-->

Kisah RAPID TEST (2)

Oleh : Tifauzia Tyassuma 

Seorang teman (pejabat tinggi RI) setelah dilakukan Rapid Test, dinyatakan positif. Riwayat memang kontak dengan PDP (juga Pejabat Tinggi RI). Dengan kontak itu terjadilan penularan antar Pejabat Tinggi RI. Satu lembaga menulari lembaga yang lain. Begitulah.

Singkat cerita, teman PDP tadi membutuhkan ruang isolasi tentunya. Maka beliau pergi ke RSPAD, berharap ada kamar isolasi untuk pejabat tinggi. Ternyata RSPAD penuh, Dokter di sana menyarakankan untuk pergi ke Wisma Atlet Kemayoran, Rumah Sakit Darurat COVID 19.

Sampai di sana termyata pasien berjubelan. Tidak orang biasa tidak pejabat tinggi, semua harus antre. Lobby sana sini, kontak sana sini, tak berhasil juga. 

Telponlah ke salah Rumah Sakit.  Minta bookingkan kamar.  Dokter di sana teriak: "Jangan! Selain berpotensi ketularan infeksi sekunder yang bikin tambah parah, juga bisa menulari pasien yang lain di sini".

Akhirnya beliau ke Wisma Atlet.
Mengantre lah dengan sabar, sampai depan Petugas. Diperiksa. Dan kemudian DITOLAK MASUK, dengan alasan, Sang  pejabat, walau  PDP tetapi belum membutuhkan penanganam medis.

Maka silakan isolasi DI RUMAH SAJA.

Terbayang di rumah, dengan keluarga, anak-anak, ayah dan ibu yang sudah sepuh. Sungguh tak memungkinkan rumah jadi tempat isolasi.

Maka kontaklah dengan teman-teman, teman-teman, sampai kelelahan. Akhirnya memutuskan tidur di hotel.

Di hotel, rupanya selang berlalunya waktu, terciumlah kabar bahwa Pejabat ini adalah PDP. Maka Manajemen mohon agar sang pejabat berkenan meninggalkan hotel. Agar tidak menulari dan membikin takut pengunjing hotel yang lain. 

Akhirnya teman ini disewakan Apartemen oleh kantor. Dapatlah tidur semalam. Tetapi esok paginya, manajemen apartemen rupanya mencium lagi adanya fakta PDP pada diri sang pejabat. Maka oleh Manajemen diminta meninggalkan Apartemen dengan segera.

Saat ini Sang Pejabat menggelandang ke sana kemari, dengan status PDP. Mau pulang ke rumah tak mungkin, ke Rumah Sakit, penuh tak ada tempat. Ke hotel dan apartemen ditolak..

Beginilah Indonesia, dengan segala amburadul  dan ketidaksiapan menghadapi bencana COVID 19 yang akan berlangsung lama ini.

Kelas Pejabat tinggi dengan PDP saja mengalami nasib mengenaskan seperti ini. Apatah rakyat jelata.

Seandainya Komando satu Arah. Menteri Kesehatan kompeten dan tahu bagaimana harus bertindak. Presiden tidak jalan sendiri. Semua Kementerian bersatu padu, terintegrasi. Gubernur - Bupati/Walikota  mendapatkan instruksi yang ketat dan terarah.

Para Ahli dilibatkan. Ahli yang dianggap bertentangan,  malah dibully  buzzer. Niat membantu malah dibantai, gimana sih. 

Inilah hasilnya. Karma has no deadline, you know.

Ya sudah. Biarkan saya saja yang memberi arahan kepada 271 juta rakyat Indonesia. Yang mau dengerin, ikuti dengan rapi, jalankan dengan segera.

Yang engga mau, tutup kuping ya. 

Tifauzia Tyassuma
Dokter, Peneliti, Penulis