-->

Aroma Oligarki di Tengah Pandemi

Oleh: Kanti Rahmillah, M.Si.

CEO Ruangguru yang juga Staf Khusus (stafsus) Presiden Jokowi, Belva Devara, mengundurkan diri dari posisinya sebagai Staf khusus Jokowi. Belva menyatakan mundur setelah polemik keterlibatan Skill Academy by Ruangguru dalam Program Kartu Prakerja. (tribunnews.com 21/04)

Sebesar 5,6 triliun akan digelontorkan pemerintah pada proyek Kartu Prakerja. Ruangguru ditunjuk sebagai salah satu mitra resmi Kartu Prakerja. Ini bukan kali pertama Stafsus milenial di lingkaran Jokowi berkasus.

Sebelumnya, telah ada dugaan abuse of power yang dilakukan oleh Stafsus Andi Taufan Garuda Putra, yang mengirimi para camat agar bekerja sama dengan perusahaan miliknya.

Penggelontoran dana pada proyek Kartu Prakerja sebesar 5,6 triliun dinilai tidak tepat sasaran dan minus rasa empati. Pasalnya, pelatihan kerja secara online tersebut tidak tepat dilakukan pada kondisi saat ini.

Lesunya perekonomian dunia termasuk Indonesia telah menciptakan gelombang PHK yang besar-besaran. Banyak industri yang berhenti produksi lantaran permintaan yang menurun tajam. Lantas, perusahaan mana yang akan merekrut karyawan baru?

Dilansir dari detik.com, Pandemi virus Corona (Covid-19) membuat semakin banyak buruh yang dirumahkan dan kena pemutusan hubungan kerja (PHK). Totalnya jika digabungkan telah mencapai 1.943.916 orang dari 114.340 perusahaan.

Menurut Data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), rinciannya adalah pekerja sektor formal yang dirumahkan dan di-PHK ada sebesar 1.500.156 orang dari 83.546 perusahaan.

Kemudian ditambah pekerja sektor informal yang ikut terdampak virus Corona sejumlah 443.760 orang dari 30.794 perusahaan. Bahkan menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, ekonomi Indonesia di tengah wabah diprediksi akan menambah jumlah pengangguran baru. Sri menyampaikan skenario paling buruk adalah penambahan angka pengangguran mencapai 5,2 juta orang.

Sehingga yang dibutuhkan masyarakat saat ini bukanlah pelatihan, melainkan bantuan langsung untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka. Agar mereka bisa menjalani masa social distancing ini dengan terpenuhi kebutuhan pokoknya. Sehingga sanggup melewati masa-masa kritis ini.

Anggaran Penanggulangan wabah, Memihak Korporasi

Defisit APBN telah menjadikan pemerintah pontang-panting mencari sumber pendanaan dalam upaya penanggulangan wabah ini. Pemangkasan demi pemangkasan terus dilakukan di banyak sektor termasuk memotong tunjangan guru hingga sebesar 3,3 Triliun. Sungguh tak mengenal empati, di saat kondisi pandemi gaji guru malah dipangkas.

Dilansir dari bisnis.com, bukan hanya gaji guru yang dipotong, bahkan Sri Mulyani berencana menggunakan semua Dana Abadi Negara untuk menanggulangi dampak Corona, termasuk Dana Abadi Pendidikan. Hal demikian dilakukan untuk membiayai defisit anggaran yang diperkirakan mencapai 5,07 persen PDB atau sekitar Rp 853 triliun.

Bukan hanya sektor pendidikan, dana haji pun turut dibidik dalam pemangkasan. Anggota Komisi VIII DPR RI dari Fraksi Demokrat Nanang Samodra mengusulkan penggunaan dana haji karena hingga saat ini belum ada tanda-tanda Arab Saudi membuka penyelenggaraan haji. (cnnindonesia.com 13/04)

Bahkan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, menyampaikan salah satu alasan pembebasan 35ribu narapidana adalah untuk penghematan dana, yaitu sebesar 260 miliar. Di tengah kesulitan masyarakat terhadap pemenuhan hajat utamanya, pemerintah malah memangkas dana yang hampir kesemuanya berhubungan dengan rakyat.

Sedangkan pemindahan ibu kota baru yang aroma bisnisnya lebih kental daripada kebermanfaatan pada umat, sebesar 2 triliun tak disentuh. Begitu pun anggaran infrastruktur sebesar 419,2 triliun hanya sedikit saja yang dialokasikan pada penanggulangan wabah. Padahal belanja infrastruktur dan pemindahan ibu kota bisa ditunda.

Dari sini bisa kita lihat bagaimana kebijakan pemerintah yang cenderung berpihak pada korporasi. Lihat saja bagaimana Sri Mulyani mengizinkan ekspor APD di tengah-tengah para tenaga medis yang kesulitan mendapatkannya.

Rakyat dibiarkan berjuang sendiri di tengah wabah yang entah sampai kapan akan berakhir.  Pemerintah lebih memperhatikan keselamatan ekonomi daripada keselamatan nyawa rakyatnya.

Padahal, permasalahan utamanya adalah wabah corona. Adapun perekonomian yang carut marut adalah dampak. Maka seharusnya, pemerintah menyelesaikan permasalahan utamanya yaitu mengatasi penyebaran virus corona. Setelah wabah ini berakhir, perekonomian pun akan kembali normal.

Oligarki di Balik Penanganan Corona

Perppu no 1 tahun 2020 tentang kebijakan keuangan negara dan stabilitas keuangan untuk penanganan Pandemi Covid-19 telah dikeluarkan pemerintah per 31 maret 2020. Kehadirannya membawa polemik di masyarakat terutama adanya dugaan kekebalan hukum dari penyelenggara negara yang tertuang pada pasal 27.

Pasal-pasal tersebut menyatakan bahwa biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk menyelamatkan perekonomian dari krisis bukan kerugian negara, pejabat pemerintah terkait pelaksanaan Perppu tidak dapat dituntut perdata ataupun pidana jika melaksanakan tugas berdasarkan itikad baik, dan segala keputusan berdasarkan Perppu bukan objek gugatan ke peradilan tata usaha negara. (kompas.com 13/04)

Dilansir dari tempo.com, Mantan Penasehat KPK Abdullah Hehamahua mengatakan  bahwa Perppu tersebut sudah terkategori korupsi politik. Korupsi politik adalah korupsi yang dilakukan pihak-pihak terkait melalui undang-undang atau kebijakan yang seakan-akan bertujuan baik tetapi hakikatnya untuk kepentingan golongan tertentu. Alias kepentingan konglomerat dan elite politik busuk yang serakah dalam mempertahankan kekuasannya.

Semakin terasa kentalnya kepentingan oligarki saat kita melihat bahwa sebenarnya instrumen dalam penanggulangan bencana sudah ada, yaitu UU nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, UU nomor 4 Tahun 1988 tentang wabah dan penyakit menular, dan UU nomor 6 tahun 2018 tentang karantina. Mengapa membuat instrumen baru?

Wajar akhirnya Amin Rais mengajukan permohonan gugatan Perppu tersebut pada MK, dengan niat tak ingin lagi Kasus BLBI dan Century terulang kembali. Namun begitulah pejabat dalam demokrasi. Mereka duduk di kursi jabatan semata untuk kepentingan golongannya.

Tak peduli korban Covid-19 terus berjatuhan, bahkan korban kelaparan mulai berdatangan, penguasa malah menutup mata dan hatinya.

Dari sini bisa kita simpulkan bahwa penguasa dalam sistem demokrasi, selain bermental koruptor, juga karena sistem ini mendukung lahirnya perampok negara dan sekaligus melindungi mereka.

Trias politika yang membagi kekuasaan menjadi tiga adalah ilusi, nyatanya mereka bersatu membentuk kekuatan dalam rangka menjaga kepentingan mereka. Mereka para penguasa bergandengan tangan dengan para konglomerat untuk menggarong uang rakyat.

Oligarki kekuasaan begitu kental terendus pada kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan. Begitu pun pada masa pandemi. Jangankan rasa empati yang muncul di benak para penguasa, yang ada mereka memanfaatkan pandemi ini untuk kepentingan mereka.

Anggaran Penanggulangan Bencana dalam Islam

Berbeda halnya dengan Islam, yang seluruh kebijakannya berfokus pada kemaslahatan umat. Keberadaan penguasa semata untuk mengurusi kebutuhan umat, tak memandang apakah dia kaya ataupun miskin, bermanfaat ataukah tidak. Karena setiap individu telah dijamin keberlangsungan jiwanya.

Keselamatan nyawa adalah yang utama, jauh dibandingkan dengan keselamatan ekonomi. Tentu, penguasa dalam Islam tidak akan membolehkan para pengusaha mengekspor APD (Alat Perlindungan Diri) yang dibutuhkan para tenaga kesehatan (nakes) dalam negeri. Walau benefit ekspor jauh lebih besar daripada dipakai oleh nakes dalam negeri.

Anggaran pun akan memprioritaskan keselamatan jiwa dan sesuai dengan syariat. Bukan dari utang yang mengandung riba atau memangkas dana kemaslahatan umat, seperti gaji guru, dana haji dan lainnya.

Dalam syariat Islam, sudah diatur bagaimana negara Khilafah mendapatkan sumber pemasukan untuk penanganan bencana, salah satunya adalah pos kepemilikan umum.

Barang tambang migas, mineral, batubara akan dikelola negara dan hasilnya menjadi milik umum. Keuntungan yang diperoleh dari pengelolaan ini sebagian akan dialokasikan untuk menangani bencana.

Selain pos kepemilikan umum, ada sumber lain yaitu fa’iy (harta rampasan perang), kharaj (Pungutan atas tanah kharajiah) dan pos dharibah (pungutan atas kaum muslim). Dharibah berbeda dengan pajak dalam sistem kapitalisme.

Dharibah hanya diambil dari warga yang kaya saja, berbeda dengan pajak yang dijadikan urat nadi perekonomian bangsa. Bahkan nonmuslim tidak dipungut dharibah.

Melihat realitas Indonesia yang melimpah ruah kekayaannya, kepemilikan umum seperti barang tambang, migas, mineral dan batubara begitu melimpah, maka sumber pendanaan untuk menanggulangi wabah sudah cukup dari pos kepemilikan umum ini, tanpa harus ada pungutan pada warga negara yang kaya.

Kondisi ini hanya bisa direalisasikan jika tata kelola negara secara keseluruhan sesuai dengan syariat Islam, yaitu sistem Khilafah yang sesuai dengan metode kenabian.

Sumber : MuslimahNews.com