-->

Panas Dingin Iuran BPJS Kesehatan, Negara Nihil Peran





Oleh: Chusnatul Jannah
Keputusan Mahkamah Agung yang membatalkan Peraturan Presiden No. 75/2019 yang mengatur kenaikan iuran BPJS Kesehatan, dianggap menjadi “oase” di tengah keringnya kepedulian penguasa kepada rakyat.
Juru Bicara MA, Andi Samsan Nganro, mengatakan putusan ini sudah keluar sejak tanggal 27 Februari lalu. Sebelumnya Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia mengajukan judicial review terhadap Pasal 34 ayat 1 dan 2 Perpres 75 tahun 2019.
Menanggapi keputusan ini, Menteri Keuangan, Sri Mulyani, menyayangkan keputusan MA tersebut lantaran menurutnya dapat memengaruhi ketahanan lembaga asuransi negara.
Hingga saat ini, BPJS Kesehatan tercatat memiliki utang jatuh tempo sebesar Rp17 triliun kepada mitra seluruh Rumah Sakit di Indonesia. Utang itu jatuh tempo sejak 31 Desember 2019. Belum utang lainnya yang mencapai lebih dari Rp21,16 triliun atau sekitar 82% dari total utang pelayanan kesehatan.
Demi menutupi defisit BPJS, pemerintah menyuntikkan dana sebesar Rp13,5 triliun. Namun, kerugian BPJS Kesehatan seolah tak sanggup ditutup dengan suntikan dana tersebut. Imbasnya, pemerintah melalui Sri Mulyani akan mendiskusikan lebih lanjut terkait dana yang telah dibayarkan ke BPJS kesehatan.
Dalam praktiknya, pembatalan kenaikan iuran BPJS Kesehatan tak semudah itu diterapkan. Pasalnya, salinan putusan MA tersebut diklaim belum diterima oleh pihak Rumah Sakit di beberapa daerah. Peserta mandiri tetap mengeluhkan karena ia harus membayar iuran versi kenaikan per 1 Januari 2020 lalu.
Sejak muncul pada 2013, keberadaan BPJS Kesehatan sudah menimbulkan persoalan. Mulai dari premi yang harus dibayar peserta, layanan kesehatan yang kurang layak atau tidak maksimal, serta defisit yang kian membengkak.
Rakyat diminta bayar premi sebagai jaminan kesehatan. Saat ‘jaminan’ itu dipakai berobat, bukannya layanan terbaik yang didapat, justru kesulitan yang dihadapi. Di antaranya: Sistem administrasi kesehatan yang ribet, layanan minim, dan perlakuan kurang nyaman.
Padahal, layanan kesehatan adalah hak rakyat yang wajib dipenuhi negara. Tak boleh dikomersialkan atas nama jaminan kesehatan. Yang namanya jaminan itu pasti terjamin. Sementara BPJS Kesehatan menjamin apa?
Sudahlah dibebani bayar premi, tak ada jaminan lagi. BPJS Kesehatan layaknya ladang bisnis.
Alhasil BPJS Kesehatan tak ubahnya asuransi dengan wajah baru. Slogan ‘Dengan Gotong Royong Semua Tertolong’ seperti pemanis di muka saja. Namun, realitas tak seindah slogannya. Jika dikatakan gotong royong, harusnya ada kerelaan hati bagi peserta untuk berbagi iuran dengan sesama.
Nyatanya iuran itu malah dipatok sedemikian rupa hingga naik dua kali lipat. Tak semua pengguna BPJS Kesehatan itu tertolong. Aktualnya, merekalah korban ‘todong’.
Selain untuk tutupi defisit, iuran naik dimaksudkan agar BPJS mengalami untung hingga Rp17 triliun. Layanan kesehatan sepertinya tak masuk hitungan. Hitung-hitungan untung-rugi ini persis watak kapitalis. Layaknya pedagang yang “menjual” jaminan kesehatan kepada “pembeli”, yaitu rakyat. Hidup dengan sistem negara ala kapitalis memang menyesakkan.
Sejatinya, kesehatan adalah kebutuhan dasar yang wajib dipenuhi negara. Bukan malah dikapitalisasi atas nama jaminan. Kalaulah benar-benar jaminan, seharusnya tak ada yang namanya pungutan.

Jaminan Kesehatan Nasional vs Jaminan Kesehatan dalam Islam

Hal ini tentu berbeda dengan konsep jaminan ala Islam. Dalam Islam, kesehatan, pendidikan, sandang, pangan, dan papan adalah kebutuhan dasar masyarakat. Negara wajib memenuhinya tanpa kompensasi. Kebutuhan pokok ini akan menjadi perhatian utama.
Kesehatan merupakan salah satu layanan yang wajib dipenuhi negara kepada rakyatnya. Ada beberapa perbedaan mendasar jaminan kesehatan dalam kapitalisme dengan Islam.

Pertama, definisi jaminan.

Dalam Islam makna jaminan diartikan sesuai teori dan fakta. Jika memang negara wajib menjamin kesehatan rakyat, artinya negara bertanggung jawab penuh memberi jaminan seluruhnya untuk rakyat. Negara tidak akan memungut biaya pada perkara yang sudah disebut dengan ‘jaminan’.
Jaminan itu benar-benar terealisasi secara nyata. Sementara dalam kapitalisme, penggunaan kata ‘jaminan’ hanyalah kamuflase atau pemanis semata. Kalaulah benar-benar jaminan, pungutan itu takkan diberlakukan pada rakyat.
Kata ‘jaminan’ dan ‘gotong royong’ seolah menjadi sihir yang mampu menyilaukan rakyat. Padahal sebenarnya, jaminan kesehatan ala kapitalis sendiri hanyalah wujud lain dari asuransi. Tidak benar-benar menjamin.

Kedua, dalam hal pelayanan kesehatan, Islam dan kapitalisme bertolak belakang.

Dalam Islam, kesehatan adalah kebutuhan dasar bagi rakyat. Maka, layanan yang diberikan haruslah semaksimal dan seoptimal mungkin karena hal itu merupakan kewajiban negara sebagai raa’in (pengurus rakyat) dan hak warga negara mendapat kesehatan layak.
Adapun dalam kapitalisme, tak ada kamus hak dan kewajiban di dalamnya. Lebih tepatnya, negara dan rakyat bagai produsen dan konsumen. Mau dapat layanan, bayar. Satu-satunya hal yang dipertimbangkan hanyalah untung-rugi. Tak ayal, BPJS Kesehatan menjadi ajang bisnis kaum kapitalis. Apa saja yang menghasilkan keuntungan, dengan segala cara akan mereka raih. Termasuk kapitalisasi di dunia kesehatan.
Sebagaimana yang terjadi pada alat tes Corona (Covid-19) yang diimpor salah satu BUMN. Jika rumah sakit mau mendapatkannya, mereka harus membeli meski harganya dibuat murah. Jadi tetap saja tidak gratis. Padahal alat kesehatan adalah salah satu fasilitas kesehatan yang wajib disekdiakan negara.

Ketiga, dalam hal penyelenggara fasilitas kesehatan.

Dalam hal ini, Islam memandang penyelenggaraan fasilitas kesehatan adalah negara. Negara wajib memberi pelayanan, ketersediaan alat, hingga penggajian yang memadai pada tenaga medis. Sementara dalam kapitalisme, tak ada batasan siapa penyelenggara layanan kesehatan.
Sistem ini bahkan memberi kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun menjadi penyelenggara layanan kesehatan. Tak terkecuali swasta. Negara yang menganut sistem kapitalisme justru akan membuka peluang bagi swasta menanamkan modalnya dalam bidang kesehatan.
Dalam hal ini, kesehatan adalah salah satu komoditas bisnis berbasis profit. Meski negara harus menyerahkan tanggung jawab pengurusan umat kepada swasta.
Dengan pemberlakukan kapitalisme di bidang kesehatan dan lainnya, negara hanya bertindak sebagai regulator dan fasilitator. Pembuat kebijakan yang mengakomodasi kepentingan kaum kapitalis. Tak heran bila banyak pihak menilai, daripada membebani, lebih baik BPJS Kesehatan membubarkan diri.
Dalam tataran negara, pelayanan kesehatan memang tanggung jawab negara. Karena memang sejatinya negaralah yang memiliki kendali penuh atas pelayanan dan penyediaan fasilitas kesehatan rakyat.
Dalam hal ini, penyelenggaraan penuh atas kesehatan rakyat oleh negara hanya bisa diwujudkan dengan penerapan sistem Islam dalam bingkai Khilafah. Selama asas bernegara masih mengekor pada kapitalisme, jangan harap ada perubahan atas layanan kesehatan.
Tanpa pergantian sistem, defisit itu akan terus berlanjut. Tanpa kepemimpinan yang amanah, rakyat akan terus menerus menderita. Sudah saatnya umat membumikan kembali sistem Khilafah sebagaimana janji Allah dan Rasul-Nya. Dengan begitu, jaminan kesehatan benar-benar dapat diterapkan secara utuh dan menyeluruh.
______
Sumber : MuslimahNews.com