neraka”. (Jami`ul `Ulum wal Hikam: 2/139)
Ibnu Hajar al-`Asqalani rahimahullah berkata:

وَالْجُنَّةُ بِضَمِّ الْجِيمِ الْوِقَايَةُ وَالسَّتْرُ وَقَدْ تَبَيَّنَ بِهَذِهِ الرِّوَايَاتِ مُتَعَلَّقُ هَذَا السَّتْرِ وَأَنَّهُ مِنَ النَّارِ وَبِهَذَا جَزَمَ بن عَبْدِ الْبَرِّ وَأَمَّا صَاحِبُ النِّهَايَةِ فَقَالَ مَعْنَى كَوْنِهِ جُنَّةً أَيْ يَقِي صَاحِبَهُ مَا يُؤْذِيهِ مِنَ الشَّهَوَاتِ وَقَالَ الْقُرْطُبِيُّ جُنَّةٌ أَيْ سُتْرَةٌ يَعْنِي بِحَسَبِ مَشْرُوعِيَّتِهِ فَيَنْبَغِي لِلصَّائِمِ أَنْ يَصُونَهُ مِمَّا يُفْسِدُهُ وَيَنْقُصُ ... 

Junnah dengan dhammah jim adalah penjaga dan penghalang. Dengan riwayat-riwayat ini jelaslah sudah bahwa keterkaitan penjagaan dan penghalangan ini adalah dari api neraka, itulah yang ditegaskan oleh Ibnu Abdil Bar. 

Sedangkan penyusun kitab an-Nihayah mengatakan: ‘arti junnah adalah menjaga pelakunya dari syahwat yang mengganggunya’. Al-Qurthubi berkata: ‘Junnah adalah penghalang (sesuai dengan dasar disyariatkannya shaum), untuk itu orang yang shaum selayaknya menjaga shaumnya dari hal-hal yang merusak dan mengurangi pahalanya.

وَيَصِحُّ أَنْ يُرَادَ أَنَّهُ سُتْرَةٌ بِحَسَبِ فَائِدَتِهِ وَهُوَ إِضْعَافُ شَهَوَاتِ النَّفْسِ وَإِلَيْهِ الْإِشَارَةُ بِقَوْلِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ إِلَخْ وَيَصِحُّ أَنْ يُرَادَ أَنَّهُ سُتْرَةٌ بِحَسَبِ مَا يَحْصُلُ مِنَ الثَّوَابِ وَتَضْعِيفِ الْحَسَنَاتِ وَقَالَ عِيَاضٌ فِي الْإِكْمَالِ مَعْنَاهُ سُتْرَةٌ مِنَ الْآثَامِ أَوِ مِنَ النَّارِ أَوْ مِنْ جَمِيعِ ذَلِكَ 

Bisa juga yang dimaksud adalah tirai penghalang menurut manfaatnya, yaitu melemahkan syahwat jiwa, hal ini dapat dilihat dari hadis yang menyatakan bahwa orang yang shaum itu meninggalkan syahwatnya.

Boleh juga diartikan sebagai tirai penghalang karena hasil pahala yang didapat dan berlipat gandanya kebaikan. Qodhi `Iyad berkata dalam al-Ikmal: ‘artinya adalah tirai penghalang dari berbagai dosa atau dari api neraka atau dari kedua-duanya”. 

وَبِالْأَخِيرِ جَزَمَ النَّوَوِيُّ وَقَالَ بن الْعَرَبِيِّ إِنَّمَا كَانَ الصَّوْمُ جُنَّةً مِنَ النَّارِ لِأَنَّهُ إِمْسَاكٌ عَنِ الشَّهَوَاتِ وَالنَّارُ مَحْفُوفَةٌ بِالشَّهَوَاتِ فَالْحَاصِلُ أَنَّهُ إِذَا كَفَّ نَفْسَهُ عَنِ الشَّهَوَاتِ فِي الدُّنْيَا كَانَ ذَلِكَ سَاتِرًا لَهُ مِنَ النارفي الْآخِرَةِ

Di bagian akhir, An-Nawawi menegaskan: ‘Ibnul `Arobi berkata: ‘shaum menjadi junnah dari api neraka, karena menahan diri dari syahwat, sedangkan api neraka diliputi oleh syahwat. Kesimpulannya, jika seseorang menahan dirinya dari syahwat di dunia, maka hal itu akan menjadi tirai penghalang seseorang dari api neraka nanti di akhirat”. (Fathul Bari: 4/104)

.Dalam Sebuah Hadis disebutkan:

1611 عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِىَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِىَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ.

“Ikrimah rahimahullah meriwayatkan bahwa Ibnu `Abbas radiyallahu `anhuma berkata: “Rasulullah shollallahu `alaihi wa sallam memfardhukan zakat fitr sebagai pembersih orang yang shaum dari hal-hal yang sia-sia dan makanan bagi orang-orang miskin. Barangsiapa yang menunaikannya sebelum sholat `ied, itulah zakat yang diterima dan barangsiapa yang menunaikannya setelah sholat `ied, itu hanya sadaqah biasa”. (Hadis riwayat Abu Daud: 2/25,1611)
Hadis riwayat Abu Daud: 
Hikmah zakatul Fitr adalah:

1.  “Thuhrah lis Saim” (Pembersih orang yang shaum) dari semua hal yang sia-sia dan dari kata-kata kotor. Yang paling sulit ditinggalkan oleh orang yang shaum adalah semua perilaku dan ucapan yang tidak ada faedahnya, baik faedah di dunianya maupun faedah di akhiratnya. Begitu juga kata-kata kotor atau kata-kata porno yang sangat sulit ditinggalkan oleh orang yang shoaum sekalipun. Dengan syariat zakatul Fitr semua kekurangan, kelalaian, keteledoran kita yang shoum akan dibersihkan oleh Alloh Subhanahu wa Ta`ala. 

2.  “Thu`mah lil Masakin” (Makanan untuk kaum miskin). Dengan zakat fitr, saudara-saudara kita yang sangat sulit kehidupan kesehariaannya bisa merasakan kebahagiaan yang sama. Bisa menikmati kebahagiaan hari raya dengan menikmati makan-makanan yang layak dan bergembiran bersama dengan kaum muslimin lainnya.

Yang ke dua adalah, Al imam sebagai Junnah

Nabi Muhammad Saw bersabda:

إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ

”Sesungguhnya al-Imam (Khalifah) itu perisai, di mana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dll)

Imam al-Mala al-Qari secara gamblang menyatakan:

”Makna kalimat (إنما الإمام) yakni al-Khalifah atau Amirnya”

Kedudukan al-Imam, dan apa yang diungkap dalam hadits yang agung ini pun tidak terbatas dalam peperangan semata, seperti penegasan beliau:

”Frase (وَيُتَّقَى بِهِ) sebagai penjelasan dari kedudukan al-Imam sebagai junnah (perisai) yakni menjadi pemimpin dalam peperangan yang terdepan dari kaumnya untuk mengalahkan musuh dengan keberadaannya dan berperang dengan kekuatannya seperti keberadaan tameng bagi orang yang dilindunginya, dan yang lebih tepat bahwa hadits ini mengandung konotasi dalam seluruh keadaan; karena seorang al-Imam menjadi pelindung bagi kaum muslimin dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya secara berkelanjutan.”( ‘Ali bin Sulthan Muhammad Abu al-Hasan Nuruddin al-Mala’ al-Qari, Mirqât al-Mafâtiih Syarh Misykât al-Mashâbiih, juz VI, hlm. 2391).

Makna ungkapan kalimat “al-imamu junnah” adalah perumpamaan sebagai bentuk pujian terhadap imam yang memiliki tugas mulia untuk melindungi orang-orang yang ada di bawah kekuasaannya sebagaimana dijelaskan oleh al-Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim, “(Imam itu perisai) yakni seperti as-sitr (pelindung), karena Imam (Khalifah) menghalangi/mencegah musuh dari mencelakai kaum Muslimin, dan mencegah antar manusia satu dengan yang lain untuk saling mencelakai, memelihara kemurnian ajaran Islam, dan manusia berlindung di belakangnya dan mereka tunduk di bawah kekuasaannya.”

Sedangkan makna (yuqaatilu min waraa’ihi) yakni: kaum Muslimin akan berperang bersama dengannya (al-Khalifah) dalam memerangi orang-orang kafir, para pemberontak, khawarij dan seluruh kelompok-kelompok pembuat kerusakan dan kezaliman secara mutlak. Begitulah yang disampaikan al-Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim.

Dalam kitab Ajhizat Dawlat al-Khilâfah, Syaikh Atha bin Khalil menyatakan, di antara kandungan hadis di dalamnya terdapat penyifatan terhadap Khalifah bahwa ia adalah junnah (perisai) yakni wiqâyah (pelindung). Ketika Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam menyifati bahwa seorang al-Imâm (Khalifah) adalah junnah (perisai),  artinya mengandung pujian atas keberadaan al-Imâm (Khalifah), dan bermakna adanya tuntutan. Informasi dari Allah dan dari Rasul-Nya, jika mengandung celaan maka ia merupakan tuntutan untuk meninggalkan, yakni larangan. Jika mengandung pujian maka ia merupakan tuntutan untuk melaksanakan.  Jika perbuatan yang dituntut tersebut mengandung konsekuensi terhadap tegaknya hukum syari’ah atau pengabaiannya mengandung konsekuensi terhadap terabaikannya hukum syari’ah, maka tuntutan tersebut bersifat tegas. (Atha bin Khalil Abu al-Rasytah, Ajhizat Dawlat al-Khilâfah fii al-Hukm wa al-Idârah, Beirut: Dâr al-Ummah, Cet.I, 1426 H/2005, hlm. 11).

Imam Abu Hamid al-Ghazali dalam kitabnya al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd hlm. 128 mengumpamakan diin dan kekuasaan (kepemimpinan), sebagai saudara kembar (الدّين وَالسُّلْطَان توأمان).  Beliau berkata :

“Al-Dîin itu asas dan penguasa itu penjaganya, maka apa-apa yang tidak ada asasnya maka ia akan roboh dan apa-apa yang tidak ada penjaganya maka ia akan hilang.”

Fungsi junnah dari Khalifah ini tampak ketika ada Muslimah yang dinodai kehormatannya oleh orang Yahudi Bani Qainuqa’ di Madinah, Nabi shalallahu alaihi wassalam melindunginya, menyatakan perang kepada mereka, dan mereka pun diusir dari Madinah. Selama 10 tahun, tak kurang 79 kali peperangan dilakukan Rasulullah Shalallahu'alaihi wasallam, demi menjadi junnah bagi Islam dan kaum Muslim.

Ini tidak hanya dilakukan oleh Nabi, tetapi juga para Khalifah setelahnya. Harun ar-Rasyid, di era Khilafah ‘Abbasiyyah, telah menyumbat mulut jalang Nakfur, Raja Romawi, dan memaksanya berlutut kepada Khalifah. Al-Mu’tashim di era Khilafah ‘Abbasiyyah, memenuhi jeritan wanita Muslimah yang kehormatannya dinodai oleh tentara Romawi, melumat Amuriah, yang mengakibatkan 9000 tentara Romawi terbunuh, dan 9000 lainnya menjadi tawanan. Pun demikian dengan Sultan ‘Abdul Hamid di era Khilafah ‘Utsmaniyyah, yang menolak upaya Yahudi untuk menguasai tanah Palestina. Semua ini adalah representasi dari fungsi junnah para Khalifah.

Maka dalam momentum Ramadhan ini, sangat tepat untuk kembali mengingatkan umat bahwa Inilah dua perisai yang seharusnya diperjuangkan untuk dimiliki oleh kaum muslimin, sebagai individu maupun sebagai kesatuan umat. Puasa sebagai perisai diri dari melakukan dosa sehingga terbentuklah pribadi yang bertaqwa, dan juga kepemimpinan Islam yaitu Khilafah sebagai bentuk ketaatan kaaffah seorang muslim untuk dapat menerapkan Islam secara menyeluruh dan sempurna dalam tatanan negara. 

Wallahu a'lam