-->

Perempuan ; Diberdayakan Atau Diperdaya?

Oleh : Norhidayani (Pegiat Dakwah Muslimah)

Di tahun 2020 ini Hari Perempuan Sedunia mengangkat isu #EachforEqual. Dalam situs resmi International Women's Day mengungkapkan alasan mengapa isu tsb kembali dibahas. "Dunia yang setara adalah dunia yang memungkinkan untuk melakukan apapun. Kesetaraan bukan hanya isu wanita tapi juga isu bisnis. Kesetaraan gender sangat penting untuk perkembangan ekonomi dan masyarakat. Dunia yang setara secara gender bisa jadi lebih sehat, kaya dan harmonis." (news.detik.com 08/03/2020).

Kesetaraan gender memang menjadi point penting bagi para feminis agar tercipta perbaikan kualitas hidup untuk para perempuan. Berbagai propaganda dan jargon ‘manis’ selalu dilontarkan para pegiatnya. Ungkapan semisal “hanya perempuan yang tahu persoalan perempuan’, anak lelaki dan anak perempuan adalah sama, jangan dibeda-bedakan’ membuat gerakan ini disambut gempita di berbagai negara, termasuk di tanah air.
 
Gerakan ini mampu meyakinkan banyak kaum hawa bahwa mereka selama ini tertindas dan harus bangkit melawan hegemoni kaum pria. Merebut kembali hak mereka dan berlari sama kencang dengan kaum pria. Maka tak heran, akhirnya lahir berbagai agenda pemberdayaan perempuan di sektor publik termasuk dalam ekonomi.

Persoalan berikutnya, apakah lantas kebebasan ini memberikan kehidupan yang lebih baik bagi kaum wanita, seperti yang dicita-citakan feminis dan followernya? Benarkah mereka telah mendapatkan apa yang mereka impikan saat bisa berkiprah lebih luas di sektor publik?

Mimpi kesetaraan dan sejahtera, bullshit !
 
Perjalanan waktu justru memberikan pelajaran penting, ketika mereka harus membayar harga yang teramat mahal bagi kondisi pahit yang dialami  kaum wanita dan anak-anak mereka. Fakta menunjukkan bahwa ketika perempuan semakin banyak di sektor publik, perannya sebagai ibu dan manajer rumah tangga kian terpinggirkan. Tergerusnya peran sebagai ibu dan manajer ini berdampak buruk pada aspek keluarga dan sosial kemasyarakatan. 

Kurangnya kasih sayang dan pengasuhan seorang ibu berefek maraknya kasus penelantaran anak. Berdasarkan data Direktur rehabilitasi Sosial Anak pada Kementrian Sosial, hingga Agustus 2017 jumlah anak jalanan di Indonesia mencapai angka 16.290 orang (lontar.id). Selain itu, kekurangan kasih sayang dan konflik sosial antara remaja menjerumuskan remaja pada pergaulan bebas dan narkoba. 

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat dari 87 juta populasi anak di Indonesia, sebanyak 5,9 juta di antaranya menjadi pecandu narkoba (okezone.com). Sementara untuk kasus aborsi di Indonesia setiap tahun mencapai 2,3 juta dengan 30 persen dilakukan oleh para remaja (kompas.com)
Beratnya tekanan ekonomi juga memaksa perempuan harus bekerja keras. Ternyata berefek buruk pada tingginya kasus kekerasan pada perempuan, gugat cerai di pihak perempuan dan depresi. Ketua Komnas Perempuan Azriana mengatakan ada 348.446 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dicatat oleh beberapa lembaga terkait pada 2017. KDRT tercatat menjadi kasus dengan angka paling tinggi, yaitu 335.062 kasus (detik.com, 7/3/2018). Kasus kekerasaan dalam rumah tangga menjadi pemicu ketidakharmonisan rumah tangga. 

Ujungnya tren perceraian pun kian tinggi. Di sepanjang tahun 2019 tadi saja hampir setengah juta pasangan suami istri di Indonesia melakukan perceraian. Dari jumlah itu, mayoritas perceraian terjadi atas gugatan istri. (detik.com,28/2/2020)
Beban ganda dalam rumah tangga dan pekerjaan membuat perempuan rentan terkena depresi. Dari data terakhir, pemerintah mencatat ada 19 juta orang yang mengalami depresi berat atau gangguan kejiwaan. Kebanyakan dari mereka adalah perempuan karena mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). 

Bila ini harga yang harus dibayar oleh keluarga dan masyarakat atas emansipasi, maka sungguh terlalu mahal! Sayangnya, tidak banyak perempuan bahkan muslimah yang menyadari bahaya yang mengancam diri dan keluarga mereka sendiri. Sebagian dari mereka justru larut dalam keasyikan di sektor publik dan dunia mereka.

Sungguh solusi yang ditawarkan kaum feminis, sebenarnya jauh panggang dari api. Tidak membongkar akar persoalan wanita dan juga masyarakat. Karena buruknya kondisi yang dialami perempuan juga dialami segenap komponen masyarakat. Penyebab keterpurukan masyarakat bukan saja kaum perempuan dan anak-anak tapi lelaki juga merasakan karena buah penerapan ideologi kapitalisme dan sistem demokrasi.
 
Dalam sistem ini, kebebasan warga Negara dijamin dengan seluas-luasnya. Termasuk di dalamnya kebebasan kepemilikan, dimana siapa saja boleh memiliki dan menguasai apa saja selama punya kekuatan modal dan koneksi kekayaan untuk mendapatkannya. Dengan doktrin ini siapa saja yang posisinya lemah akan tertindas karena tak bisa mengakses kekayaan. Siapa saja mereka? Ya termasuk anak-anak dan kaum perempuan. Para bapak yang lemah juga merasakan imbasnya. Jadi tidak ada kaitannya dengan lelaki vs perempuan . Atau siapa mendominasi siapa. Karena pangkal persoalannya adalah kapitalisme telah melegalkan si kuat menindas yang lemah. 

Oleh karena itu, kesetaraan pria-wanita yang digembar-gemborkan dalam demokrasi dan kapitalisme adalah palsu alias omong kosong belaka. Kaum wanita tetap saja dianggap warga kelas dua, diupah lebih rendah dan dieksploitasi untuk dijajakan seperti barang dagangan. Dulu mereka dilecehkan, sekarang dengan “suka rela” dijajakan. Dahulu didiskriminasi, sekarang “mau-mau saja” dieksploitasi.  Bukankah sama saja? Inikah makna pemberdayaan yang digemborkan kini? Justru yang nampak adalah para perempuan diperdaya agar mau terjun ke sektor publik, untuk bisa dimanfaatkan dengan gampang oleh para pemilik modal (kapitalis).

Islam Justru Memuliakan Perempuan

Ini berbeda dalam Islam. Jauh-jauh hari dien yang mulia ini telah mengingatkan kedudukan yang sama antara pria dan wanita berdasarkan keimanan, amal dan ketakwaannya. Kedua jenis manusia ini dalam pandangan Islam adalah mitra dan penolong satu dengan yang lain, tanpa ada pengecualian. Di ‘mata’ Allah Swt sama. Firman-Nya : 

 “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. “ (TQS. Al Hujurat : 13).

Kemudian ada beberapa hal yang mereka dibedakan. Karena adanya karakteristik yang berbeda. Kaum wanita tidak diwajibkan mencari nafkah, para lelakilah yang harus melakukannya. Apakah itu ayah mereka, saudara kandung yang lelaki atau suami mereka. Kewajiban ini bukan sekedar anjuran, tetapi memilki daya ikat dan daya tuntut. Pihak istri dapat menuntut hak mereka ke pengadilan seandainya para suami mengabaikannya. Negara berkewajiban mengingatkan para lelaki untuk berlaku adil dan memberikan nafkah yang layak terhadap keluarga mereka. Seandainya kaum wanita terlantar akibat ketiadaan pemberi nafkah bagi mereka, maka Negara berkewajiban untuk memberikan jaminan kehidupan bagi mereka. Karena salah satu fungsi Negara dalam Islam adalah melakukan hal itu.

Dalam Islam, status wanita adalah ibu rumah tangga dan perhiasan yang harus dijaga. Serangkaian hukum Islam wajib diberlakukan untuk memberikan perlindungan secara menyeluruh untuk kaum wanita. Adanya kewajiban menutup aurat, sanksi bagi para pezina, juga pemerkosa adalah salah satu bentuk perlindungan yang diberikan terhadap kaum perempuan.

Begitulah pengaturan Islam terkait peran laki-laki dan perempuan. Sekali lagi, satu-satunya jalan yang benar untuk meraih kemuliaan, baik untuk wanita atau pria, adalah Islam. Dengan menerapkan syariah dalam bingkai sistem Islam (khilafah).  

Lembaran-lembaran sejarah menjadi bukti nyata keberhasilan sistem Islam mengangkat manusia dari jahiliyah (kebodohan) kepada kemuliaan dan kebahagiaan hakiki. Bukan dengan memperjuangkan kesetaraan bagi perempuan (EachforEqual) dalam bingkai sistem bobrok kapitalis liberal.

Sungguh “.. tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.“ (TQS. Al Ahzab : 36). 

Wallahu’alam[]