-->

Menyoal Sumber Dana Atasi Corona


Oleh: Nindira Aryudhani, S.Pi., M.Si. (Koordinator LENTERA)

Lockdown masih menjadi istilah paling populer sejak wabah corona mampir ke Nusantara. Bongkar pasang padanan istilah juga masih bergulir. Saling silang pendapat di antara pejabat pusat dan daerah pun tak terhindarkan.

Tingkah polah penguasa berupa fenomena jegal-menjegal kebijakan lockdown sudah hampir jadi konsumsi tiap kepala individu rakyat negeri ini. Belum lagi aksi lempar opini yang selalu siap menyambar nestapa rakyat, telah berakibat pada kebingungan skala nasional.

Tiga pekan rakyat telah “dirumahkan”. Work from home, learning from home, majelis taklim online, dsb, masih mewarnai keseharian masyarakat. Wabah corona telah benar-benar membuat publik tak berkutik, sekuat tagar #DiRumahAja saat menjadi trending topic.

Namun demikian, hingga detik ini, rupanya pemerintah pusat masih enggan lockdown. Jelang fenomena tahunan mudik lebaran, ternyata mudik tak dilarang. Padahal sejumlah kasus pertama PDP positif corona di beberapa daerah, terjadi pada seorang warga perantauan yang pulang kampung dari ibu kota.

Dan kita juga tahu sendiri, bagaimana usulan kebijakan me-lockdown Jakarta oleh Gubernur DKI Anies Baswedan, nyatanya mendapat banyak rintangan dari pemerintah pusat.

Lebih dari itu semua, ada satu hal yang harus kita sadari. Nampak ada sesuatu di balik “keengganan” lockdown oleh pemerintah pusat, yang kemudian sempat terwacanakan isu herd immunity, darurat sipil, pun ketika berdalih dengan penetapan PSSB (Pembatasan Sosial Berskala Besar).

Yang pada intinya pemerintah memang tak hendak menanggung nafkah rakyat jika lockdown memang diberlakukan. Pemerintah hendak berlepas tangan. Padahal, hal itu adalah konsekuensi lockdown. Yakni kebutuhan ekonomi rakyat memang menjadi tanggungan pemerintah pusat.

Tapi sayangnya, hal ini hanya menimbulkan kisruh yang belum berujung solutif. Yang tak kalah runyam, adalah perdebatan tentang sumber dana untuk mengatasi wabah corona ini. Antara kas negara, donasi mandiri rakyat, hingga beragam stimulus ekonomi. Atau pilihan terakhir: Utang luar negeri.

Dan ternyata dugaan terkuat adalah utang luar negeri. Pasalnya, dilansir dari vivanews.com (04/04/2020), di tengah berbagai permasalahan dalam menanggulangi wabah corona ini, Indonesia “mendadak” dapat pujian dari lembaga kreditur utama dunia, IMF (Dana Moneter Internasional).

Ini terungkap dari briefing media antara Direktur Jenderal WHO (Organisasi Kesehatan Dunia), Tedros Adhanom Ghebreyesus dengan Direktur Pelaksana IMF, Kristalina Georgieva (03/04/2020).

Dalam kesempatan itu, upaya Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo tangani dampak ekonomi dan sosial Covid-19 mendapatkan apresiasi dari Direktur Pelaksana IMF.

Menurut Kantor Perwakilan Tetap Republik Indonesia untuk Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dan Organisasi-Organisasi Internasional di Jenewa, Swiss, briefing ini dalam rangka membahas upaya IMF dan WHO dalam tangani dampak ekonomi pandemi Covid-19.

Padahal sudah menjadi rahasia umum di dalam negeri, publik bagai hidup di negara autopilot di tengah wabah saat ini. Apa-apa bertindak sendiri. Bahu-membahu mandiri. Yang berpunya berempati dengan mendonasi yang kurang mampu.

Begitu pun dalam kasus update data positif corona yang simpang siur. Rakyat seperti anak ayam kehilangan induknya. Bertanya dan mencari informasi sendiri-sendiri, tanpa ada pengumuman resmi dari pemerintah setempat. Intinya, rakyat benar-benar ibarat tanpa pemimpin, selaku pihak yang mengurusi urusan publik.

Jadi sepak terjang yang mana dari pemerintah yang layak dipuji oleh dunia internasional? Kecuali memang IMF telah berhasil kembali menjebak negara kita yang baru maju ini, agar berutang lagi kepada institusinya. Dan dugaan terkuatnya memang demikian.

Ini mulai terindikasi sejak medio Maret lalu, saat Georgieva mengatakan IMF siap untuk memobilisasi pinjaman senilai US$1 triliun untuk membantu negara-negara anggota menangani krisis. Hal ini dikuatkan dengan pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani, sebagaimana dikutip dari kompas.com (25/03/2020).

Dalam rapat luar biasa antara menteri keuangan dan gubernur bank sentral di seluruh dunia dijabarkan, bahwa IMF saat ini memiliki dana sekitar 1,5 triliun dollar AS untuk membantu penanganan virus corona. Sri Mulyani pun berharap, alokasi dana tersebut bisa digunakan untuk membantu pencegahan krisis bagi negara anggota IMF.

Terlebih lagi, adanya pernyataan Dewan Direktur Eksekutif Bank Dunia beberapa hari sebelumnya yang menyetujui pinjaman sebesar USD300 juta atau sekira Rp4,97 triliun atau Rp5 triliun (Rp16.578 per USD). Hal ini untuk mendukung upaya pemerintah Indonesia melaksanakan reformasi pada sektor keuangan guna membantu mempertahankan pertumbuhan ekonomi dan mencapai tujuan kesejahteraan bersama (okezone.com, 23/03/2020).

Dan tentu saja, kita sudah sama-sama mengerti bahwa bagaimana pun IMF ibarat saudara kembar bagi Bank Dunia. Tak ada bedanya.

Sejumlah spekulasi sumber dana atasi corona di Indonesia ini pun kian mengerucut dan justru terlegitimasi saat Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengikuti KTT Virtual G20 di Istana Kepresidenan Bogor pada tanggal 26 Maret 2020.

Jokowi, dalam KTT Virtual tersebut, menyampaikan pesan kuat bahwa Indonesia harus menangkan dua peperangan sekaligus. Melawan Covid-19 dan melawan pelemahan ekonomi dunia saat ini (kompas.com, 27/03/2020).

Mencermati semua ini, tampaknya rakyat harus siap mental lebih kuat lagi untuk menghadapi badai utang luar negeri di tengah wabah corona yang belum mereda. Na’udzu billaahi.

Kebijakan utang luar negeri kepada IMF dan Bank Dunia seolah mulus-mulus saja tanpa memperhatikan jeritan anak bangsa. Padahal sejumlah tokoh telah bersuara, agar apa pun yang terjadi, pemerintah jangan sampai berutang kepada IMF/Bank Dunia sebagai sumber dana untuk mengatasi corona. Di antara yang bersuara adalah pakar ekonomi Rizal Ramli, Forum Guru Besar FKUI, hingga Sekjen MUI Anwar Abbas.

Usulan utama yang disampaikan adalah adanya upaya realokasi terhadap seluruh dan atau sebagian anggaran infrastruktur yang ada sekarang ini. Yaitu agar dialihkan pada kepentingan memutus mata rantai penyebaran virus corona.

Misalnya mengalihkan anggaran pemindahan ibu kota. Yang seluruhnya dan atau sebagian dana tersebut dipergunakan untuk menolong ekonomi rakyat dan memulihkan perekonomian nasional. Alih-alih tergerak, pemerintah malah tetap bergeming pada proyek ibu kota baru.

Sungguh, semua realitas ini makin menegaskan bahwa negara kita memang luar biasa kapitalistik. Seakan-akan tiada sedikit pun celah bagi kantong rakyat jelata untuk bernafas lega sejenak saja. Bahkan di tengah wabah sekali pun. Maka, tidakkah ini kelewat zalim? Astagfirullah.

Patutlah kedua sabda Rasulullah ﷺ berikut ini kita renungkan:

وعن بن عمر رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلّم قال: كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعيّتِهِ

Dari Ibn Umar ra. Dari Nabi saw, beliau bersabda, “Kalian adalah pemimpin dan kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinan kalian…” (HR Bukhari-Muslim).

اللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ وَمَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِمْ فَارْفُقْ بِهِ (أحمد ، ومسلم عن عائشة)

“Ya Allah, siapa yang menjabat suatu jabatan dalam pemerintahan umatku lalu dia mempersulit urusan mereka, maka persulitlah dia. Dan siapa yang menjabat suatu jabatan dalam pemerintahan umatku lalu dia berusaha menolong mereka, maka tolong pulalah dia.” (HR Ahmad dan Muslim dari Aisyah ra).

Islam selalu menunjukkan keunggulannya sebagai agama sekaligus ideologi yang lengkap. Islam mengatur semua hal dan memberikan solusi atas segenap persoalan. Peradaban Islam melalui tegaknya Khilafah mencatat sejarah emas pemerintahan yang menjiwai mandat dari kedua hadis di atas.

Dan yang pertama-tama harus diselesaikan di sini, tentu saja wabah corona itu sendiri. Dalam sejarah, wabah penyakit menular pernah terjadi pada masa Rasulullah saw. Pada saat itu, nampak jelas bahwa Islam telah lebih canggih dalam membangun ide karantina untuk mengatasi wabah penyakit menular. Hal ini bahkan melampaui masyarakat modern saat ini.

Wabah di masa itu ialah kusta yang menular dan mematikan karena belum diketahui obatnya. Untuk mengatasi wabah tersebut, salah satu upaya Rasulullah saw. adalah menerapkan karantina atau isolasi terhadap penderita. Ketika itu Rasulullah saw. memerintahkan untuk tidak dekat-dekat atau melihat para penderita kusta tersebut. Beliau bersabda,

‏ لاَ تُدِيمُوا النَّظَرَ إِلَى الْمَجْذُومِينَ

“Janganlah kalian terus-menerus melihat orang yang mengidap penyakit kusta.” (HR al-Bukhari).

Abu Hurairah ra bahkan menuturkan bahwa Rasulullah bersabda, “Jauhilah orang yang terkena kusta, seperti kamu menjauhi singa.” (HR al-Bukhari).

Rasulullah saw. juga pernah memperingatkan umatnya untuk jangan mendekati wilayah yang sedang terkena wabah. Sebaliknya, jika sedang berada di tempat yang terkena wabah, mereka dilarang untuk keluar. Beliau bersabda,

إِذَا سَمِعْتُمْ بِالطَّاعُونِ بِأَرْضٍ فَلاَ تَدْخُلُوهَا، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا مِنْهَا

“Jika kalian mendengar wabah terjadi di suatu wilayah, janganlah kalian memasuki wilayah itu. Sebaliknya, jika wabah itu terjadi di tempat kalian tinggal, janganlah kalian meninggalkan tempat itu.” (HR al-Bukhari).

Mekanisme karantinanya yaitu dengan menempatkan penduduk yang terjangkit wabah, di lokasi yang jauh dari pemukiman penduduk sehat. Ketika diisolasi, penderita diperiksa secara detail. Lalu dilakukan langkah-langkah pengobatan dengan pantauan ketat. Para penderita baru boleh meninggalkan ruang isolasi ketika dinyatakan sudah sembuh total.

Kemudian, solusi kedua yakni untuk problem ekonomi yang saat ini hampir di ambang resesi akibat wabah corona. Terkait hal ini, Rasulullah saw. pernah bersabda,

مَنْ وَلَّاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ شَيْئًا مِنْ أَمْرِ الْمُسْلِمِينَ فَاحْتَجَبَ دُونَ حَاجَتِهِمْ وَخَلَّتِهِمْ وَفَقْرِهِمْ احْتَجَبَ اللَّهُ عَنْهُ دُونَ حَاجَتِهِ وَخَلَّتِهِ وَفَقْرِهِ

“Siapa yang diserahi oleh Allah untuk mengatur urusan kaum Muslim, lalu dia tidak peduli kebutuhan dan kepentingan mereka, maka Allah tidak akan peduli kebutuhan dan kepentingannya (pada Hari Kiamat).” (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).

Keteladanan kepemimpinan sebagaimana gambaran dalam hadis di atas, di antaranya terjadi ketika Umar bin Khaththab ra menjadi khalifah, amirul mukminin. Alih-alih melakukan utang luar negeri kepada negara-negara kafir kapitalis, pada peristiwa krisis ekonomi yang dikenal dengan Tahun Kelabu di Madinah saat itu, Khalifah Umar langsung bertindak cepat.

Saat itu kondisi keuangan baitulmal tidak mencukupi penanggulangan krisis. Khalifah Umar segera mengirim surat kepada para gubernurnya di berbagai daerah kaya untuk meminta bantuan. Khalifah Umar menghubungi gubernur Mesir, Syam, Irak, dan Persia.

Selanjutnya, semuanya mengirim bantuan untuk Khalifah. Hal ini menunjukkan kesigapan pemimpin kaum Muslim dalam  menyelesaikan krisis; ketika mendapati pemerintah pusat sudah tidak mampu lagi menutupi semua kebutuhan dalam rangka menyelesaikan krisis.

Di samping itu, para gubernur dengan semangat ukhuwah Islamiyah dan manajemen pemerintahan yang rapi serta saling menopang, langsung sigap menyiapkan dan memberikan bantuan dengan jumlah yang sangat banyak, bahkan berlebih.

Dengan kata lain, jumlah itu sangat cukup untuk menanggung ekonomi rakyat hingga mereka mampu bekerja sendiri mencari rezeki.

Krisis dan pandemi bukan baru sekali ini terjadi dalam sejarah kehidupan umat manusia. Namun ini semua dapat dicapai karena selama ini pemerintah pusat juga mengurus urusan di tiap wilayah.

Negara memberikan apa yang menjadi hak rakyat hingga ke wilayah yang jauh pusat. Sandang, papan, pangan, pendidikan, keamanan, kesehatan, serta kesejahteraan difasilitasi oleh negara dengan seutuhnya.

Sungguh, sedemikian tinggi totalitas pemerintah negara Khilafah dalam menyelesaikan sebuah krisis. Hingga ketika Khalifah berusaha memobilisasi bantuan dari wilayah-wilayah di bawah kekuasaan Khilafah, para penguasa setempat langsung terdorong dan terpacu untuk memberikan bantuan yang kualitas dan kuantitasnya terbaik bagi pemerintah pusat.

Inilah gambaran, bagaimana Khilafah mengatasi sumber dana untuk membantu para korban krisis. Tentunya agar benar-benar tercukupi semua kebutuhannya, orang per orang, tanpa kecuali. Yang dengannya membuktikan bahwa pemerintah pusat hadir secara konkret untuk mengatasi problem sosial dan ekonomi warga terdampak wabah dan krisis.

Sumber : MuslimahNews.com