-->

Kebijakan Herd Immunity Sangat Tidak Manusiawi

Oleh: Nurdiani, M.Pd (Aktivis Muslimah, Guru SMA) 

Penamabda.com - Sudah hampir tiga bulan sejak virus Covid-19 dinyatakan  masuk wilayah Indonesia, penanganannya belum menunjukkan hasil yang maksimal. Banyak pertimbangan yang dilakukan oleh pemerintah justru terkesan lamban dalam menangani wabah ini. Sehingga tidak mengherankan jika jumlah penderita dan orang yang meninggal akibat virus ini dari hari ke hari semakin bertambah. Tentu saja ini sangat mengkhawatirkan. 

Langkah yang dilakukan oleh presiden dinilai ragu-ragu terutama dalam memberlakukan lockdown seperti yang dilakukan oleh banyak negara. Meskipun banyak kalangan yang mendesak tetapi pemerintah tampaknya tidak bergeming. 

Bisa diduga alasan pemerintah tidak melakukan lockdown karena tidak punya cukup nyali untuk memberi makan  rakyatnya ketika memberlakukan lockdown. 

Kebijakan karantina wilayah yang dilakukan oleh beberapa pemerintah daerah justru dihalang-halangi oleh pemerintah seperti DKI dan Brebes yang mendapat teguran dari pemerintah pusat karena melakukan lockdown daerah. Hal ini memberi kesan tidak ada koordinasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Ini yang justru menambah kepanikan di tengah-tengah masyarakat. 

Di tengah desakan publik agar pemerintah lebih tegas dalam mengendalikan sebaran virus dengan kebijakan karantina wilayah, pernyataan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, menuai kecaman publik. Ia mengatakan bahwa virus akan mereda ketika masuk musim kemarau/panas. Padahal, menurut Situs BBC Indonesia.com menyebut teori soal pengaruh cuaca terhadap ketahanan hidup virus corona belum benar-benar terbukti. 

Dapat dikatakan sampai sekarang belum ada bukti ilmiah soal kebenaran teori itu. Bahkan para pakar sudah mewanti-wanti jangan terlalu berharap virus ini akan musnah pada musim panas. 
Ironisnya, pernyataan Luhut itu, justru dibenarkan oleh Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati. Alasan Dwikora bahwa ada pengaruh cuaca dan iklim terhadap tumbuh kembang Covid-19 telah mengalami kajian dari sejumlah para ahli. 

Menurutnya Iklim tropis membuat virus lebih cepat menjadi tidak stabil sehingga penularan virus corona dari orang ke orang melalui lingkungan iklim tropis cenderung terhambat.

Padahal berdasarkan analisa seorang ilmuan komputasi dari Massachusetts Institute of Technology (MIT), Qosim Bukhari (dilansir dari The New York Times) mengatakan bahwa Korelasi antara virus corona dan iklim tak seharusnya dipakai pembuat kebijakan dan publik berpuas diri. Karena suhu yang lebih hangat memang membuat penularan virus ini kurang efektif, tetapi bukan berarti tidak ada penularan. Di udara hangat Covid-19 akan sulit bertahan hidup. Tapi bukan berarti musnah atau tidak ada. 

Mikroorganisme itu masih ada di sel makhluk hidup dan menunggu kondisi yang tepat untuk menyebarkan infeksi lagi. Badan Organisasi Kesehatan Dunia dalam rilisnya juga menyebut, tidak peduli seberapa cerah atau panas cuacanya, semua orang bisa terinfeksi Covid-19.

Herd Immunity Sangat Berbahaya 

Sejak Presiden Joko Widodo dengan tegas menolak lockdown, banyak kalangan memprediksi bahwa Indonesia akan diskenario herd immunity seperti yang dilakukan oleh Belanda dan Inggris. Mereka sengaja membiarkan populasinya terpapar dan kemudian tercipta individu yang memiliki antibodi natural (natural immunity) dalam jumlah besar sehingga transmisi penyebaran Covid-19 terputus dan akhirnya membuat Covid-19  tidak lagi tersebar. Istilahnya dikenal dengan herd immunity. 

Jika herd immunity diterapkan maka yang paling rentan dan tidak memiliki kekebalan alami akan menjadi korban yang tak terelakan. Orang lanjut usia, anak bayi dan anak-anak yang belum diberi vaksin apapun, individu yang kena HIV/AIDS, Limfoma, Leukemia, kanker sumsum tulang, gangguan limpa atau pasien kemoterapi dan radioterapi termasuk individu dengan kelainan sistem kekebalan tubuh adalah yang paling terancam dari metode herd immunity tersebut. 

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk lansia di Indonesia berkisar 10 persen. Dengan asumsi tersebut pemodelan kelompok rentan yang harus mendapat penanganan khusus mencapai 18,2 juta jiwa. Jumlah tersebut belum ditambah kelompok rentan lainnya yang memiliki penyakit bawaan seperti hipertensi, diabetes, kanker, HIV, dll. 

Sementara jika dihitung dari persentase kematian akibat COVID-19 sebesar 8,9 persen, maka Indonesia akan kehilangan sekitar 16 juta jiwa dari total 182 juta jiwa yang terinfeksi. Ini sama saja pemerintah telah mengorbankan rakyatnya. 

Cara Islam Mengatasi Wabah Corona

Sejak kasus pertama merebak di Indonesia, tampak pemerintah kebingungan untuk menerapkan strategi yang akan diterapkan. Banyak pertimbangan yang harus diambil. Terutama masalah perekonomian negara. Pemerintah masih memikirkan akan terjadi krisis ekonomi. Padahal sebelum corona datang Indonesia sdh dilanda krisis yang berkepanjangan terutama masalah ekonomi. Menelisik sikap pemerintah memang terkait dengan paradigma kepemimpinan dan sistem pemerintahan yang diterapkan (kapitalis sekuler). Negara pengekor seperti Indonesia, pada saat akan menetapkan keputusan akan terasa sulit luar biasa. 

Berbeda dengan paradigma kepemimpinan dan watak sistem Islam. Dalam Islam, kepemimpinan dinilai sebagai amanah berat yang berkonsekuensi surga dan neraka. Dia wajib menjadi pengurus dan penjaga umat. Seorang pemimpin pun dipandang seperti penggembala. Layaknya gembala, dia akan memelihara dan melindungi seluruh rakyat yang menjadi gembalaannya. Memperhatikan kebutuhannya, menjaga dari semua hal yang membahayakannya, dan menjamin kesejahteraannya hingga bisa tumbuh dan berkembang biak sebagaimana yang diharapkan. Inilah realitas sistem khilafah yang pernah mewujud belasan abad lamanya. Sistem yang tegak di atas landasan keimanan sangat berbeda jauh dengan sistem yang tegak di atas landasan kemanfaatan segelintir orang.

Sistem ekonomi Islam mempunyai otoritas terhadap berbagai sumber kekayaan untuk mengurus dan membahagiakan rakyatnya. Dengan mengelola kekayaan alam yang melimpah dan mengembalikan kekayaan itu kepada umat yang wajib dikelola oleh negara untuk dimanfaatkan oleh umat. 

Jika seluruh kekayaan alam yang ada di negeri ini diatur dengan syariat, maka negara ini menjadi negara yang kuat, mandiri dan memiliki ketahanan secara politik dan ekonomi. Bukan malah diberikan kepada asing.

Dengan demikian, negara akan dengan mudah mewujudkan layanan kebutuhan dasar baik yang bersifat individual dan publik bagi rakyatnya, secara swadaya tanpa bergantung sedikitpun pada negara lain. Sehingga saat negara dilanda wabah penyakit seperti saat ini,  penerapan Lockdown akan mudah diterapkan sebagai bagian dari pelaksanaan syariat, tanpa khawatir penolakan, tanpa halangan egoisme kelokalan dan tanpa khawatir kekurangan banyak hal. Rakyat akan merasa tenteram karena semua kebutuhannya ada dalam jaminan negara. 

Sementara tenaga medis akan bekerja dengan tenang karena didukung segala fasilitas yang dibutuhkan dan insentif yang sepadan dengan pengorbanan yang diberikan. Tidak hanya itu, riset akan dilakukan dengan cepat sehingga obat akan ditemukan dengan cepat dan tepat dan wabah pun dalam waktu cepat bisa ditaklukkan.

Inilah yang pernah terjadi di masa saat sistem Khilafah ditegakkan. Beberapa wabah yang terjadi bisa diatasi karena adanya peran aktif dan serius dari negara, sekaligus didukung oleh rakyat yang mentaati semua arahan-arahannya. Dengan demikian, amat jauh berbeda antara sistem sekuler yang sekarang diterapkan dengan sistem Khilafah ajaran Islam.