-->

Program Kartu Pra Kerja di Tengah Pandemi bukan Solusi yang Tepat

Oleh: Deti Kutsiya Dewi (Alumni PNJ) 

Penamabda.com - Di tengah pandemi Covid-19 yang terjadi di Indonesia, banyak tenaga kerja kehilangan pekerjaannya karena terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran yang dilakukan oleh pengusaha demi menstabilkan usaha yang mereka miliki. Hal tersebut menyebabkan penurunan kegiatan ekonomi yang signifikan. Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah dalam konferensi video Sabtu, 11 April 2020 menyebutkan bahwa menurut data yang dimiliki dari 1,5 juta pegawai di Indonesia 90 persen dirumahkan dan 10 persennya atau 150 ribu orang di-PHK.

Melihat kondisi sekarang ketika banyak penduduk yang kehilangan pekerjaannya, pemerintah memberikan solusi berupa Kartu Pra Kerja. Kartu Pra Kerja ini konsepnya adalah semua penduduk yang belum memiliki pekerjaan dapat melakukan pendaftaran. Bagi pendaftar yang lolos seleksi akan diberi pelatihan secara online, kemudian mendapatkan tunjangan selama tiga bulan setelah pelatihan oleh negara. Solusi tersebut dirasa tepat oleh pemerintah dan digembar-gemborkan untuk menghadapi krisis ekonomi pandemi Covid-19 ini. 

Faktanya 150 ribu orang yang di-PHK tentunya sudah cukup memiliki keterampilan dalam bekerja sebelumnya. Mereka diberhentikan bukan karena ketrampilan yang tidak mereka miliki, melainkan karena perusahaan harus meminimalisir biaya yang dikeluarkan di tengah pandemi Covid-19 ini. Maka, program kartu pra kerja di tengah pandemi bukan solusi yang tepat. Karena program Kartu Pra Kerja dapat berjalan secara efektif apabila kondisi negara dalam keadaan stabil dan lowongan pekerjaan yang tersedia. 

Namun apa yang terjadi? Pemerintah malah menambah anggaran hingga 2 triliun rupiah dan tetap memaksakan kehendak untuk tetap menjalankan program tersebut, untuk apa? Jelas, hal tersebut hanya akan membuang-buang anggaran negara saja. Padahal, hal pertama yang harus dilakukan negara sebelum menjalankan pekerjaan tersebut yaitu menyediakan lapangan kerja yang cukup terlebih dahulu. Percuma apabila program tetap dijalankan tanpa adanya penambahan lapangan kerja bagi para penduduk. Ibarat bagai mencari jarum di tumpukan jerami, begitu banyak penduduk yang membutuhkan pekerjaan namun tidak ada satu pun lapangan pekerjaan yang tersedia. Dibanding memberikan pelatihan kepada penduduk, mereka lebih memerlukan bantuan sosial dan material untuk menyambung hidup di tengah pandemi ini. 

Solusi pemerintah melalui kartu pra kerja terkesan hanya memprioritaskan keuntungan politik, yakni memenuhi janji kampanye pada saat pemilihan presiden 2019 lalu. Pemerintah malah menutup mata dari kebutuhan hakiki rakyat. Sampai kapan negara ini terus menerus memprioritaskan hal yang menguntungkan pihak penguasa saja? Kapan penduduk diprioritaskan untuk dipenuhi kebutuhannya? Kapan penduduk dianggap sebagai manusia dan tanggung jawab negara? 

Memang sulit hidup dan bergerak sebagai rakyat kecil di negara bersistem demokrasi kapitalis. Dalam sistem kapitalis, pemilik modal dan penguasa diuntungkan dan yang kaya semakin kaya, sedangkan rakyat yang miskin semakin miskin dan tertindas. Hukum dalam negara pun cenderung runcing ke bawah dan tumpul ke atas. Sistem ini lebih memihak mana yang lebih menguntungkan dan mana yang bisa disingkirkan. 

Sampai kapan negara akan terus seperti ini? Tidak berurai air matakah para penguasa negara melihat rakyatnya kehilangan pekerjaan dan sulit untuk makan dan tinggal. Padahal sandang, pangan, papan merupakan kebutuhan pokok bagi setiap manusia. Namun apa yang terjadi? Kebutuhan pokok para penduduk pun belum bisa dipenuhi oleh negara. Bukannya sibuk memenuhi kebutuhan penduduk, pemerintah malah sibuk menjalankan program kampanye dan tidak mempedulikan apa yang dibutuhkan oleh penduduk negara ini.

Lain halnya dengan sistem Islam, negara memprioritaskan kebutuhan dan kesejahteraan rakyatnya. Dibandingkan memenuhi kepentingan pihak tertentu, negara akan mementingkan kebutuhan rakyatnya karena pertanggungjawaban akhirat-lah tujuan akhir dalam sistem Islam ini. Allah adalah pemilik hukum tertinggi, tidak akan ada lagi undang-undang buatan manusia yang pincang dan menguntungkan pihak-pihak tertentu. 

Semua aturan dan hukum yang diterapkan berdasarkan Al-Qur’an firman Allah SWT. Jangankan kebutuhan pokok berupa sandang, makan, papan bahkan keamanan, kesehatan dan pendidikan dianggap sebagai kebutuhan pokok juga dan ditanggung penuh oleh negara. Tidak ada lagi rakyat yang merasa kelaparan, tidak ada lagi rakyat yang menangis merintih kesakitan dan tertolak oleh rumah sakit karena tidak memiliki uang. Tidak akan ada lagi kesedihan-kesedihan kebingungan hari ini harus tidur di mana, di kolong jembatan atau di pinggir jalan? Tidak ada lagi hukum yang tumpul ke atas dan runcing ke bawah menekan rakyat kecil. 

Inilah perbedaan watak kepemimpinan rezim demokrasi kapitalis dengan kepemimpinan dalam sistem Islam. Perbedaan tujuan dalam menjalankan negara merupakan dasar dalam melakukan suatu kebijakan dan kepemimpinan. Tujuan sistem demokrasi kapitalis yaitu meraup keuntungan dunia sebesar-besarnya, sedangkan tujuan sistem Islam mengurus umatnya sebaik-baiknya dan mempertanggungjawabkan segala sesuatunya kepada Allah SWT di akhirat nanti. []