-->

Menyoal Fenomena "panic buying" Karena Wabah Covid-19

Oleh : Ummu Farras (Aktivis Muslimah)

Belakangan ini, Indonesia digemparkan dengan pengumuman dari Presiden Joko Widodo bahwa ada dua orang warga Depok yang terinfeksi virus corona. Tak pelak, informasi ini menimbulkan kekhawatiran dan rasa panik orang-orang dari berbagai wilayah di Indonesia. Terbukti, sejak pengumuman itu, orang berbondong-bondong membeli masker dan hand sanitizer sebagai alat perlindungan dari penyebaran virus corona. Bahkan hingga kini permintaan masker melonjak drastis dan mengakibatkan harga masker meroket di pasaran.

Kepanikan tak hanya sampai disitu, warga lalu berbondong-bondong pula membeli berbagai jenis makanan untuk stok di dalam rumah seperti beras, mie instan, dan makanan lainnya, sehingga menyebabkan stok di pusat perbelanjaan habis. Fenomena "panic buying" ini sudah terjadi di sejumlah pusat perbelanjaan di wilayah Jabodetabek.

Dilansir dari CNNIndonesia.com, Warga berbondong-bondong membeli bahan-bahan pokok (sembako) setelah kabar dua pasien positif terinfeksi virus corona yang kini dirawat di RSPI Sulianti Saroso. Kepanikan membuat warga memborong beras, telur, mie instan, air di Food Hall, Mal Kelapa Gading.

Dilansir dari ANTARA, fenomena panic buying yang dialami oleh warga Indonesia wajar terjadi. Melihat sejumlah negara maju juga melakukan hal yang sama. Menurut seorang pengamat sosial, Devie Rahmawati, perilaku itu muncul karena masyarakatnya tidak mendapatkan informasi yang utuh mengenai virus corona (Covid-19) terutama bagaimana mencegah atau mengatasinya. Masyarakat lebih banyak menerima informasi bahwa penderita corona akan meninggal dunia. Masyarakat pun tak mendapatkan informasi tentang cara mengatasi dan mencegah virus itu. Sehingga yang ada hanya rasa ketakutan dan panik.

Fenomena panic buying ini menunjukkan tingginya rasa individualisme di kalangan masyarakat. Setiap orang hanya memikirkan kelangsungan hidupnya masing-masing. Tak peduli sesama manusia, asal dirinya bisa bertahan dan selamat. Alam sekularisme yang memisahkan antara peranan Agama dari kehidupan ini, telah menggerus rasa kemanusiaan, tak ada empati apalagi rasa simpati terhadap sesama. Tak adanya penanaman dan pembinaan terhadap akidah dan keimanan masyarakat oleh negara, menjadikan masyarakat yang bersifat wahn (cinta dunia) dan takut mati. Apapun dilakukan demi kelangsungan hidup masing-masing. Meskipun harus mengorbankan saudara sendiri.

Selain itu, kepanikan yang melanda negeri ini juga dikarenakan tak adanya solusi menyeluruh dari pemerintah RI untuk membendung ganasnya penyebaran Covid-19 ini. Solusi yang diberikan pemerintah RI cenderung bersifat parsial. Hal ini terlihat dari solusi yang diberikan Presiden Jokowi yaitu dengan menyiapkan 100 lebih rumah sakit dengan fasilitas ruang isolasi standar internasional. Sedangkan, di tengah gemparnya masyarakat terhadap adanya kasus suspect Covid-19 pada dua orang di Depok, pemerintah tetap welcome dan tak melarang masuknya WNA asing ke dalam negeri. Padahal jelas, adanya kontak dengan WNA, merupakan salah satu jalan masuk penyebaran Covid-19 ke dalam negeri. Buktinya dua korban suspect Covid-19 di Depok sempat ada kontak langsung dengan warga negara Jepang yang tinggal di Malaysia. Seharusnya langkah yang diambil pertama kali adalah langkah preventif (pencegahan) agar Covid-19 tidak masuk ke dalam negeri. Selain itu pernyataan Menkes bahwa penyakit yang ditimbulkan oleh Covid-19 ini merupakan penyakit yang bisa sembuh sendiri dan tak usah berlebihan menanggapinya, adalah bukti pemerintah tak serius menangani masalah Covid-19. Abainya pemerintah terhadap pencegahan Covid-19 ini nyatanya sudah memakan korban dan menimbulkan adanya fenomena panic buying di tengah-tengah masyarakat.

Adanya fenomena panic buying, memperlihatkan bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk mempertahankan diri. Gharizah baqa' (naluri mempertahankan diri), merupakan salah satu naluri yang fitrah diberikan kepada setiap manusia oleh Sang Pencipta. Namun, di dalam Islam ada aturan untuk pemenuhan setiap naluri yang ada pada diri manusia ini. Islam mengarahkan agar dalam memenuhi gharizah baqa' (naluri mempertahankan diri) berada dalam jalan yang benar, tidak mendzalimi diri dan orang lain dengan cara yang bersih dan menenangkan. Dalam hal ini, Islam mengarahkan agar dalam memperoleh harta harus dengan cara yang baik (thayyib) dan benar (halal), maka, jika diterapkan syariat Islam, tidak akan terjadi fenomena panic buying di tengah-tengah masyarakat, karena Islam beserta aturannya yang sempurna bersifat sesuai dengan fitrah manusia, menentramkan jiwa, dan memuaskan akal. Harus kita yakini bahwa wabah penyakit ini merupakan ujian dan peringatan dari Allah kepada hambaNya, agar senantiasa kembali kepada aturan yg haq yaitu syariat Islam. Dan harus kita yakini juga bahwa ada penyakit yang lebih mengerikan dan berbahaya daripada penyakit yang disebabkan oleh wabah Covid-19, yaitu penyakit cinta dunia (al wahn). Penyakit ini menimbulkan banyak kerusakan di muka bumi sebab menjadikan manusia cinta kepada hal hal duniawi lebih dari apapun, dan akan mengorbankan apa saja untuk kepentingan syahwat duniawi semata.

Di dalam Islam, peran negara tentu amat penting untuk mencegah penyebaran wabah penyakit seperti Covid-19, syariat Islam pun memiliki solusi tersendiri karena Islam  adalah agama sekaligus ideologi yang lengkap. Islam mengatur semua hal dan memberikan solusi atas segala persoalan. Terbukti Islam dalam naungan Khilafah telah lebih dulu membangun ide karantina untuk mengatasi wabah penyakit menular.

Dalam sejarah, wabah penyakit menular pernah terjadi pada masa Rasulullah SAW. Wabah itu ialah kusta yang menular dan mematikan sebelum diketahui obatnya. Untuk mengatasi wabah tersebut, salah satu upaya Rasulullah adalah menerapkan karantina atau isolasi terhadap penderita. Ketika itu Rasulullah SAW memerintahkan untuk tidak dekat-dekat atau melihat para penderita kusta tersebut. Beliau bersabda:

‏ لاَ تُدِيمُوا النَّظَرَ إِلَى الْمَجْذُومِينَ

Janganlah kalian terus-menerus melihat orang yang mengidap penyakit kusta (HR al-Bukhari).

Dengan demikian, metode karantina sudah diterapkan sejak zaman Rasulullah SAW untuk mencegah wabah penyakit menular dan menjalar ke wilayah lain. Untuk memastikan perintah tersebut dilaksanakan, Rasul SAW membangun tembok di sekitar daerah yang terjangkit wabah. Peringatan kehati-hatian pada penyakit kusta juga dikenal luas pada masa hidup Rasulullah SAW. Abu Hurairah ra. menuturkan bahwa Rasulullah bersabda, “Jauhilah orang yang terkena kusta, seperti kamu menjauhi singa.” (HR al-Bukhari).

Rasulullah juga pernah memperingatkan umatnya untuk jangan mendekati wilayah yang sedang terkena wabah. Sebaliknya, jika sedang berada di tempat yang terkena wabah, mereka dilarang untuk keluar. Beliau bersabda:

إِذَا سَمِعْتُمْ بِالطَّاعُونِ بِأَرْضٍ فَلاَ تَدْخُلُوهَا، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا مِنْهَا

Jika kalian mendengar wabah terjadi di suatu wilayah, janganlah kalian memasuki wilayah itu. Sebaliknya, jika wabah itu terjadi di tempat kalian tinggal, janganlah kalian meninggalkan tempat itu (HR al-Bukhari).

Maka, hanya jika diterapkan syariat Islam dalam bingkai Khilafah, akan menghindarkan manusia dari kedzaliman terhadap sesamanya dan wabah penyakit menular seperti Covid-19 ini insyaallah akan tertuntaskan.

Wallahu'alam bisshowwab