-->

KRIMINALITAS SETELAH PEMBEBASAN NAPI, KEGAGALAN JAMIN RASA AMAN

Oleh : Fitrianingsih (Aktivis Muslimah) 

Penamabda.com - Wabah Covid-19 belum juga ada tanda-tanda mereda, bahkan beberapa problem timbul, terlebih masalah ekonomi yang berhubungan dengan permasalahan perut.

Kini, yang dikhawatirkan masyarakat bukan hanya mati terinfeksi virus. Namun juga mati kelaparan lantaran banyak rakyat tak berpenghasilan. Jika suatu masyarakat kebutuhan pokoknya tidak terpenuhi, maka konsekuensinya adalah kriminalitas meningkat.

Di tengah potensi kriminalitas yang cenderung naik akibat menurunnya kesejahteraan, ditambah pemerintah mengeluarkan kebijakan pembebasan narapidana. Hingga kini, 35 ribu lebih para napi dibebaskan dalam rangka menghambat laju penularan Covid-19.

Menurut Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Yasonna Laoly, menegaskan upaya pembebasan sekitar 35 ribu narapidana dan anak melalui program asimilasi dan integrasi berdasarkan alasan kemanusiaan. (Tribunnews.com 18/04/2020)

Menteri Yasonna Laoly menjelaskan bahwa kondisi lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan (rutan) di Indonesia masuk kategori over-capacity, alias kelebihan penghuni. Tak ada jaminan para napi tak tertular, karena para penjaga lapas keluar masuk area penjara.

Selain alasan kemanusiaan, Yasonna pun menyampaikan hal demikian dilakukan sesuai rekomendasi PBB untuk seluruh dunia demi pencegahan Covid-19.

Tentu, pembebasan napi menuai banyak kritik. Alasan untuk pencegahan penularan Covid-19 tak sebanding dengan rasa aman yang kian menjauh dari masyarakat. Dilansir dari kompas.com, tercatat 13 kasus kriminalitas yang dilakukan para napi yang baru keluar tersebut. Kasus pencurian motor, penjambretan, dan lain-lain.

Minimnya pengawasan dari pihak lapas, juga himpitan ekonomi para mantan napi, telah mendorong mereka melakukan kejahatan. Inilah yang semakin memperkeruh kondisi negeri ini. Sudahlah dikepung virus yang tak terlihat dengan mata telanjang, masyarakat pun kini dikepung oleh potensi kriminalitas yang tak kalah ngerinya dengan Covid-19.

Maka dari itu, tertangkapnya kembali mantan napi menjadi bukti bahwa fungsi lembaga kemasyarakatan di negara ini tak berfungsi dengan semestinya.

Fungsi Lapas adalah membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat. Namun mengapa fungsi ini tak berjalan, meski ada juga program bimbingan rohani.
Setidaknya ada beberapa hal yang bisa kita soroti.

Pertama, sistem hukum dan peradilan di Indonesia sangat dipengaruhi dan dilandasi sistem hukum dan peradilan barat yang sekuler-demokrasi, yaitu mengesampingkan Sang Khalik sebagai pencipta manusia. Sehingga bisa dipastikan produk yang dikeluarkan pasti tidak sempurna dan lemah.

Mengapa terjadi penumpukan narapidana? Karena hukum sanksi bagi pelaku kejahatan tidak menimbulkan efek jera. Sebagai contoh, pencurian (pasal 362 KUHP) hanya dikenakan sanksi penjara paling lama 5 tahun. Apalagi kasus perzinaan (Pasal 284 KUHP), hanya dikenakan sanksi paling lama 9 bulan.
Dari sini bisa kita simpulkan bahwa wajar jika pencurian dan perzinaan terus terjadi, lantaran hukuman yang tidak menjerakan pelaku.

Kehidupan yang sekuler dan hukum sanksi yang tak menjerakan, telah menyebabkan manusia ringan dalam melakukan kejahatan. Budaya permisif, individualisme, materialisme, kebebasan bertingkah laku yang dijamin oleh undang-undang ikut menyumbangkan perilaku amoral yang berujung pada kriminalitas. Akhirnya penjara penuh, diisi para penghuni baru dan penghuni lama yang terus mengulang kejahatannya.

Kedua, sistem peradilan dalam demokrasi termasuk lapasnya, menciptakan aparat yang korup. Lihat saja bagaimana suap menyuap dari tingkat sipir hingga mahkamah agung menjadi tontonan biasa.
Dilansir mediaindonesia.com, ombudsman menyebutkan kemungkinan adanya narapidana yang mengeluarkan uang suap kepada lembaga pemasyarakatan dalam program asimilasi.

Para napi menganggap bahwa uanglah yang menyebabkan mereka dijebloskan ke penjara. Jika mereka punya uang, maka hukuman akan diringankan atau minimal seperti koruptor, yang mempunyai ruang mewah di dalam lapas; Bisa menyuap para sipir untuk bebas keluar seperti para politisi yang terjerat korupsi; Bahkan transaksi narkoba terbanyak berasal dari penjara. Melihat realitas yang demikian, pembinaan dari sisi mana pun akan mental pada diri mereka.

Ketiga, bimbingan rohani hanyalah formalitas. Jangankan para penghuni lapas, masyarakat luas pun masih belum mengenal Islam kafah. Bahkan ajaran-ajaran Islam ditebang pilih sesuai kepentingan penguasa.

Ajaran jihad dan khilafah dimonsterisasi, tapi yang berbau-bau rupiah difasilitasi bahkan diedukasi secara masif, seperti menyamakan zakat dengan pajak.
Padahal, Islam harus dipahami dengan mendasar dan menyeluruh, bukan hanya sebatas ibadah mahdhah dan akhlak saja. Wajar akhirnya bimbingan rohani tak menumbuhkan keimanan dalam diri para napi.

Banyaknya napi yang ditangkap kembali pascapembebasan, menjadi bukti semakin buruknya kondisi kriminalitas di negeri ini. Rasa aman sungguh sulit didapat dalam sistem demokrasi.

Sistem kehidupan yang Islami akan meminimalisasi kriminalitas. Individu-individu yang ada dalam masyarakat berperilaku sesuai dengan syariat. 

Ketaatan mereka terhadap aturan negara semata bukti keimanannya pada Sang Mahakuasa. Sehingga jarimah atau tindakan kriminal akan jarang ditemui.
Dibarengi dengan pengaturan negara yang berfokus pada kemaslahatan umat, sehingga kebutuhan pokok mereka terpenuhi. Seperti sandang, pangan, papan, keamanan, pendidikan, dan kesehatan adalah hal yang dijamin negara.
Sumber APBN bukan dari pajak dan utang, tapi dari kepemilikan umum, fa’i, dan kharaj, sehingga rakyat tak dibebankan pajak seperti dalam sistem saat ini.

Begitu pun pelaku kriminal, diberi sanksi sesuai dengan syariat. Dalam kitab “Sistem Sanksi dan Hukum Pembuktian dalam Islam”, uqubat atau sistem sanksi dibagi menjadi empat jenis.

Pertama, hudud. Yaitu sanksi-sanksi yang kemaksiatannya telah ditetapkan kadarnya oleh Allah Swt. seperti hukum sanksi bagi pencuri adalah potong tangan.

Kedua, Jinayat. Yakni penganiayaan atau penyerangan terhadap badan, yang mewajibkan qishas (balasan setimpal) atau diyat (denda). Seperti seseorang yang menyebabkan orang lain patah giginya, harus diberi sanksi dengan serupa yaitu dipatahkan gigi si pelaku.

Ketiga, Ta’zir, merupakan sanksi bagi kemaksiatan yang di dalamnya tidak ada had dan kafarat. Khalifahlah yang menentukan jenis hukumannya.

Keempat, Mukhalafat, yaitu uqubat yang dijatuhkan penguasa kepada  orang yang menentang perintah penguasa. Sebagian fukaha mengategorikan mukhalafat pada bab ta’zir, karena tidak ditentukan kadarnya oleh syariat.

Dari sini kita bisa melihat, dalam Islam, pelaku kejahatan tidak semua masuk penjara, ada sanksi-sanksi lainnya. Ini juga yang akan menyebabkan penjara tak sesak seperti sekarang.

Begitu pun kelayakan penjara. Contohnya penjara saat ini rutan Bagan Siapi-api memiliki kapasitas 98 orang, tapi dihuni 810 orang. Alias overkapasitas hingga 836 persen.

Dalam Islam, tahanan diperlakukan layak, hunian mereka bersih dan layak tinggal, bahkan narapidana di zaman sahabat ada yang ditahan di masjid. Sehingga jika ingin melakukan social distancing pun bisa.
Begitu pun pakaian dan makanan, Imam Bukhari menulis secara khusus bab tentang tuntunan memberikan sandang pada napi di kitab al jami’as-shahih-nya.

Para napi pun diberikan pemahaman agama yang menyeluruh. Para sipilnya mengerti agama, suasana penjara dibuat agar mereka kondusif untuk beribadah. Hingga wajar akhirnya kita temukan jika di masa Islam berjaya dan syariat Islam diterapkan sempurna, akan banyak napi yang tobat dan berbondong-bondong masuk ke dalam Islam.

Oleh karena itu, napi di sistem demokrasi sungguh nelangsa. Selain tak layaknya hunian, makanan, dan pakaian, mereka pun disodorkan dengan sistem peradilan sekuler yang tidak mengondusifkan mereka untuk bertobat.

Maka dari itu, jika ingin menyelamatkan napi dari Covid-19 dan juga mengembalikan mereka pada fitrah keimanannya, kita harus berusaha mengembalikan kehidupan Islam dalam bingkai Daulah Khilafah.