-->

Histeria Sang Guru Pertama di Tengah Corona: Sebuah Problem Psikosistemis





Oleh: Nindira Aryudhani, S.Pi., M.Si. (Koordinator LENTERA)

Sudah hampir dua pekan terakhir ini para anak didik belajar di rumah. Sejumlah kampus semi-lockdown. Para mahasiswa pun dipulangkan dan kuliah secara online. Masa dua pekan yang hampir usai ini pun akan diperpanjang menjadi semakin lama.

Namun demikian, diberitakan di sejumlah media, bahwa para murid sekolah justru stres karena “dirumahkan”. Juga karena tugas yang dibebankan begitu banyak. Orang tua, khususnya ibu, konon juga tak kalah “horor” menghadapi putra-putrinya yang mendadak sekolah di rumah.

Bagaimana pun, para ibu tak siap secara teknis ketika kebijakan sekolah di rumah dilakukan tanpa persiapan matang. Sungguh tidak terbayang.

Sempat viral sebuah artikel terkait fenomena ini. Yang pada intinya, para ibu tidak siap menjadi madrasatul ‘ula(sekolah pertama dan utama) bagi anak-anaknya. Ini memang sangat terasa ketika sekarang ini sekolah itu tiba-tiba “pindah” ke rumah.

Meski hal ini tak bisa dijustifikasi sedemikian rupa secara mentah-mentah. Namun ada baiknya kita coba refleksi sejenak akan adanya histeria para ibu kembali pada perannya selaku guru pertama bagi anak.

Tak bisa dipungkiri saat ini memang era sekularisme yang sudah begitu pekat. Di satu sisi, ketika terakhir terjadi di era 1990 hingga awal 2000-an dulu, jam anak-anak untuk berada di sekolah sebenarnya masih bisa ditoleransi.

Anak-anak tidak full day di sekolah. Untuk anak SD, pulang pukul 12.30. Untuk yang SMP-SMA, saat itu pulang dari sekolah pukul 13.30. Sorenya, mereka otomatis sudah tidak berada di sekolah. Mereka ada di rumah.

Bisa juga waktu sore hari itu, hingga menjelang magrib, digunakan untuk kegiatan ekstrakurikuler di sekolah atau belajar tambahan di lembaga-lembaga bimbingan belajar. Hasilnya, para murid tidak terlalu lelah dan masih bisa belajar lagi pada malam harinya.

Namun sejak kebijakan baru, yaitu Permendikbud No. 23 tahun 2017 tentang Hari Kerja, peraturan itu berisi tentang 5 hari sekolah dalam seminggu dengan 8 jam waktu belajar per hari.

Mulai tahun ajaran 2017/2018, sejumlah sekolah (meski tidak semuanya) pun menetapkan full day school. Para murid harus berada di sekolah mulai pukul 07.00 hingga kurang lebih pukul 15.30. Sekitar 8 jam mereka berada di sekolah. Meski sekolahnya memang menjadi 5 hari, Senin sampai Jumat.

Dampaknya, anak-anak “terlalu lama” di sekolah dan mereka sudah sangat lelah ketika sudah sampai di rumah. Belum lagi yang rumahnya jauh dari sekolah, waktu mereka juga habis di jalan.

Sedangkan pada malam harinya mereka juga masih harus mengerjakan tugas ini dan itu. Benar-benar menguras tenaga. Anak-anak seperti tak sempat lagi bercengkerama dengan dunianya di luar sekolah.
Sementara di sisi lain, terjadi juga gerakan secara sadar di sebagian kalangan umat Islam untuk mengirim anaknya ke pondok pesantren. Fenomena ini kian menguat kurang lebih sekitar 10 tahun terakhir ini.

Dan di samping menjamurnya gerakan memondokkan anak, demi turut mengikuti arus ini, sekolah-sekolah Islam terpadu (SIT) juga mulai gencar menerapkan konsep boarding school(sekolah berasrama) kendati SIT itu bukan pondok pesantren. Ini khususnya untuk yang tingkat SMA.
Namun satu hal yang pasti, baik fenomena full day school maupun mondok atau boarding school, semuanya sama-sama ingin mengefektifkan potensi anak agar tak terlalu banyak “bermain”.

Artinya, diharapkan agar anak konsentrasi dengan sekolahnya. Terlebih tantangan pergaulan bebas dan kenakalan remaja juga makin menggila. Akan tetapi jika arus sekularisasi dan liberalisasi itu tadi tidak diputus atau dihilangkan, maka kerusakan generasi itu tentu akan senantiasa mengancam meski anak sudah full di sekolah maupun diasramakan/dipondokkan.

Hanya saja, semua kondisi ini memang akan sangat berat jika “mendadak” pindah ke rumah. Apalagi dengan kondisi anak dan orang tua yang sama-sama tidak siap. Atau orang tua tidak membiasakan proses pembelajaran anak di rumah sejak sebelumnya.

Dengan kata lain, sungguh berat terutama bagi orang tua yang selama ini terlalu mengandalkan sekolah untuk membuat anaknya menjadi seorang pembelajar.

Pantaslah jika KPAI sampai turut urun suara akibat peluang terjadi kemungkinan buruk ini. KPAI menerima aduan bahwa para murid stres dalam program belajar di rumah akibat banyaknya tugas sekolah.

Jelas, karena suasana belajar di rumah pasti berbeda dengan sekolah. Wajar jika para murid maupun orang tuanya, khususnya ibu, akhirnya sama-sama stres. Ada faktor psikosistemis yang diabaikan, meski sebenarnya tetap bisa diatasi dengan intensitas minimal. Karena itu penting sekali mewujudkan tata aturan kehidupan yang kondusif, alias tidak sekuler, demi menunjangnya.

Output sistem pendidikan tentu selalu diharapkan menuju terwujudnya generasi yang cerdas dan peduli negeri. Dan ada tiga pelaksana dalam sistem pendidikan, yaitu: keluarga, sekolah, dan masyarakat. Ketiga unsur pelaksana ini harus menjalankan perannya masing-masing dengan baik, serta harus membina anak didik ke arah dan visi yang sama.

Pasalnya, yang terjadi di masyarakat saat ini tidaklah sejalan dengan cita-cita output pendidikan tadi. Belum lagi, keluarga sebagai pelaku utama pendidikan generasi juga mayoritas masih berbasis sekuler. Masih banyak keluarga muslim yang tidak menyadari pentingnya memiliki tujuan untuk melahirkan generasi dambaan umat.

Belum lagi tantangan internal dari diri orang tua, banyak di antara mereka yang enggan bersusah payah dan bersungguh-sungguh menanamkan dasar-dasar tauhid (keislaman) yang memadai bagi anak-anak. Implikasinya, mereka lemah dalam mengawasi pergaulan anak. Mereka juga minim memberi teladan dalam sikap keseharian terhadap anak-anaknya.

Sungguh di era sekuler ini semakin nampak nyata, parahnya disfungsi keluarga. Padahal keluarga adalah salah satu pihak yang melaksanakan amanat mendidik generasi.

Bahkan tak jarang para ibu, selaku guru pertama dan utama di rumah untuk anak-anak, malah tidak punya kesempatan mendidik anak dengan baik karena terpaksa harus menghabiskan banyak waktu di luar rumah turut mencari nafkah.

Pun sekolah. Sekolah masih selalu mengalami kendala dalam melakukan proses pembinaan kepribadian anak. Mulai kelemahan kurikulum, kekurangan sarana dan prasarana, kekisruhan birokrasi perekrutan guru, juga kesenjangan antara status guru ASN dan honorer. Ditambah lagi, sekolah seringkali dianggap sebagai “pemadam kebakaran” untuk mengatasi anak-anak yang nakal (baca: kurang pembinaan di rumah).

Begitu juga masyarakat. Atmosfer sekuler adalah kehidupan abnormal bagi pendidikan generasi. Masyarakat menjadi lingkungan yang justru tidak menjalankan fungsi pendidikan sebagaimana mestinya.

Kita bisa lihat betapa tayangan media massa meruntuhkan bahkan merusak nilai moral. Gaya hidup bebas (pornoaksi, pornografi, aksi tawuran, sadisme, kriminalitas, dsb) menjadi suguhan harian bagi generasi di tengah-tengah masyarakat. Benar-benar jauh dari kata kondusif.

Jadi bayangkan, jika ketiga porsi urgen itu semua dibebankan kepada para ibu saja secara tiba-tiba karena terdampak corona saat ini! Sangat psikosistemis bukan?
Inilah mengapa, pembelajaran anak harus dikembalikan pada misi penciptaannya oleh Sang Pencipta, Allah SWT. Yang tak lain yaitu untuk beribadah kepada-Nya. Ini sebagaimana firman Allah dalam QS Adz-Dzariyat [51] ayat 56:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.

Memang benar, keluarga merupakan tempat pendidikan yang pertama dan utama bagi para calon pemimpin. Di mana para ibu adalah “guru”-nya dan para ayah adalah “kepala sekolah”-nya. Keluarga ideal berperan menjadi wadah pertama pembinaan keislaman dan sekaligus membentengi anak-anak dari pengaruh negatif dari luar.

Peran keluarga menjadi penting karena orang tualah yang paling tahu bagaimana perkembangan dan kemajuan anak, baik fisik maupun mentalnya. Ini sebagaimana firman Allah SWT berikut ini:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (TQS At-Tahrim [66]: 6).

Masa physical distancing para murid dengan bersekolah di rumah, justru bisa menjadi sarana untuk merevitalisasi peran keluarga dalam mendidik generasi. Saling mendekatkan diri antaranggota keluarga.

Syaratnya, semua diupayakan dalam rangka ketaatan kepada Allah. Ini agar psikosistemis yang dihasilkan tidak malah memicu stres, melainkan memicu semangat untuk mewujudkan visi penciptaan manusia itu sendiri.

Dalam perspektif Islam, keterpaduan peran antara keluarga, sekolah, dan masyarakat akan menunjang peningkatan kualitas generasi secara eksponensial. Ini dari sisi pendidikan beserta pemberdayaannya. Kualitasnya meningkat, bahkan melejit. Karena itu dengan catatan, sistem kehidupan yang berlangsung juga berdasarkan akidah Islam.

Karena bagaimana pun, kelayakan psikosistemis kaum muslimin memang hanya bisa diraih dengan sistem kehidupan Islam. Dan hanya Khilafah sajalah satu-satunya sistem kehidupan yang akan mampu mewujudkan visi penciptaan ini. Melalui tegaknya Khilafah, maka pendidikan generasi cerdas, taat, dan peduli negeri akan terwujud; serta menjamin terlahirnya generasi tersebut.
_____
Sumber : MuslimahNews.com