-->

Mampukah Mengatasi Corona Dengan Persiapan Seadanya?

Oleh: Pahriah (Aktivis Muslimah)

Penamabda.com - Sejak diumumkan presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Senin (02/03/2020) tentang kasus corona virus yang menjangkit dua warga negara Indonesia, jumlah kasus corona virus atau covid-19 terus mengalami peningkatan. Terbaru saat ini, jumlah pasien corona hingga 27 April 2020, telah terkonfirmasi 9.096 kasus. Pemerintah mengatakan telah melakukan berbagai upaya penanganan mencegah virus yang bermula dari Wuhan China ini. 
 
Dalam konferensi pers dari Istana Bogor, Jawa Barat, pada Selasa (31/3/2020) Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan bahwa pemerintah mengeluarkan kebijakan ekonomi untuk mengantisipasi persebaran virus Corona (covid-19) dengan menyiapkan anggaran hingga Rp 405,1 triliun. 
 
Beberapa kebijakan itu antara lain dukungan terhadap bidang kesehatan, anggaran Rp 75 triliun akan digunakan untuk perlindungan kepada tenaga kesehatan, seperti pengadaan alat pelindung diri (APD), pembelian alat-alat kesehatan seperti alat uji coba, reagen, ventilator, hand sanitizer, dan lainnya, memperbarui rumah sakit rujukan Covid-19, termasuk Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta, insentif bulanan tenaga medis, santunan kematian tenaga medis, serta penanganan kesehatan lainnya. 

Kebijakan lainnya adalah adanya perlindungan sosial yang anggarannya akan diprioritaskan untuk keluarga penerima manfaat PKH [Program Keluarga Harapan] yang naik dari 9,2 juta keluarga menjadi 10 juta keluarga penerima manfaat. Selain itu juga akan menaikan penerima kartu sembako dari sebelumnya 15,2 juta penerima menjadi 20 juta penerima.  
 
Untuk tarif listrik pemerintah juga akan membebaskan biaya untuk pelanggan listrik 450 VA selama 3 bulan ke depan,yaitu April, Mei, dan Juni 2020 sedangkan bagi pelanggan listrik 900 VA akan mendapatkan keringanan berupa potongan harga sebesar 50 persen selama periode yang sama.
 
Selain itu pemerintah menambah insentif perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), memberikan dukungan logistik sembako dan kebutuhan pokok dengan alokasi anggaran Rp 25 triliun. Serta menaikkan anggaran kartu prakerja dari semula Rp 10 triliun menjadi Rp 20 triliun. 
 
Meski pemerintah sudah mengeluarkan berbagai kebijakan namun semua itu belum efektif dalam meredam hantaman virus Covid-19 yang sudah kadung tersebar ke berbagai wilayah di Indonesia. Kebijakan itu justru lebih fokus pada dampak ekonomi nya saja dibandingkan dengan langkah cepat mengantisipasi dan menangani penyebaran virus corona ini. 
 
Karena tidak siap dan kurang tanggap, korban corona terus berjatuhan. Bahkan fatality rate Indonesia cukup tinggi melebihi China sebagai negara pandemi pertama. 
 
Sebelum kasus ini naik di angka lebih dari 1.000, banyak pihak yang menuntut pemerintah melakukan lockdown atau karantina wilayah. Hanya saja hal itu segera dianulir oleh presiden dengan menegaskan bahwa kebijakan lockdown adalah wewenang pemerintah pusat bukan pemerintah daerah. Pemerintah mengklaim, kebijakan lockdown tak diambil karena akan berdampak pada ekonomi. Adapun, opsi yang dipilih pemerintah adalah Pembatasan Sosial Skala Besar (PSSB). Sesuai UU, PSBB ini ditetapkan oleh menteri kesehatan yang berkoordinasi dengan kepala gugus tugas covid-19 dan kepala daerah, yang dasar hukumnya adalah Undang-Undang No.6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Kalau alasan pemerintah hanya ingin mempertahankan ekonomi, sebenarnya ekonomi Indonesia juga sudah ambyar sebelum Corona datang. Indikasinya, utang yang makin menggunung, daya beli masyarakat yang menurun, PHK massal, pengangguran terbuka, dan sederet problem ekonomi lainnya. 
 
Apa yang dilakukan pemerintah hari ini belum menunjukkan kemajuan berarti. Setiap hari kita hanya disuguhkan dengan laporan pasien positif Covid-19 yang semakin bertambah. Antisipasi yang buruk, kebijakan yang tidak tegas, penanganan yang tidak sigap, dan abainya negara sejak wabah ini diumumkan menjadi faktor penyebab pandemi virus ini menjalar di hampir seluruh wilayah Indonesia. Bisa dikatakan, upaya preventif dan kuratif tidak optimal dan maksimal. 
 
Pertama, upaya preventif yang terlambat. Saat negara lain buru-buru menutup akses masuknya WNA ke negaranya, Indonesia dengan santainya membiarkan akses WNA itu terbuka lebar. Tidak ada upaya bagaimana agar Covid-19 tidak memasuki Indonesia. 
 
Alhasil, saat kasus pertama diumumkan, pemerintah tergagap karena dari awal sudah menyepelekan. Saat banyak desakan dari rakyat agar menyetop masuknya warga asing ke Indonesia, Pemerintah hanya menanggapi dingin dan bergeming. Bahkan negara lain dibuat bingung dengan sikap Indonesia yang masih merasa baik-baik saja saat itu. 
 
Kedua, upaya preventif seperti seruan social distancing, rajin cuci tangan, tetap di dalam rumah, jangan berkerumun, dan meliburkan sekolah, tidak akan cukup menangkal penyebaran Covid-19 tanpa edukasi yang menyeluruh. Artinya, seruan dan imbauan saja tanpa kebijakan yang tegas tak akan efektif. 
Tak kuasa membendung dan mengontrol masyarakat dengan kebijakan itu, polisi dan TNI pun turun tangan. Menyisir tempat-tempat kerumunan massa hingga membubarkan paksa perkumpulan yang masih dilakukan masyarakat. Artinya, edukasi terhadap bahaya virus ini belum menyentuh akar masalah. Masih ada yang bebal dan tak mengindahkan anjuran pemerintah. Alasannya, jika tak keluar rumah mereka dapat nafkah dari mana? Keluarga bisa mati kelaparan sebelum corona menyerang. Begitulah komentar rakyat bawah. Sebab, selama ini mereka memang tak diurusi dengan benar oleh negara. Cari nafkah, cari makan atas usaha sendiri. Negara berlepas diri. Sungguh dilematis. 
 
Ketiga, upaya kuratif yang dilakukan pemerintah juga belum optimal. Sejauh ini, pemerintah lebih banyak melakukan upaya kuratif (penyembuhan). Seperti menyediakan rumah sakit darurat, membeli jutaan obat, serta memesan 105.000 Alat Pelindung Diri (APD) dari Cina.
Meski begitu masih banyak keluhan terbatasnya APD yang tersedia di RS rujukan. Bahkan tidak sedikit tenaga medis memakai jas hujan sebagai APD. 
 
Pemerintah juga membeli alat tes kesehatan yang juga didatangkan dari Cina. Tujuannya untuk melakukan tes massal dengan rapid test. Padahal tingkat sensitivitas rapid test hanya berkisar 36%. Sebab, rapid test tidak untuk mendeteksi virus Covid-19 tapi zat antibodinya. 
 
Upaya preventif yang terlambat dan upaya kuratif yang belum optimal inilah yang mengindikasikan negara memang tidak siap menghadapi pandemi Covid-19. Ketidaksiapan ini diperparah dengan keengganan melakukan lockdown atau mengunci wilayah terdampak. Alhasil, eksodus warga dari zona merah dengan melakukan mudik dini berpotensi meningkatkan penyebaran Covid-19. 
 
Di satu sisi, penanganan lamban dan edukasi minim membuat sinergitas seluruh elemen masyarakat kurang terjalin. Disinformasi hingga tumbangnya puluhan tenaga kesehatan menjadi bukti bahwa negara tidak mampu dan tidak siap mengatasi penyebaran virus conona ini. 
 
Islam telah memberikan anjuran untuk mengatasi penyebaran penyakit. Dari kitab Sahih Muslim Rasulullah saw ber sabda, “Jika kalian mendengar tentang wabah-wabah di suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Tetapi jika terjadi wabah di suatu tempat kalian berada, maka janganlah kalian meninggalkan tempat itu,” (Hadis riwayat Bukhari dan Muslim). 
 
Selain memberikan solusi nyata, Islam juga memberikan tuntunan sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. Jika datang sebuah wabah, Rasulullah berdoa untuk menghilangkan wabah penyakit tersebut. 
 
Dari Aisyah ra berkata, Rasulullah saw pernah berdoa memohon agar Allah menjaga kota Madinah dari wabah penyakit. Berikut doanya: 
“Ya Allah, jadikanlah Madinah sebagai kota yang kami cintai sebagaimana kami mencintai Makkah atau bahkan lebih dari itu. Ya Allah, berikanlah keberkahan kepada kota dan penduduk kami, sehatkanlah Madinah buat kami dan pindahkanlah wabah penyakitnya ke Juhfah.” (Sahih Al-Bukhari No. 1756) 
 
Untuk mengatasi wabah penyakit yang sudah menjadi epidemi bahkan pandemi, tidak cukup peran dari segelintir kelompok, komunitas, atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Negara harus berperan aktif dalam menjaga keamanan makanan dan kehalalan pangan. 
 
Negara juga bisa mengimbau rakyatnya untuk melakukan upaya pencegahan di antaranya melakukan penyuluhan kepada rakyat agar menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Negara juga harus memenuhi kebutuhan pokok (makan) warga negaranya sehingga dapat hidup sehat, cukup nutrisi, dan memiliki pola makan seimbang. Selain  itu, negara melarang warga negara makan makanan mentah terutama berbahan dasar hewan. Secara umum, negara menerapkan aturan Islam dalam hal makan makanan yang harusnya halal dan thayyib. 
 
Negara (pemerintah) harus berada di garda terdepan menangani bencana seperti ini. Misalnya, mengisolasi di kapal perang di lepas pantai (bukan di daratan), penanganan korban dan wilayah yang terkena wabah secara sigap dan cepat, serta melakukan berbagai upaya antisipatif agar daerah lain atau warga negara yang lain tidak ikut terkena dampaknya. 
 
Pemerintah wajib menjamin perawatan dan pengobatan semua orang yang sakit, menyediakan semua alat kesehatan yang dibutuhkan secara memadai, termasuk APD yang sangat dibutuhkan oleh paramedis. Pemerintah juga wajib menjamin birokrasi, protokol dan prosedur yang diperlukan berjalan. Pemerintah juga harus mewujudkan suasana yang nyaman dan aman bagi paramedis sehingga mereka dapat menjalankan tugas perawatan dan pengobatan sebaik mungkin.   
 
Pemerintah juga harus mengedukasi dan mendorong serta membuat kebijakan agar semua masyarakat bisa menjalankan sosial distancing. Untuk itu harus digunakan berbagai cara dan sarana serta menggerakkan semua struktur dan aparat pemerintah supaya bisa berjalan secara efektif.
 
Pemerintah juga hendaknya segera mengambil tindakan dan kebijakan untuk memutus rantai penyebaran Covid-19 ini secepat mungkin. Kelambanan serta ketidakjelasan kebijakan dan tindakan yang dirasakan masyarakat harus segera diakhiri.