-->

PEMBEBASAN NAPI, RAKYAT MAKIN TAK BERNYALI

Oleh : Zahida Arrosyida (Revowriter Kota Malang)

Penamabda.com - Sejak diberlakukan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) di negeri ini untuk mencegah penyebaran virus Covid-19 masyarakat selalu dihantui rasa tidak aman ketika berinteraksi. Ada yang merasa khawatir ketika melakukan aktifitas jual beli, takut jika uang sebagai alat tukar membawa virus. Ada yang takut sholat berjamaah di mesjid karena khawatir sajadah yang dipakai akan menularkan virus. Ada yang was-was pergi ke rumah sakit ketika ingin berobat, takut jika bertemu pasien yang positif Covid atau perawat yang sedang bertugas. Inilah sederet kekhawatiran yang terus menghantui masyarakat di masa pandemi wabah Corona.

Keresahan masyarakat karena pandemi Covid-19 semakin bertambah dengan maraknya kejahatan akibat  adanya langkah pemerintah memberikan asimilasi dan hak integrasi berupa pembebasan bersyarat bagi lebih dari 35.000 narapidana.  Melalui Peraturan Menteri Kementerian Hukum dan HAM Nomor 10 Tahun 2020 tentang Syarat Pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi Bagi Narapidana dan Anak. Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19.

Reaksi masyarakat terhadap kebijakan ini seolah semakin menguatkan keresahan yang terjadi. Mereka menilai langkah pemerintah kurang tepat dan berpendapat narapidana lebih baik berada di dalam lembaga pemasyarakatan guna menjalani physical distancing dengan pengawasan dibandingkan berada di luar yang malah berpotensi terkena virus.
Keresahan masyarakat nyatanya tidak sampai di situ. Kebijakan tersebut dianggap sebagian kalangan dapat meningkatkan angka kriminalitas karena tidak adanya jaminan dari pemerintah bahwa mereka yang diberikan hak integrasi dan asimilasi tidak akan mengulangi kejahatannya, mengingat kehidupan masyarakat di tengah pandemi ini semakin sulit.

Menanggapi hal tersebut, Menkum HAM Yasonna Laoly mengaku sudah menyiapkan sejumlah antisipasi atas dampak-dampak yang terjadi usai membebaskan narapidana termasuk jika kembali berulah. Menurut Yasonna kecil potensi para napi asimilasi melakukan kembali tindakan kriminal itu. Yasonna meminta jangan mengkambing hitamkan napi asimilasi. Menurutnya maraknya kejahatan di masa pandemi ini adalah kondisi ekonomi yang sulit sehingga berdampak pada meningkatnya tindak kejahatan. (www.detiknewscom, 22/04/2020)

Pemerintah bisa saja mengklaim bahwa dalam hal ini sudah disiapkan sejumlah perangkat regulasi untuk mengeliminasi dampak kebijakan percepatan pembebasan napi. Namun terbukti di lapangan, masyarakat kian mengalami keresahan dan jumlah napi yang berulah kian bertambah.

Dilansir dari detiknews.com, pada tanggal 15 April Direktorat Jenderal Pemasyarakatan melaporkan terdapat 12 napi yang kembali berulah. 
Kemudian tanggal 21 April, Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri Komjen Listyo Sigit Prabowo mengatakan 27 dari 38.822 (0,07%) narapidana yang keluar dari lembaga permasyarakatan (lapas) lewat program asimilasi Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM) dalam rangka pencegahan penularan virus Corona (COVID-19) kembali melakukan tindak kejahatan.
Sigit menuturkan kejahatan yang dilakukan para napi asimilasi antara lain pencurian disertai pemberatan (curat), pencurian kendaraan bermotor (curanmor), pencurian disertai kekerasan (curas), dan pelecehan seksual.

Jumlah 0.07% ini memang kecil tapi keresahan yang ditimbulkannya telah menjadikan kebanyakan masyarakat tidak bisa menikmati rasa aman ketika melakukan aktifitas sehari-hari.

Realitas merajalelanya tindak kejahatan  menunjukkan bahwa negara sekuler yang menjadikan hukum demokrasi sebagai panduan dalam mengatur kehidupan masyarakat, telah gagal memberikan rasa aman dan keadilan. Tidak adanya kedamaian dan ketentraman ini karena tiadanya keadilan untuk seluruh rakyat. Asimilasi dikatakan adil untuk para napi, tetapi apakah masyarakat umum merasakan keadilan dari program ini? Keadilan itu harusnya bisa dinikmati semua. Adil untuk napi juga mestinya adil untuk masyarakat umum.
Maka jangan salahkan masyarakat jika mereka bersikap apatis dengan pelaksanaan hukum di negeri sekuler yang selalu membuka pintu kezaliman ini.

Sistem Islam sebagai aturan yang sempurna  telah mengatur masalah narapidana. Dalam perspektif Islam penjara ialah tempat untuk menjatuhkan sanksi bagi orang yang melakukan kejahatan. Penjara adalah tempat di mana orang menjalani hukuman yang dengan pemenjaraan itu seorang penjahat menjadi jera dan bisa mencegah orang lain melakukan kejahatan serupa.

Negara akan membina napi dengan pelayanan yang mumpuni. Diharapkan setelah bebas dari penjara, ia kembali menjadi masyarakat yang dapat bermanfaat untuk agamanya dan sesama manusia. Takkan ada kejahatan yang terulang lagi. Di dalamnya harus ada pembinaan kepada para napi agar mampu meningkatkan rasa takut kepada Allah dan memperkuat ketakwaan. Diberikan hak hidup sesuai syariat misalnya makanan yang layak, tempat tidur yang terpisah, serta kamar mandi yang tetap melindungi aurat dan menjaga pergaulan antarnapi.
Bahkan di masa Khalifah Harun al-Rasyid, para napi dibuatkan pakaian secara khusus. Jika musim panas tiba, dipakaikan pakaian yang terbuat dari katun, sedangkan pada musim dingin dibuatkan pakaian dari wol. Dan secara berkala, kesehatan para napi diperiksa. Inilah keadilan Islam dalam memanusiakan manusia. Meskipun pelaku kejahatan itu pernah membuat keonaran dan keresahan di tengah masyarakat, negara akan memberikan perlakuan yang adil dan memberikan hak-hak napi sebagai manusia termasuk hak untuk memperoleh kesejahteraan dan pendidikan.

Dengan perlakuan yang manusiawi, pelayanan dan pembinaan yang paripurna terhadap para napi akan menjadikan mereka mampu hidup kembali ke tengah masyarakat  dalam kondisi kepribadian Islam yang meningkat sehingga mereka diharapkan akan dapat berkontribusi pada kemaslahatan umat.

Lebih dari itu, dengan penerapan sistem Islam Kaffah akan bisa memberantas berbagai tindak kejahatan secara tuntas sejak dari akarnya. Sistem Islam memberantas kejahatan itu melalui dua aspek: aspek pencegahan dan penindakan.

Pencegahan dilakukan dengan menjamin penerapan sistem Islam secara konsisten baik sistem pendidikan, pemerintahan, ekonomi, sosial dan lainnya. 
Faktor utama yang bisa dengan kuat mencegah seseorang melakukan kejahatan adalah kuatnya keimanan dan ketaqwaan dalam diri orang tersebut. Karena itu Islam mewajibkan negara untuk terus menerus mengokohkan keimanan dan membina ketakwaan seluruh rakyatnya. Islam menetapkan ini sebagai salah satu kewajiban utama negara. Jika negara (penguasa) abai terhadap hal ini akan membuat penguasa tidak bisa merasakan kenikmatan surga. Rasulullah SAW bersabda :
" Siapa saja yang dipercaya mengurus urusan rakyat, sementara dia tidak menjaga mereka dengan nasehat, dia tidak akan mencium aroma surga, padahal aroma surga itu bisa dicium dari perjalanan 100 tahun" (HR Ahmad, Ibn Abi Syaibah dan ath- Thabrani).

Penguatan keimanan dan pembinaan ketakwaan itu dilakukan oleh negara melalui berbagai sistem terutama pendidikan. Ini berbeda dengan fakta sekarang. Saat ini masalah keimanan dan ketakwaan rakyat itu tidak diperhatikan oleh penguasa. Sistem pendidikan yang dijalankan sekarang juga tidak benar-benar mempedulikan penguatan keimanan dan pembinaan ketakwaan. Pasalnya sistem pendidikan saat ini dibangun berdasarkan sekularisme yang justru menolak peran agama di ruang publik. 

Pada tingkat keluarga Islam mewajibkan seorang muslim untuk menjaga anggota keluarga dari api neraka (QS : at-Tahrim ; 6) yakni dengan mengokohkan keimanan dan membina ketakwaan mereka. 
Pada level masyarakat Islam mewajibkan perwujudan kontrol sosial. Islam mewajibkan siapa saja yang melihat kemungkaran harus mengubah kemungkaran itu dengan kekuatan, lisan atau hatinya. Islam juga memerintahkan amar ma'ruf nahi mungkar. 
Pada level negara, sistem ekonomi Islam akan memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok bagi setiap individu rakyat. Sistem ekonomi Islam juga akan mendistribusikan harta secara merata dan berkeadilan kepada seluruh rakyat. Semua orang akan mendapatkan kemungkinan untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersier nya sesuai kemampuan yang dimiliki. Dengan penerapan sistem ekonomi Islam, alasan ekonomi akan sangat minimal menjadi faktor timbulnya kejahatan yang kembali marak.
Yang pasti penerapan sistem Islam secara keseluruhan akan mencegah orang untuk melakukan kejahatan. Paling tidak faktor-faktor pemicu kejahatan bisa diminimalisir.

Jika dengan semua itu masih ada yang melakukan kejahatan maka sistem sanksi dan hukum Islam akan menjadi palang pintu untuk menindak pelaku kejahatan. Bukan hanya menindak, sanksi hukum dalam Islam itu akan menjadi zawajir dan jawabir. Sebagai zawajir, sanksi hukum dalam Islam bisa mencegah orang melakukan kejahatan serupa. Sebagai jawabir, sanksi itu akan menjadi penebus dosa bagi pelakunya sehingga dia tidak akan disiksa di akhirat atas dosa itu.

Untuk kasus kejahatan tertentu, Islam telah menentukan sanksi yang berasal dari Allah sebagai Al-Khalik- Al Mudabbir. Jadi tidak semua tindak kejahatan otomatis dihukum dengan menjebloskan ke penjara. Sistem sanksi (uqubat) dalam Islam ada empat macam yaitu: hudud, jinayat, ta'zir dan mukhakafat. Hudud adalah sanksi atas kemaksiatan yang telah ditetapkan kadarnya (dan menjadi) hak Allah. Jinayat untuk penganiayaan atau penyerangan terhadap badan, yang menyebabkan qishash (balasan setimpal) atau diyat (denda). Ta'zir adalah sanksi yang ditetapkan atas tindakan maksiat yang didalamnya tidak ada had dan kafarat. Perbuatan maksiat perlu dilihat dahulu, apabila Allah telah menetapkan sanksi tertentu bagi kemaksiatan tersebut maka ia termasuk hudud. Pelanggarnya akan dikenai sanksi had yang telah disyariatkan Allah. Demikian pula jika di dalamnya telah ditetapkan kafarat tertentu, maka pelanggarnya dipaksa untuk membayar kafarat. Namun jika ia tidak termasuk perkara hudud dan Allah tidak menetapkan kafaratnya, maka hal ini termasuk ke dalam sanksi ta'zir. Adapun mukhalafat adalah sanksi yang dijatuhkan oleh penguasa kepada orang yang menentang perintah penguasa, baik khalifah atau selain Khalifah (orang-orang yang aktifitasnya berkaitan dengan  kekuasaan, seperti para mu'awin, parawali dan lain-lain). Mukhalafat adalah sanksi khusus yang ditetapkan oleh penguasa sesuai dengan sanksi yang dijatuhkan atas pelanggaran terhadap perintah dan larangannya.

Dengan penerapan sistem Islam dan penerapan sanksi hukum inilah seluruh  masyarakat akan selamat dari berbagai tindak kejahatan. Yang berniat jahat akan terminimalisir karena kesempatan untuk ke jalan ini ditutup sangat kuat oleh negara. Yang tidak memiliki niat jahat pun juga akan merasa tenang karena pencegahan dan perlindungan yang diberikan negara. Jaminan rasa aman yang sempurna bagi masyarakat seperti ini hanya bisa diberikan melalui penerapan syariat Islam secara kaffah dibawah institusi Khilafah. 

Insya Allah.