-->

Belajar di Rumah Tanpa Keluh Kesah


Oleh: Noor Afeefa

Dunia tak pernah menghendaki wabah penyakit. Apa daya, penyebaran Covid-19 pun menggucang dunia pendidikan. Berdasarkan data Kemdikbud, lebih dari 160 pemerintah kabupaten/kota dan provinsi mengeluarkan surat edaran meniadakan KBM di kelas. Siswa dan guru diminta melakukan aktivitas belajar mengajar dari rumah.

Diawali hanya untuk dua pekan, beberapa daerah akhirnya memperpanjang masa belajar di rumah. Bahkan Dinas Pendidikan Kabupaten Tengerang memperpanjang masa belajar di rumah hingga dua bulan, terhitung sejak pertengahan Maret lalu.

Tentu menjadi waktu yang tidak sebentar. Lantas, bagaimana nasib pendidikan anak-anak? Dan apa solusi terbaiknya?

Sejarah baru proses pendidikan abad milenial harus mulai. Belajar jarak jauh bisa dilakukan dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi. Untuk ini, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan telah menyediakan aplikasi dan laman Rumah Belajar sebagai sarana pendukung belajar di rumah.

Tak hanya itu, setidaknya ada 12 aplikasi pembelajaran daring gratis yang bekerja sama dengan Kemendikbud. Harapannya pembelajaran tatap muka dari guru dapat tergantikan.

Di lapangan, proses belajar di rumah penuh dinamika. Sebagian besar guru ternyata hanya memberikan tugas kepada siswa, tanpa bimbingan. Memang, siswa terbantu oleh internet dalam mencari rujukannya. Namun, tugas kepada siswa tidaklah sedikit.

Banyak orang tua yang merasa keberatan atas tugas yang begitu banyak dari para guru sehingga anak-anak merasa stres. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) akhirnya meminta pemerintah pusat dan daerah mengevaluasi sistem belajar di rumah ini.

Menurut KPAI, sistem belajar di rumah yang diterapkan sekolah tidak efektif karena belum ada pemahaman yang baik oleh para guru. (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200318222319-20-484760/sekolah-libur-karena-corona-kpai-sebut-guru-buat-siswa-stres).

Para guru gagap, ketika kondisi di luar kebiasaan harus mereka hadapi. Padahal beban kurikulum (bahan ajaran) yang harus diberikan kepada siswa begitu padat. Di sisi lain, upaya pembelajaran daring juga tidak mudah dilakukan.

Sebab, semua itu membutuhkan biaya (internet) tidak sedikit. Apalagi kemampuan orang tua siswa juga beragam. Mereka sendiri sudah terdampak secara ekonomi karena wabah ini.

Mendikbud Nadiem Makarim menegaskan agar proses belajar di rumah tidak menimbulkan beban baru bagi para siswa. Menurutnya, proses belajar di rumah bagi siswa selama wabah korona ini harusnya memberikan pengalaman belajar yang bermakna bagi siswa.

Jangan sampai hanya karena ingin menuntaskan seluruh capaian kurikulum untuk kenaikan kelas maupun kelulusan para guru malah memberikan berbagai tugas yang ujungnya malah membebani siswa selama proses mereka belajar di rumah. Yang menjadi problem, mampukan guru melakukan itu semua?

Di sisi lain, belajar di rumah disikapi dengan santai oleh sebagian siswa. Satpol PP Jakarta Barat menemukan seratusan anak yang tersebar di 55 warnet. Dengan santai mereka bermain game.

Itulah sebagian kondisi pendidikan dalam sistem kapitalis sekarang akibat wabah Covid-19 ini.

Haruskah anak-anak kehilangan banyak kesempatan belajar hanya karena wabah? Padahal belajar di rumah adalah keharusan. Bisakah mereka menjalaninya tanpa keluh kesah? Berikut beberapa catatan atas kegaduhan yang menimpa program belajar di rumah saat ini.

Kompetensi Guru

Gagapnya guru dalam mengelola pembelajaran di masa wabah layak disorot. Sebab, pembelajaran daring seharusnya sudah menjadi kompetensi yang dimiliki guru sebelum wabah. Sehingga guru tidak boleh berhenti melaksanakan tanggung jawabnya hanya karena tidak mahir mengoperasikan media online.

Di masa wabah, guru harus mengubah cara berpikir tentang bagaimana mendidik tanpa tatap muka. Guru juga harus mampu mengelola komunikasi jarak jauh, baik dengan siswa maupun orang tua siswa. Ini merupakan kompetensi standar yang harus dimiliki guru, baik pada saat wabah maupun bukan.

Bagaimana pun, peran guru pun tak bisa digantikan oleh platform media belajar online yang ditawarkan sejumlah pihak. Sebab, tugas guru bukan hanya memberikan materi pembelajaran. Kompetensi siswa yang diharapkan bukan hanya dari sisi kognitif saja.

Pembentukan sikap dan lifeskill, tentu tak bisa didapat kecuali dengan interaksi yang menggugah dari para guru. Dan hal ini sebenarnya juga bisa dilakukan secara daring, meski ada sedikit keterbatasan.

Namun, berapa banyak guru yang saat ini masih enggan menyapa murid-muridnya. Menanyakan kabar mereka. Apalagi menasihati dan membimbing. Memang, siswa kini berada di rumah. Dan diharapkan, orang tuanyalah yang paling mudah mengontrol dan membimbing anak.

Namun, mereka sebenarnya masih berada pada jam sekolah. Apalagi, tidak semua orang tua menemani anak-anak di rumah. Sebagiannya masih sibuk bekerja di luar rumah karena tuntutan ekonomi.

Maka guru tetap harus tampil, menyapa, mengarahkan dan membimbing siswa agar senantiasa tercipta suasana belajar menjadi lebih baik, baik dalam sikap maupun kemampuan akademik.

Kompetensi guru dalam mengelola tugas belajar di rumah juga layak disorot. Kreativitas guru masih lemah. Pada umumnya mereka hanya memindahkan tugas sekolah ke rumah. Padahal kondisi rumah berbeda dengan sekolah.

Siswa di rumah tidak berkelompok. Mereka bahkan ada yang tak punya pendamping, baik orang tua, saudara, atau asisten rumah tangga. Kondisi ini makin membuat anak stres ketika beban belajar di rumah amat banyak.

Sikap empati guru masih kurang. Mereka sering terjebak oleh beratnya beban administrasi kependidikan yang selama ini digunakan dalam proses belajar hingga evaluasi. Kekakuan dalam mengelola pembelajaran di kelas menunjukkan lemahnya guru dari semangat mendidik yang seharusnya dilandaskan pada dorongan ruhiyah.

Yakni, mendidik karena landasan akidah Islam. Mendidik untuk menjadikan siswa semakin salih, semakin taat kepada Allah Subhanahu wa taala di samping menguasai berbagai bidang ilmu (baik tsaqofah Islam maupun ilmu pengetahuan lain) dengan penuh perhatian, kasih sayang dan terus mengispirasi.

Itulah beberapa catatan bagi lemahnya kompetensi guru saat menghadapi wabah. Tentu, itu semua tak lepas dari sistem pendidikan kapitalis selama ini. Dalam kondisi bukan wabah saja mereka lemah.

Apalagi dalam kondisi wabah. Jika saat ini mereka gagap, maka layak dipertanyakan kehandalan sistem pendidikan yang seharusnya bisa melahirkan guru kompeten dalam kondisi apa pun.

Beban Kurikulum

Wabah Covid-19 juga memberi catatan bagi kurikulum pendidikan selama ini. Betapa pendidikan di Indonesia telah terjebak pada dominasi muatan akademik atau kognitif semata. Kurikulum pendidikan yang rusak telah memformat guru dan target-target pendidikan secara keliru.

Hanya di saat wabah saja -yakni selama kondisi belajar di rumah- mereka baru memikirkan muatan karakter (sikap) dan life skill. Itu pun ternyata tidak dapat dilakukan secara instan, cepat, dan tepat oleh para guru. Hanya guru-guru yang memiliki visi mendidik sahih saja yang mau berkreasi memberikan pendidikan life skill dan pembentukan sikap secara tepat dan sahih.

Selama ini kurikulum pendidikan tak memberi ruang cukup bagi pembentukan kepribadian dan life skill. Meski dalam Kompetensi Inti (KI) dimasukkan Spiritualitas. Faktanya, hanya dalam Pendidikan Agama Islam saja hal itu nampak. Itu pun lebih menonjolkan teori dari pada pembentukan sikap.

Adapun dalam mata pelajaran lain (di luar pendidikan agama), konten spiritualitas amat minim. Baik materi ajar maupun guru hingga lingkungan sekolah tak mampu membentuk suasana spiritualitas yang melahirkan ketaatan total kepada Sang Pencipta.

Hal tersebut terjadi karena pendidikan kapitalis memang tidak dirancang dengan landasan pembentukan kepribadian Islami. Inilah yang dinamakan pendidikan sekuler. Tak hanya dari sisi pribadi guru yang sekuler (produk pendidikan keguruan yang sekuler). Namun, kurikulumnya juga sekuler.

Ketika asas pendidikan tidak didasarkan pada akidah Islam, implementasi dalam kurikulum dan tata kelola pendidikan pun akan sekuler. Capaian pendidikan lebih mengutamakan aspek kognitif daripada afektif maupun psikomotorik.

Bahan ajaran yang sangat padat. Bahkan beberapa saling tumpang tindih. Hingga model evaluasi (ujian dan ulangan) yang sangat menonjolkan aspek nilai.

Dampaknya, guru kebingungan ketika kondisi ‘luar biasa’ terjadi. Maka, platform sekolah dibawa ke rumah. Tak hanya materi (kurikulum), namun juga metode pengajaran. Memang, pembelajaran jarak jauh memberikan efek berbeda dibandingkan tatap muka.

Namun, jika kurikulum maupun guru sudah terbiasa dengan pembelajaran yang sahih, maka tidak akan sekaget saat ini. Yakni, hanya siswa yang mempunyai uang saja yang bisa belajar daring dengan guru dan memperkaya ilmu dari berbagai platform pendidikan yang tersedia. Itulah yang menunjukkan rapuhnya kurikulum pendidikan sekuler saat ini.

Rusaknya Sistem Kapitalis

Kedua aspek di atas (lemahnya guru dan rapuhnya kurikulum) sebenarnya merupakan produk lanjutan dari pengelolaan negara yang sekuler kapitalis. Bencana wabah dalam sistem rusak ini telah menimbulkan kerusakan lebih banyak.

Kondisi politik pemerintahan yang lemah, ekonomi yang rapuh, telah membuat berbagai penanganan musibah di masa wabah menjadi semakin sulit. Dampaknya pun kepada dunia pendidikan.

Ketidakmampuan negara menanggung beban ekonomi tiap keluarga –ketika harus lockdown- menyebabkan sebagian besar orang tua tetap bekerja mencari nafkah. Kondisi ini amat tidak mendukung proses belajar di rumah. Walhasil, anak-anak tidak tertangani secara baik.

Di sisi lain, kemiskinan dan pola kehidupan kapitalistik pun telah membentuk orang tua yang hanya mampu mencari uang. Mereka gagap ketika harus menghadapi anak, menemani belajar, bahkan mendidiknya. Ibu telah kehilangan fungsi sebagai madrasah bagi anak-anak.

Kapitalisme juga telah meminimalisir perhatian negara pada dunia pendidikan. Rendahnya anggaran pendidikan membuat biaya pendidikan –terutama pendidikan tinggi- amat membebani rakyat.

Maka, tuntutan bagi bebasnya biaya kuliah yang diajukan sejumlah mahasiswa baru-baru ini menjadi sangat wajar. Begitulah, sistem kapitalisme telah menyebabkan kegaduhan dalam dunia pendidikan saat wabah sekarang.

Pendidikan Masa Wabah dalam Khilafah

Dalam kondisi wabah, Islam menetapkan kebijakan lockdown atau karantina wilayah. Sebagaimana Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, yang artinya, “Apabila kalian mendengar wabah di suatu tempat maka janganlah memasuki tempat itu, dan apabila terjadi wabah sedangkan kamu sedang berada di tempat itu maka janganlah keluar darinya.” HR Imam Muslim).

Berdasar hal ini, belajar di rumah pun menjadi kebijakan yang harus diambil dalam daulah Khilafah. Meski demikian, kondisinya tentu tidak seperti pelaksanaan belajar di rumah saat ini yang banyak menimbulkan kegaduhan, baik dari siswa, orang tua hingga guru.

Kebijakan belajar di rumah dalam sistem khilafah tidak sampai mengurangi esensi pendidikan. Bagaimana hal ini bisa terjadi?

Pertama, negara Khilafah berasaskan akidah dan syariah Islam. Berdasarkan asas ini, Negara menegaskan tujuan pendidikan baku yang harus diemban seluruh pemangku pendidikan baik negara, siswa, guru, tenaga kependidikan, hingga oleh orang tua siswa.

Sebab, belajar di rumah melibatkan orang tua. Asas pendidikan juga akan sangat menentukan dalam penentuan materi ajaran (kurikulum) saat siswa belajar di rumah.

Kesadaran yang dimiliki orang tua juga sangat berpengaruh. Mereka akan mendidik sesuai target dan tujuan pembelajaran dalam Islam. Mendidik dengan penuh kasih sayang karena berangkat dari kesadaran terhadap kewajiban dari Allah SWT.

Berdasarkan tujuan tersebut, maka saat belajar di rumah dalam, bagian pembentukan kepribadian Islam dan life skill bisa 30%, konten materi tsaqofah Islam 30%, sedangkan materi sains dan teknologi 40%. Bentuk penyampaian pun tidak akan keluar dari tujuan dan landasan akidah Islam.

Misalnya, guru tidak bersifat kaku dan memaksa atas tugas-tugas yang dibebankan kepada siswa. Dalam kondisi wabah, maka materi pembelajaran terutama untuk menguatkan ketaatan kepada Sang Pencipta yang menguasai manusia.

Kedua, negara Khilafah menguasai ilmu dan teknologi komunikasi yang handal. Maka, keterbatasan guru, siswa dan orang tua untuk melakukan pembelajaran daring bisa diminimalisir. Berbeda dengan kondisi saat ini, masih banyak guru, siswa, dan orang tua yang gagap teknologi komunikasi.

Padahal, pembelajaran jarak jauh telah cukup jamak digunakan di berbagai belahan dunia. Hanya saja, kapitalisme telah membelenggu banyak kalangan dari mengenal dan menggunkan teknologi ini. Baik karena keterbatasan ekonomi untuk memiliki alat (media) dan akses internet, maupun keterbatasan ilmu.

Dalam sejarah, negara Khilafah dikenal sebagai negara maju yang menguasai jagad teknologi. Berbagai penemuan teknonogi dilakukan oleh kaum muslim. Hal ini karena Islam mendorong setiap muslim untuk terus belajar dan mengembangkan ilmunya. Negara pun mendukung sepenuhnya.

Ketiga, belajar di rumah dalam Khilafah ditopang oleh perekonomian yang stabil bahkan maju. Dengan kondisi tersebut, negara mampu menopang kehidupan ekonomi rakyat yang membutuhkan bantuan akibat lockdown. Orang tua tak perlu bekerja di luar. Mereka bisa optimal membantu proses belajar di rumah dengan sebaik-baiknya.

Tak hanya dalam pemenuhan kebutuhan pokok, negara Khilafah juga mampu memberikan berbagai fasilitas pendukung pembelajaran. Negara menyediakan platform pendidikan gratis dan sarana pendukungnya, seperti internet gratis dan media (alat komunikasinya).

Mahasiswa pun tak perlu teriak meminta keringanan biaya pendidikan. Karena dalam kondisi tidak wabah mereka dibiayai oleh negara. Walhasil, semua kebutuhan belajar di rumah tidak ada kendala, karena negara men-support penuh semua kebutuhan tersebut. Hal itu hanya terjadi jika negara kuat, maju dalam perekonomian. Yakni, negara yang menerapkan syariat Islam.

Demikianlah, hanya negara Khilafah Islam yang mampu memberikan pelayanan pendidikan optimal lagi sahih kepada rakyatnya baik pada kondisi wabah maupun tidak. Belajar di rumah saat wabah pun tak perlu keluh kesah. Semoga wabah kali ini membawa spirit kuat bagi kaum muslim untuk berjuang menegakkan Khilafah.


Sumber : MuslimahNews.com