-->

MENIKMATI KARUNIA BESAR ILAHI

Oleh : Muslihah, S. Psi

Dirawat Di IRD

Alhamdulillah, bersyukur bisa tidur di rumah sendiri. Bersyukur bisa berkumpul dan beraktifitas dengan anak-anak di rumah. Meski perawatan si kecil harus terus sama seperti saat di rumah sakit. Pemberian susu lewat sonde, setiap dua jam sekali.

Suamiku tak kalah repot, beliau harus bangun lebih pagi, menyiapkan segala sesuatu untuk kami semua. Dari belanja, masak makanan sampai cuci pakaian. Beliau tak memberi kesempatan untukku melakukan semua itu. Tugasku hanya memenuhi kebutuhan si kecil.

Sepekan sekali ke puskesmas. Sepekan sekali ke RS Dr Soetomo. Melihat perkembangan baik putriku, pihak puskesmas minta agar kami menyalin (foto copy) catatan kesehatan putriku di RS Dr Soetomo. Suamiku tidak keberatan dengan hal itu. Ternyata banyak juga, sampai ratusan lembar.

Suatu hari saat kontrol ke RS Dr Soetomo, sekali lagi dokter mengambil sampel darah untuk diperiksa laboratorium. Dokter juga memberi advis agar ke bagian ct-scan. Lagi-lagi dokter anestesi menolak. Suamiku langsung protes.

"Mengapa anak saya selalu dihalangi untuk dilakukan ct-scan? Waktu masih opname dulu dilarang, sekarang juga tidak boleh."

Nada ucapannya menunjukkan beliau sangat kecewa bahkan marah. Tapi dokter muda itu mendengarkan dengan sabar. Membiarkan suamiku mencurahkan uneg-unegnya. Baru kemudian dokter itu menjawab dengan nada rendah. 

"Begini, ngge. Ct-scan inikan cuma pemeriksaan, lalu dengan keadaan anak anda yg seperti ini, sangat berbahaya. Ct-scan itu, putri bapak dimasukkan ke ruangan sempit, tidak mungkin didampingi siapapun, termasuk ibunya. Makanya putri bapak harus kami bius agar tenang, tidak gelisah dan tidak panik. Bagaimana jika terjadi sesuatu saat dilakukan pembiusan? Jadi kami juga harus memastikan keamanan putri anda"

Dokter menjelaskan panjang lebar dengan sabar. Akhirnya suamiku bisa menerima dengan lapang dada. 

Pada kesempatan kontrol selanjutnya kami mendapatkan berita hasil laboratorium, jika ternyata putriku mengidap toksoplasma bawaan ibu. Artinya pembawa virus toksoplasma itu sang ibu saat si kecil masih dalam rahim atau bahkan sebelum kehamilan. Terapinya lebih sulit dibanding ia kena toksoplasma sesudah lahir.

Aku tak bisa mengatakan sesuatu. Begitu lelahnya merawat putriku sampai tak mampu berpikir apapun. Tiga hari setelah mendapatkan hasil laboratorium, siang itu putriku panas, wajahnya pucat, napasnya terlihat sesak. Sementara ayahnya sedang kerja sift pagi. Tanpa ada suami aku tak bisa berbuat banyak, selain aku tak punya motor, aku juga tak bisa mengendarai motor.

Jam tiga sore, ayahnya datang. Segera kukabarkan keadaan putrinya. Kami segera melarikannya ke rumah sakit. 

"Mau kemana, Tante" sapa tetangga sebelah saat di depan rumah, yang tak lain itu bu RT.
"Lho, Dik Nurul kok pucat banget?"

"Iya, Te. Titip anak-anak, ya. Aku mau bawa Nurul ke rumah sakit."

Suami segera memacu motornya. 

"Langsung ke Dr Soetomo, ta?" tanyanya saat di perjalanan. 

"Tidak, ke IRD RSUD saja. Anakmu takkan mampu bertahan kalau harus menunggu lama" jawabku sedikit panik. 

Sampai di IRD, suamiku langsung mengurus administrasi, sementara aku menunggu putriku yang tidak lama kemudian ditangani. Aku hanya bisa istighfar dan pasrah kepada Allah, melihat kondisi putriku. Matanya mendelik, sementara bulatan hitam dalam matanya menghilang. Dokter berusaha dengan kemampuannya. Usai mengurus administrasi suamiku terlihat pasrah menyaksikan keadaan putrinya dan berbisik kepadaku

"Istighfar saja, Bu"

"Iya. Aku sedang istighfar"

Aku bukan sekedar istighfar, tapi aku membaca asmaul a'dzom. 

"Robbana dzolamna anfusana wa in lam taghfirlana wa tarhamna lanakunanna minal khosirin."

Kubaca berulangkali, dihatiku dan dilidahku namun tanpa suara. Kulihat dokter melakukan pijat jantung. 

"Robbi,aku pasrah dengan apapun keputusanMu" bisikku dalam hati. Apa aku menangis? Tidak. Setetespun air mataku tak mengalir. Air mataku telah kering lebih dari setahun lalu.

Alhamdulillah anakku kembali. Dokter segera memasang masker oksigen. Dilanjutkan dengan pasang infus. Kali ini ada masalah lagi. Hampir semua pembuluhnya sudah pecah, tak bisa dimasuki jarum infus.

"Beberapa waktu lalu, memang habis opname di Dr Soetomo, Dokter" aku memberi informasi kepada dokter yang sedang menangani. Entah ia dokter atau perawat.

"Pantas saja. Pembuluhnya pecah sejuta. Kalau saya pasang infus di kepalanya apa Jenengan tidak keberatan?"

"Lakukan yang terbaik, Dok" jawab suamiku.

Keadaan putriku yang kritis menyedot perhatian keluarga pasien yang ada di IRD. Tanpa dikomando mereka melingkar demi melihat kondisi putriku.Bukan tak mungkin mereka juga turut tegang dan prihatin.

Benarlah, infus dipasang di kepalanya. Diatas keningnya. Sekali lagi aku hanya bisa pasrah kepada pemilik sejati putriku. Dialah Yang Maha Memiliki. Kusandarkan hati dan pikiranku kepadaNya. Mohon kekuatan karena sejatinya tiada daya tiada upaya, tiada kekuatan kecuali sekedar titipan-Nya.

Suasana di PICU

Usai memasang infus perawat mengantar ke ruang rawat.
 
"Pasti di Mawar Kuning lagi" batinku. 

Pasien di gedung ini rata-rata berasal dari orang yang berstatus ekonomi lemah. Kebanyakan mereka mendapatkan fasilitas jamkesmas. Harusnya kalau ke gedung Mawar Kuning di lorong ini lurus, tapi perawat membelokkan ke kiri. Ah, ternyata kami bukan diantar ke gedung Mawar Kuning, tapi ke gedung IPIT, gedung yang di dalamnya ada ruang ICU, NICU, PICU dan ICCU. Anakku dimasukkan ke ruang PICU, ruangan steril untuk anak-anak dengan pantauan intensif. 

Ruangan ini cukup besar, bahkan sangat besar, ada sepuluh bed ditata dengan jarak yang cukup luas. Setiap bed disertai dengan monitor komputer, dilengkapi dengan korden yang bisa menutupi bed, sehingga terasa seperti di kamar. Ada privacy jika dibutuhkan. Ruangan ini merupakan ruang steril, hingga tak semua keluarga boleh masuk. Penunggu pasien hanya satu, diupayakan tidak bergantian. Selain itu penunggu pasien juga harus mengenakan baju steril.

Setiap bed disertai dengan monitor komputer. Di pojokan disediakan respirator, yaitu alat bantu pernafasan. Ada juga meja untuk perawat dan dokter. Gedung ini relatif masih baru. Baru difungsikan satu bulan yang lalu. Tentu semua terlihat bagus, bersih dan rapi. Semua sesuai standardisasi ruang ICU.

Suasana tenang hampir tidak ada suara. Dari sepuluh bed yang ada, yang terisi pasien hanya empat termasuk bed putriku. Begitu sampai di bednya, putriku segera ditempeli panel berbentuk bundar-bundar tipis yang menghubungkan tubuhnya dengan kabel-kabel hingga keadaan tubuhnya terbaca dilayar monitor. Panel itu rata di dada dan perutnya. 

"Aku pulang, ya?" Pamit suamiku sesaat setelah mengantar ke ruang steril itu.

"Iya. Tolong jangan kabari siapapun saudaraku. Kalau mau kabari saudara Jenengan, monggo" pesanku. Mengingat anak-anak di rumah butuh keberadaan orang dewasa. Lagi pula di sini hanya boleh seorang saja.

Aku ingat beberapa hari lalu, sebelum putriku masuk IRD, ibuku telepon menunjukkan keprihatinan, sekaligus menasihatiku. Dalam pandangan berliau keadaan putriku adalah teguran dari Allah akibat aku mengikuti ajaran sesat. Ya, hijahku ke jalan syariah yang banyak mengkritisi kebijakan penguasa dianggap sesat oleh saudara-saudaraku. Ibu dan ayahku tentu percaya kepada putranya. Apalagi tak tahu harus tabayyun kemana.

Aku memahami mengapa orang tuaku berpikir demikian. Karena kami tak pernah sempat berkomunikasi dengan nyaman. Kepada Allah aku berserah diri. 

"Duh Gusti aku percaya Engkau Maha Adil dan tak pernah mendzolimi hambaMu. Jika memang aku berada di jalanMu yang lurus, kuatkan hati dan jiwaku. Kuatkan suami dan anak-anakku." Bisikku dalam hati sambil menghela napas. 

Itu makanya opname kali ini aku menutup berita untuk saudara-saudaraku. Tak disangka iparku dari Kediri SMS di hari kedua,
 
"Dik, aku sedang di Surabaya, apa aku boleh mampir ke rumah pean?"

"Jangan, Ning. Maaf, siang ini aku tidak sedang di Candi."

Kujawab SMS tanpa menyebutkan bahwa aku di ICU RSUD. 

Sore harinya, keadaan putriku semakin memburuk. Ia tak terlihat bergerak sama sekali. Anteng terlentang sementara masker oksigen yang dikenakan bukan lagi yang 50%, tapi yang 100%. Ia bukan sedang tidur. Ia sedang koma.

Suhu tubuhnya turun melebihi normal. Aku selimuti dengan selimut tebal yang aku lipat, seakan empat lapis selimut menutup tubuhnya. Aku tambah lampu sorot yang kusorotkan pada tubuhnya dengan seijin perawat. Meski demikian susu formula tetap diberikan setiap dua jam sekali. 

Jam 10-11 pagi dan jam 16-17 sore adalah jam bezuk pasien. Penjenguk hanya boleh melihat dari balkon di luar ruangan, melihat pasien atau penunggu pasien dari balik kaca.

"Kordennya saya buka, ya, Bu, barangkali ada yang menjenguk" ucap perawat sambil membuka korden. 

"Sebenarnya gak perlu, karena gak akan ada yang menjengukku." Jawabku sambil menelan ludah pahit.

Tak seperti di ruangan rawat yang lain yang antar penunggu pasien saling berkomunikasi, saling curhat, saling cerita, di ruangan ini aku merasa sendiri. Semua seperti punya dunia masing-masing. Jika aku mau ngobrol, aku ngobrol dengan perawat yang sedang dinas, saat kulihat mereka sedang tidak sibuk. Atau saat mengontrol monitor putriku.

"Menurut suster, mengapa kaki anakku, kaku setiap sendinya?"

"Mungkin ia menahan sakit yang amat sangat, Bu"

Ma syaa Allah seperti itu? Kasihan betul putriku. Selama di ruangan ini aku tak pernah memandikan putriku, meski hanya menyeka dengan air hangat, semua dilakukan para suster atau pelajar yang sedang praktek di ruangan itu. Sebab adanya panel-panel di sekujur tubuh putriku.

Hari ketiga di ruangan steril itu Ahad. Tak biasa ada dokter visite di hari Ahad. Dan hari itu aku dipanggil menghadap dokter di meja ruangan yang biasanya dipakai dokter dan perawat. Sekitar jam sepuluh atau setengah sebelas.

Saat-saat Terakhir

"Ibu, mungkin anak ibu, sebaiknya dirawat di Dr Soetomo, di sana banyak yang lebih ahli" kata dokter hati -hati. 

"Saya sudah menjalani perawatan di sana berbulan-bulan. Perawatannya standart saja. Menurut saya lebih baik anak saya dirawat di sini saja"

"Baiklah, kalau ibu maunya demikian"

Selesai bertemu dokter aku segera ke luar ruangan, ke balkon. Menelepon suami yang sedang di tempat kerja. Mengabarkan apa yang disampaikan dokter dan jawabanku. 

Sore hari sepulang kerja suamiku mampir, meminta agar diijinkan melihat anak kami. Kusampaikan hal itu kepada perawat, perawat mengijinkan dengan syarat aku keluar lebih dulu, dan suami mengenakan baju steril. 

"Keputusan Ibu untuk tidak membawa ke Dr Soetomo sudah benar, keadaan Nurul sangat buruk. Ia tak layak dalam perjalanan meski dalam ambulan" ucap suami usai menengok putri kami.

"Ibu yang sabar. Ibu yang kuat, ya!" Pesan suami saat pamit pulang. Aku jawab dengan senyuman. 

Sepeninggal beliau keadaan putriku, semakin memburuk, ia tak mampu menghirup oksigen tanpa bantuan, padahal sudah mengenakan masker oksigen 100%. Pelajar dan dokter muda yang praktek di ruangan itu bergantian memompa oksigen untuknya. Bahkan sebelumnya aku sendiri yang memompa oksigen untuk membantu nafas putriku.

Usai sholat Maghrib aku berkata kepada seorang perawat lelaki yang sejak kemarin dinas di ruangan ini. 

"Mas, apa mungkin bisa pinjam surat Yasin? Barangkali ada yang bawa?"

"Sebentar, Bu, mungkin di ICU ada" 

Perawat lelaki itu menjawab seraya beranjak keluar.

"Yah, tolong ayah bacakan Yasin untuk Dek Nurul, ya!" pintaku lembut di telepon kepada suami, sesaat sesudah perawat lelaki itu keluar ruangan. 

Alhamdulillah, kudapati buku kecil berisikan surat Yasin itu dan segera kubaca. Usai membaca surat Yasin, aku menengok putriku yang oleh perawat dibuka maskernya demi membersihkan busa yang keluar dari mulutnya.

"Padahal baru saja saya bersihkan" ucap perawat. 

Sekalian ia memeriksa mata putriku.

"Mbak! Mbak! Ke sini!" Panggilnya kepada suster di ruangan itu. Coba periksa. Ia terlihat agak panik dan kawatir disalahkan. 

"Aku tadi membersihkan kotoran yang keluar dari mulutnya, saat kuperiksa matanya sudah demikian" terangnya kepada suster. 

"Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun" jawab suster. 

"Maaf ibu, anak ibu telah berpulang"

"Iya, Suster. Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun" jawabku tenang, sangat tenang. 

"Gusti, putriku telah kembali kepadaMu. Terimalah ia. Berikan tempat terbaik untuknya. Beri kekuatan kepada kami semua," bisikku dalam hati.

"Belum bisa langsung dibawa pulang, Bu. Surat kematian baru bisa keluar dua jam lagi" ucap suster menerangkan.

"Kalau begitu saya sholat Isya' dulu"

"Ngge, monggo"

Para pelajar calon perawat segera melepaskan sua benda yang menempel di tubuh putriku, jarum infus dan semua panel yang ada, sementara aku pergi sholat Isya'. 

Sebelumnya aku mengabari suami yang sedang di rumah membersamai anak-anak yang lain.

Aku mengabari saudara-saudara dan kedua orangtuaku. Usai shalat aku merapikan baju dan barang-barang yang mesti dibawa pulang. 

Putriku sudah rapi, dibungkus kain bedong bayi. Kusempatkan menciumnya, subahanalloh, tercium aroma wangi.

"Anakku berbau surga, harum mewangi," aku mengabarkan kepada para pelajar yang sedang praktek di ruangan itu.

"Ada yang berani menciumnya?" Tantangku. 

"Benar, Bu," salah satu diantara mereka membuktikan ucapanku. 

"Ini surat kematian anak ibu, dan sekarang sudah boleh dibawa pulang," seorang suster menyerahkan secarik kertas dalam amplop putih kecil. Cepat sekali, padahal belum ada satu jam dari meninggalnya anakku. Alhamdulillah lebih lancar. 

Segera kukabari suamiku lewat telepon genggam. Kemudian berpamitan kepada semua yang ada di ruangan itu. 

"Mas, Jika obat, infus, dll yang masih ada bisa digunakan silakan dipergunakan sebagaimana mestinya. Jika tidak tolong dibuangkan. Maaf, ya aku meninggalkan sampah."

"Tak perlu begitu, Bu, itu sudah tugas kami." Perawat lelaki itu terlihat kikuk saat kupamiti. 

Saat suami datang segera kuangkat barang-barang yang sudah kumasukkan ke dalam tas. Baru kugendong jenazah putriku. Kami mengendarai motor pulang. Sampai di rumah ramai ibu-ibu tetangga mempersiapkan bunga, kain kafan, dll persiapan pemakaman. Kusempatkan bersalaman dengan mereka sebelum memasuki rumah.

Kumandikan jenazah putriku dibantu bu RT, tetangga sebelah rumah. Kupangku ia sebagaimana masih sehat dulu, sementara aku masih mengenakan baju lengkap dengan jilbab dan kerudung. Bu RT membantu menyiramkan airnya. Sudah pasti aku turut basah kuyub. 

Usai memandikan kuserahkan jenazah putriku kepada orang yang siap mengkafani, sementara aku kembali ke kamar mandi ganti baju, jilbab dan kerudung. 
Uf, anak-anakku yang lain belum tahu kabar adiknya, kubangunkan mereka dari tidurnya satu persatu sambil kubisikkan,

"Sayang, bangun! Ini ibu. Bangunlah! Kini Adik Nurul sudah berpulang." 

Saat itu waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Mereka segera bangun dan saat aku keluar dari kamar, sholat jenazah sudah siap. Aku segera turut menjadi makmum. Malam itu pula putriku dimakamkan. Aku tidak turut mengantar ke pemakaman. Aku di rumah bersama anak-anak yang masih bingung.