-->

Lunturnya Rasa Kemanusiaan di Tengah Pandemi Covid-19

Oleh : Anita S (Guru TPQ Al Muta'alimin, Banyuwangi) 

Penamabda.com - Sesak dada terasa saat membaca berita penolakan penguburan jenazah pasien positif covid-19 beberapa saat yang lalu (Kompas.com). Terlebih mereka adalah paramedis yang sebenarnya adalah pahlawan kemanusiaan yang gugur saat berjuang merawat PDP maupun pasien positif covid-19.

Semakin pilu manakala membaca berita pengusiran dan penolakan keberadaan tenaga kesehatan di lingkungan tempat mereka tinggal (liputan6.com). Kekhawatiran yang berlebihan terhadap penularan virus covid-19 telah menjadikan mereka tega berbuat diskriminatif pada kelompok profesi yang sangat dibutuhkan bangsa dan negara ini. Demikian juga kepada pasien positif covid-19, PDP, ODP, dan keluarganya.

Minimnya informasi yang akurat serta edukasi yang benar tentang virus covid-19, penyebarannya, dan cara mengatasinya telah menyebabkan sebagian anggota masyarakat diperlakukan diskriminatif di tengah-tengah pandemi wabah corona. Media dihiasai berita monsterisasi wabah covid-19 tanpa diimbangi dengan berita solusi terbaik untuk memutus rantai penyebaran virus ini.

Enggannya pemerintah untuk melakukan lockdown secara nasional ditambah dengan kebijakan yang setengah hati dalam menyelesaikan masalah pandemi ini menjadikan masyarakat harus berjibaku sendiri melindungi diri dan keluarganya dari penularan virus covid-19. Maka sangat wajar jika mereka menjadi paranoid dengan pasien covid-19, keluarganya, tenaga medis yang merawatnya, hingga yang masih terhitung ODP.

Pengucilan dari masyarakat kerap menjadi tekanan yang menambah berat beban hidup disaat mereka harus berjuang menghadapi penyakit. Tak sedikit diantara pasien covid-19 yang depresi bahkan nyaris bunuh diri karena malu atau dikucilkan (www.KOMPAS.com). Sebagian lagi diantara mereka berbohong atau menutupi riwayat perjalanan mereka atau interaksi mereka di daerah-daerah epicentrum penyebaran covid-19, yang justru sangat fatal akibatnya sebagaimana yang terjadi di RS Kariadi Semarang (m.detik.com) atau di daerah lainnya.

Pemerintah sebagai garda terdepan penanganan wabah covid-19, seharusnya memberikan edukasi yang baik kepada warga. Angka-angka korban wabah ini sebaiknya juga disampaikan apa adanya kepada masyarakat agar bisa memberikan gambaran yang jelas mengenai bahaya yang ditimbulkan, sehingga tidak terjadi satu kelompok masyarakat berupaya mati-matian mencegah penularan covid-19 dengan melockdown daerahnya sedangkan kelompok masyarakat yang lain masih bebas berkeliaran.

Lockdown secara nasional juga harus segera dilakukan guna mencegah masuknya orang asing yang membawa virus kedalam negeri lebih banyak lagi. Hal serupa telah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab pada saat terjadi wabah yang lebih ganas dari wabah covid-19 yaitu tha'un awamis beberapa abad yang lalu. Siapapun yang terkena penyakit ini pasti meregang nyawa. Amru bin Al Ash sebagai utusan Khalifah Umar bin Khattab mengambil kebijakan untuk mengisolasi warga di bukit-bukit, lembah, atau di tempat yang mereka bisa berpisah tak berinteraksi satu sama lain. Walhasil dalam jangka waktu yang tak lama wabah ini bisa di hentikan.

Paramedis atau petugas kesehatan juga harus dibekali dengan APD yang memadai agar tubuh mereka tidak kontak langsung dengan pasien covid-19. Pengadaan APD ini sudah selayaknya disediakan oleh negara. Bahkan saat terjadi wabah seperti saat ini seharusnya APBN difokuskan alokasinya untuk menangani wabah, bukan untuk pembangun ibu kota baru, menambah fasilitas para wakil rakyat, atau membayar gaji stafsus yang angkanya luar biasa. 

Berkaca dari sistem pemerintahan Islam yang telah teruji hampir 14 abad, negara sebagai pihak penanggung jawab utama melakukan segala upaya untuk melindungi warga selama terjadi wabah. Mulai dari melockdown negara, memberikan fasilitas prima kepada nakes dan pasien, hingga mengerahkan seluruh daya dan upaya untuk melakukan penelitian agar bisa diciptakan vaksin untuk memberikan kekebalan kepada warga negaranya.

Seorang  ilmuan Muslim yaitu Ar-Razi (di Barat dikenal dengan nama Rhazez), beliau meneliti bahwa orang yang sudah terkena smalpox (variola) tidak akan terkena kedua kalinya. Beliau meneliti ini setelah melihat fakta penyakit wabah yang banyak membuat manusia meninggal (Termasuk Sahabat yang dijamin masuk surga, Abu Ubaidah Ibnul Jarrah yang meninggal di Syam karena wabah). Beliau menulis buku dengan judul ”al-Jadari wa al-Hasba” (Manuskrip asli buku ini masih disimpan rapi di perpustakaan Leiden University, Belanda (banyak manuskrip ilmu dan penemuan umat Islam disimpan di museum-museum Eropa). Berikutnya penelitian Ar Razi ini disempurnakan oleh para Ilmuan Turki (zaman khalifah Ottoman/Ustmaniyah) dan dikembangan pula tehnik imunisasi (variolasi). 

Dalam memutus rantai penyebaran virus covid-19 ini ada baiknya jika pemerintah Indonesia mengkaji kembali bagaimana pemerintahan Islam dalam menyelesaikan masalah wabah. Mulai dari pencegahan penularan, edukasi kepada masyarakat, hingga masalah ekonomi yang pasti ikut terdampak wabah covid-19 ini. Selain terbukti paripurna bisa menyelesaikan masalah tentu melaksanakannya akan terhitung sebagai ibadah. 

Wallahua'lam bishowab.