-->

Kebijakan Penanganan Wabah dalam Cengkeraman Istilah

Oleh: Pipit Agustin (MT. Sholihah Blitar) 

Penamabda.com - Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan melarang semua warganya mudik Ramadan dan Lebaran Idul Fitri 2020. Keputusan itu dilakukan untuk mencegah penyebaran virus corona atau Covid-19 yang telah menjadi pandemi global.

"Setelah larangan mudik bagi ASN, TNI-Polri dan pegawai BUMN sudah kita lakukan pada minggu yang lalu, pada rapat hari ini saya ingin menyampaikan juga bahwa mudik semuanya akan kita larang," kata Jokowi saat memimpin rapat terbatas, Selasa 21 April 2020. (Liputan6.com/23/4/2020).

Kebijakan pemerintah yang membolehkan pulang kampung dan melarang mudik direspon nyinyir oleh masyarakat. Tentu saja, karena mengandung double speech alias ambiguitas istilah. Tak hanya itu, kebijakan presiden Jokowi pun mengundang tanya, apa tujuan yang dikehendaki dengan kebolehan pulang kampung dan pelarangan mudik??

Apabila diperhatikan, "logat" kebijakan presiden ini tak mampu meyakinkan publik. Terkesan tidak tegas lagi dilematis. Mudik menjadi pilihan dengan alasan karena di tengah pandemi ini tidak ada jaminan pemenuhan kebutuhan pokok di tanah rantau. Terlebih adanya pemangkasan gaji karyawan dan gelombang PHK bahkan sebagiannya tanpa pesangon. Jika tetap di rantau dan terjadi sesuatu, keluarga di kampung halaman tidak bisa menolong.

Sementara itu jika mudik, ada kecemasan yang bergelayut tentang bagaimana cara physical distancing nya? Adakah pemerintah menyediakan pemeriksaan kesehatan terstandar di sepanjang perjalanan pulang kampung yang dibolehkan itu? Seperti pemeriksaan kesehatan, suhu tubuh dengan termometer canggih, dsb. 

Tidak berhenti sampai di situ, pertanyaan mengganjal berikutnya adalah bagaimana kesiapan kampung halaman yang menjadi tujuan. Prosedur pemeriksaaan hingga kebijakan jika harus isolasi mandiri serta sikap masyarakat setempat atas kedatangan para perantau. Juga jaminan keamanan atas kemungkinan tindak kejahatan dari para napi asimilasi maupun penjahat-penjahat baru. Mengingat, situasi serba sulit seperti sekarang menjadi alasan seseorang berbuat nekat demi memenuhi hajat hidup. 

Sejenak menghela napas. Kita semua patut menyadari kemana orientasi kebijakan pemimpin negeri ini menuju. Pasalnya, alasan tanggung jawab besar pemerintah terkait keselamatan dan keamanan masyarakat dari penyebaran virus ke daerah tujuan hanya kamuflase. Bagaimana virus bisa membedakan antara orang yang mudik dan pulang kampung? Sementara pergerakan massa keduanya tidak berbeda. Sama-sama melintasi banyak zona, dan sama-sama berpotensi membawa virus. 

Masyarakat skeptis merespon. Imbauan demi imbauan dianggap angin lalu karena nihil sanksi yang jelas lagi tegas. Dari skeptisisme masyarakat itulah terbentuk imajinasi kolektif bahwa kebijakan pemerintah bersandar pada paradigma sekuler kapitalistik, bukan paradigma pengayom dan pelindung rakyat. Wajar jika masyarakat tidak tersentralisasi pada patron penguasa dan jajarannya. Hilang taat dan kepatuhan. Mereka terpolarisasi dalam nuansa individualis. Bertindak sendiri-sendiri demi keselamatan diri sendiri.

Patut diduga kuat bahwa kebijakan ini diambil karena pemerintah berlepas tangan dari menanggung kebutuhan hidup mereka yang di-PHK. Bisa juga pemerintah menghitung untung-rugi untuk menanggung seringan mungkin beban negara secara finansial. Sebagaimana prinsip kebijakan yang sudah ada sebelumnya. Inilah prototype penguasa dalam sistem sekuler kapitalistik itu.

Hendaknya kita belajar dari para pendahulu kita, leluhur kita dalam menanggulangi prahara dan pagebluk seperti korona. Pada tahun 18 Hijriyah, Umar radhiyallahu anhu, Amirul Mukminin pernah memerintahkan orang-orang Arab Badui untuk mudik (pulang kampung). Mereka berurbanisasi ke kota Madinah pada masa krisis ekonomi akibat kemarau panjang yang melanda Madinah kalau itu. Kebijakan Umar ra. ini dilakukan setelah krisis ekonomi berakhir, yakni setelah Allah menurunkan hujan. Sang Khalifah berkata pada mereka, "Kembalilah ke desa di mana kalian biasa melakukan kegiatan!". 

Ibnu Saad menyatakan bahwa Umar "benar-benar mengatur sendiri semua proses pulang kampung suku Badui ini". Umar menjadikan pulang kampung tersebut sebagai kebijakan yang diperhitungkan dengan matang  tujuan dan konsekuensinya. Negara memastikan tanggung jawab yang baik terhadap individu yang dipulangkan, kota Madinah yang ditinggalkan maupun kampung halaman yang dituju. Umar menyediakan armada transportasi para pemudik Badui untuk menuju daerah masing-masing. Selain itu, beliau juga menunjuk staf khusus untuk mengatur pemulangan, memastikan perbekalan dan segala prasarana yang dibutuhkan  kepada setiap pemudik. Tak hanya itu, seluruh proses pemulang-kampungan pun disertai dengan prosedur yang yang simpel dan rapi. Di kampung halaman, penyiapan seluruh pemenuhan kebutuhan mereka telah disediakan hingga mereka bisa hidup normal di kampung halamannya kelak. 

Kebijakan Umar ini jelas mengerek anggaran negara. Tetapi semua dilakukan atas dasar tanggung jawab pemimpin sebagai pelayan dan pengayom rakyat. Tujuan mulia yang diharapkan adalah bisa mengatasi persoalan dan mewujudkan kemaslahatan jangka panjang bagi seluruh rakyat dan kaum Muslim.

"Jika Allah tidak menolong kami dari Tahun Abu ini, kami kira Umar akan mati dalam kesedihan memikirkan nasib Muslimin," kesan penduduk Madinah kepada Sang Khalifah. Kesan ini memperlihatkan kepada kita loyalitas rakyat kepada pemimpinnya. Rakyat mendukung kebijakan penguasa, tunduk dan patuh kepadanya. Lebih dari itu, ketakwaan pemimpin kepada Allah selalu menjadi landasan dalam mengambil kebijakan publik, yaitu takut atas pertanggungjawaban akhirat bila sampai menyengsarakan rakyat. Semoga kita bisa mengambil pelajaran.