-->

Racun Kesetaraan Gender Dibalik Pernikahan Dini

Oleh : Nur Syamsiyah

Tahukah kawan, bahwa 8 Maret lalu adalah International Woman’s Day? Para aktivis perempuan termasuk kaum millenial di dalamnya turut menggunakan momentum ini untuk mengevaluasi dan menguatkan komitmen perjuangan melawan ketidakadilan gender yang dinilai belum berbuah keberhasilan.

Kesetaraan gender terus digaungkan seiring dengan banyaknya kasus kekerasan dan kejahatan seksual yang menimpa kaum perempuan. Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2019 menunjukkan jumlah laporan kekerasan terhadap perempuan terdapat 406.178 kasus pada tahun 2018 (naik dari tahun sebelumnya sebanyak 348.466 kasus).

Kasus paling tinggi di ranah privat/personal sebanyak 9.637 kasus, diikuti ranah publik/komunitas sebanyak 3.915 kasus dan ranah negara 16 kasus. Sementara data Pengadilan Agama sejumlah 392.610 kasus adalah penyebab perceraian yang diantaranya terdapat kekerasan terhadap istri.

Salah satu faktor perceraian tersebut diantaranya adalah karena adanya pernikahan usia dini. Sebab secara mental, kondisi psikologis yang masih dinilai belum siap, fisik belum matang dan ekonomi belum kokoh. Sebagaimana alasan tersebut sering dilontarkan oleh berbagai pihak terkait dampak buruk yang dihasilkan dari pernikahan dini.
Melihat fakta yang ada, Anngota Komnas Perempuan, Masruchah merekomendasikan agar batas minimal usia pernikahan perempuan ditetapkan berdasarkan kematangan kesehatan reproduksi. Dimana usia ideal perempuan menikah adalah ketika ia berusia 20 tahun dan usia laki-laki 19 tahun.

Masruchah juga mengatakan, pernikahan dini dapat menyebabkan anak yang dilahirkan cacat karena alat reproduksi calon ibu belum sempurna, hal itu sekaligus meningkatkan risiko kematian ibu pada saat melahirkan. Selain itu, meskipun ibu dan bayi selamat dalam proses persalinan, namun kondisi psikologis ibu yang masih anak-anak belum siap untuk mendidik anak mereka sendiri menjadi orang dewasa yang berkualitas.

Bahaya Kesetaraan Gender

Pelarangan pernikahan usia dini bukan semata-mata sebuah pelarangan. Ada udang dibalik batu. Pada dasarnya pernikahan anak di dunia Islam selalu menjadi sorotan media liberal dan juga LSM gender. Pernikahan usia anak ini disinggung dalam forum global, antara lain agenda pembangunan berkelnajutan pasca Millenium Development Goals (MDGs) yang kemudian diperbarui menjadi Sustainable Development Goals (SDGs).

Salah satu fokus SDGs adalah terwujudnya kesetaraan gender yang menekankan pada terpenuhinya hak-hak perempuan dan mengakhiri segala bentuk diskriminasi, kekerasan, dan semua praktik berbahaya seperti pernikahan dini yang kerap terjadi pada perempuan. Masih maraknya pernikahan usia anak mencerminkan belum terwujudnya kesetaraan gender.

Kesetaraan gender menjadi target dari musuh-musuh Islam yang sedang melemahkan generasi muslim melalui generasi yang lambat memiliki kematangan berfikir dan kesiapan memikul tanggungjawab yang lebih besar.

Terlihat dari undang-undang perkawinan yang berlaku saat ini, telah memundurkan target kedewasaan berfikir seorang anak, dari usia akil baligh menjadi 20 tahun.
Pelarangan usia dini menjadi suatu hal penyebab free sex di kalangan millenial. Sebab banyak dari mereka memilih jalan melakukan hubungan seks untuk mendapat restu dari kedua orang tua. 

Pada bidang pendidikan sekalipun, mengajarkan kesehatan reproduksi juga bukan menjadi solusi dari maraknya free sex. Kesehatan produksi justru semakin memberi stimulan dalam melakukan free sex dengan mengajari cara ‘berseks aman’. Di sisi lain, tidak selektifnya menggunakan gadget serta candu pada games on-line membuat kaum millenial pun bisa terstimulasi melakukan pornoaksi atau kekerasan.

Agenda Kesetaraan Gender dan Liberalisme

Agenda kesetaraan gender menargetkan negeri-negeri muslim untuk merusak para generasi millenial. Setidaknya terdapat dua motif yang melatarbelakangi arus kesetaraan gender ini :

Motif ekonomi, karena pernikahan dini menyebabkan kaum muslimah tidak produktif bekerja, yang diungkapkan oleh pemerintah bahwa pernikahan dini bisa mengganggu rencana pemerintah dalam melakukan pembangunan yang berkelanjutan (SDGs) dan menghambat pertumbuhan ekonomi.

Motif ideologis, yakni mendiskreditkan syariat Islam dengan mengopinikan bahwa ajaran Islam mengekang kebebasan anak perempuan melalui pernikahan usia dini.
Padahal, problem yang muncul dari pernikahan dini di dunia Islam adalah karena diterapkannya sekularisme – liberalisme. Sistem pergaulan yang rusak dan bebas menjadikan para generasi hilang arah. Minimnya perhatian dan kesungguhan penguasa untuk mengatasi moral generasi juga bisa dilihat dari kebijakan-kebijakan yang kurang berorientasi pada penyelamatan generasi. Sebagaimana longgarnya aturan pemerintah menyangkut informasi dan media massa yang menjadi jalan mulus untuk mengakses produk-produk pornoaksi dan pornografi. Sementara, sistem pendidikan pun makin dijauhkan dari aturan-aturan agama yang justru memicu berkembangnya orientasi seksual daripada daya nalar dan kecerdasan spiritualnya.

Sistem hukum yang diterapkan pun sama sekali tak berorientasi pencegahan apalagi berdampak penjeraan bagi para pelaku kejahatan. Terlebih, definisi kejahatan dalam sistem hukum sekuler yang diadopsi pemerintah ini tak mencakup di dalamnya laku seks bebas dan maksiat lainnya. 

Mulia Dalam Sistem Islam

Islam merupakan agama sekaligus pengatur kehidupan, termasuk di dalamnya juga mengatur tentang pernikahan. Memang nikah usia dini tidak selalu menjadi solusi karena situasi dan tiap orang pasti berbeda-beda. Tapi pernikahan menjadi salah satu penjaga kesucian dan kehormatan untuk terhindar dari amoralitas pergaulan bebas.

Pemerintah pun seharusnya membina kedewasaan calon mempelai, yaitu memahamkan tanggungjawab tentang pernikahan dan kehidupan berumahtangga. Pembinaan kedewasaan akan berpengaruh pada kematangan berpikir dan keberanian bertanggungjawab. Karena penilaian dewasa bukan sekedar usia. 

Bagi muslim, awalnya mereka harus dipahamkan bahwa usia baligh menjadi patokan dimulainya pembebanan pelaksanaan hukum syariat Islam. Pada masa inilah mulai berlaku standar pahala dan dosa pada seorang hamba. Karenanya, manusia muslim yang dewasa adalah mereka yang harus siap menjadi hamba Allah SWT seutuhnya, terikat secara kaffah pada aturan-Nya.

Negara juga harus berperan aktif dalam memberikan lingkungan yang kondusif agar rakyat tidak mengkonsumsi produk-produk yang dapat membangkitkan munculnya naluri seksual. Sistem pendidikan Islam juga akan membantu mencetak generasi yang berkepribadian Islam melalui kurikulum-kurikulum pendidikan yang berlandaskan aqidah Islam.

Dengan demikianlah, maka tatanan kehidupan akan lebih mudah dijalani jika ditunjang dengan sistem kehidupan yang berlandaskan pada aturan yang bersumber dari Allah Sang Maha Pengatur Kehidupan. 

Allahu a’lam