-->

Di Balik Kebijakan Meredam Gaduh Corona

Oleh : Rut Sri Wahyuningsih
(Muslimah Penulis Sidoarjo) 

Berbagai wacana digulirkan penguasa, baik pusat maupun daerah. Semua ditujukan dalam rangka penanganan dampak virus Corona. Pemerintah akan memberikan insentif senilai Rp3 juta kepada korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di sektor formal di tengah penyebaran virus corona (Covid-19). Syaratnya, karyawan tersebut terdaftar sebagai peserta BP Jamsostek.

"Pemerintah menyiapkan skema bagi mereka yang ter-PHK yaitu melalui pembiayaan dari BP Jamsostek," ujar Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso.

Ia menjelaskan bantuan tersebut akan diberikan selama tiga bulan. Itu berarti, setiap bulannya korban PHK akan mengantongi insentif sebesar Rp1 juta per orang. Selain itu, pemerintah juga akan memberikan pelatihan kepada korban mereka secara cuma-cuma (cnnindonesia.com, 25/3/2020).

Secara, Menteri Keuangan Sri Mulyani membenarkan pemberian insentif kepada korban PHK dalam bentuk pelatihan dan uang santunan. Selain itu, masih dari laman berita yang sama, pemerintah juga mengerek insentif bagi penerima kartu prakerja menjadi Rp1 juta per bulan dari sebelumnya hanya Rp650 ribu per bulan. Keputusan ini diberlakukan selama empat bulan guna memitigasi dampak penyebaran virus corona terhadap pekerja yang terkena PHK dari sektor informal.

Penerima kartu prakerja akan diberikan insentif sebesar Rp1 juta selama empat bulan. Artinya, alokasi dana yang disiapkan untuk masing-masing peserta sebesar Rp4 juta.

Namun, pemerintah akan mengembalikan skema program kartu prakerja seperti semula apabila kondisi sudah kembali normal. Artinya, penerima program itu hanya akan mendapatkan honor insentif sebesar Rp650 ribu per bulan dan biaya pelatihan Rp5 juta

Wacana pemerintah ini menjadi oase ditengah desakan rakyat agar pemerintah menopang ekonomi rakyat ketika terserang wabah. Namun keadaannya bak jauh panggang dari api. Insentif yang diberikan tidak terlalu mendongkrak ekonomi rakyat apalagi mengatasi dampak wabah secara ekonomi. 

Karena, bukan hanya sebagian kecil rakyat yang menjadi sasaran program, namun juga prasyarat berbelit yang memungkinkan banyak rakyat tidak akan memanfaatkan. Apalagi belum ada  dukungan penuh dari pihak lain (perbankan) akan membuat program tambal sulam ini, lebih bernilai pencitraan dibanding memberi solusi. 

Pandemi ini nyata, sudah banyak korban berjatuhan baik dari rakyat sipil maupun tenaga kesehatan. Satu persatu tumbang karena minimnya penjagaan negara. Ini semakin menegaskan bahwa kebijakan tambal sulam rezim kapitalis gagal memberi solusi pemenuhan kebutuhan. 

Kebijakan rezim neolib yang berorientasi  pencitraan demi mempertahankan kursi, takut digulingkan, sehingga menghalalkan sikap tak mau tahu berapa nyawa yang sudah menjadi tumbal akibat ketidakacuhannya. Rakyat bak kehilangan induk ayam, diabaikan apa yang menjadi haknya namun di sisi lain rakyat masih diperas bak sapi perah. Dimintai zakat sebelum waktunya, diminta donasi.

Diketuk jiwa sosial rakyat dari berbagai sisi, namun hati penguasa telah mati untuk timbal baliknya. Inikah perlakuan penguasa yang sesuai dengan UUD 1945 dan Pancasila. Rasanya tidak, dilihat dari berbagai sila dan pasalnya sekalipun.

Mereka yang berteriak paling Pancasilais juga bungkam hingga hari ini. Demikian pula mereka yang diangkat pemerintah sebagai badan penjaga Pancasila. Jangankan solusi, suarapun tak terdengar. Mereka menikmati keselamatan mereka sendiri sementara rakyat berjuang diantara hidup dan mati.

Tak salah kemudian jika harapan dilabuhkan pada solusi tuntas umat pada masa kejayaan Islam. Semua fakta dan tak terbantahkan, keberadaan tanggung jawab pemimpin yang mampu menggetarkan arasy Allah SWT. Sebab mereka bergerak bukan karena mereka pemimpin yang sudah dibaiat umat namun lebih kepada ketaatan sebagai Hamba Allah. 

Solusi Islam dan khilafah dalam menjamin pemenuhan kebutuhan dasar rakyat dapat dirasakan baik secara langsung maupun tidak langsung. Di wilayah yang terkena wabah akan segera diisolasi agar penyebarannya berkurang. Negara menyediakan segala keperluan wilayah tersebut dengan dana dari Diwan Thowariq (pos bencana alam dan wabah) dari Baitul mall. Khilafah tak sekali menghadapi wabah sebagaimana saat ini, namun setiap kali terjadi tak pernah hingga mengguncangkan setiap sendi dalam negara. 

Yang terkenal adalah Wabah Amwas awalnya menyerang sebuah desa kecil bernama Amwas yang terletak di Palestina atara Jerusalem dan Al-Ramlah. Wabah ini menyerang tentara Arab yang sedang berada di Amwas pada bulan Muharram dan Safar pada 638 dan 639 M. Amwas kemungkinan adalah bubonic plague berdasarkan catatan Jacob of Edessa 
(detiknews.com, 30/3/2020)

Sebanyak 2.500 orang meninggal termasuk orang-orang dekat Rasullah SAW yaitu Abu Ubaidah, Yazid bin Abu Sufyan, Muaz bin Jabal dan puteranya Shurahbil din Hasanah, Al-Fadl bin Al-Abbas, Abu Malik Al-Ashari, Al-Hareth bin Hisham, Abu Jandal, Uwais Al-Qarni, serta Suhail bin Amr. Mengutip Al-Tabari, musuh Islam sempat mempertimbangkan penaklukan karena serangan wabah yang melemahkan kekuatan dan membuat panik.

Semua dihadapi dengan satu sistem yang sama sebagaimana pertama kali Rasulullah menegakkannya di Madinah. Yaitu syariat Islam. Maka tidakkah sekarang kesempatan terbaik untuk menjawab peringatan dari Allah SWT? Dengan kembali kepada apa yang manusia diperintahkan, yaitu menjalankan Islam secara kaffah. Agar segala kepedihan ini sirna berganti dengan sebutan Baldatun Thoyyibatun wa ghofurun.

Wallahu a' lam bish showab