Wabah Virus Korupsi Menjangkiti Trias Koruptika
Oleh : Ummu Farras (Pegiat Literasi)
Wabah virus korupsi kini diduga telah mengontaminasi ruang politik secara menyeluruh. Pasalnya, Sistem Trias Politica yang merupakan teori politik gagasan montesqieu yang membagi pilar kekuasaan negara menjadi tiga ruang (legislatif, eksekutif dan yudikatif), kini berubah menjadi Trias Koruptika karena semua pilar tersebut diduga tertular wabah penyakit korupsi.
Dilansir dari TEMPO.CO, Transparency International Indonesia (TII) mengumumkan hasil penelitian mereka tentang indeks persepsi korupsi atau IPK Indonesia. Tahun 2019 IPK Indonesia naik dua poin, dari 38 menjadi 40. Menurut peneliti TII, Wawan Heri Suyatmiko, ada beberapa sektor yang perlu diwaspadai dalam indeks persepsi korupsi, yakni pengendalian pemerintah terhadap korupsi, grade korupsi, prosedur yang jelas dan akuntabilitas dana publik, korupsi politik dan korupsi birokrasi, serta penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat eksekutif, yudikatif, legislatif, militer, dan kepolisian.
Masing-masing sektor tersebut masih di bawah angka 40. Poin terendah ada pada penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat eksekutif, yudikatif, legislatif, militer, dan kepolisian di angka 21 poin.
Senada dengan itu, Direktur Eksekutif Indonesian Legal Roundtable, Todung Mulya Lubis mengibaratkan indeks penegakan hukum korupsi di Indonesia bak rapor dengan nilai merah. Hal ini merujuk pada hasil riset lembaganya, yang memunculkan indeks negara hukum Indonesia hanya 5,12 dari skala 1-10. Dia menyebut salah satu sebab jebloknya indeks negara hukum Indonesia ialah beralihnya paham trias politica menjadi trias koruptika. "Pengawasan antar lembaga politik seperti eksekutif, yudikatif, dan legislatif sangat buruk," katanya. (TEMPO.CO)
Ini berarti, Indonesia masih menyandang status negeri darurat korupsi. Belum selesai skandal mega korupsi Jiwasraya dan ASABRI, kini muncul berbagai dugaan kasus korupsi lainnya.
Dilansir dari cnnindonesia.com, KPK menetapkan Harun Masiku bersama tiga orang lain yaitu Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan, eks anggota Bawaslu, Agustiani Tio Fridelina, dan Saeful (swasta) sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi terkait PAW anggota DPR 2019-2024.
Namun, penyelesaian kasus korupsi di Indonesia saat ini bagai menegakkan benang basah. Dengan disahkannya UU no. 19 tahun 2019 diduga memperlemah kinerja KPK sebagai badan anti rasuah. Dilansir dari kompas.com, Hasil survei Paramater Politik Indonesia (PPI) menunjukkan mayoritas responden menganggap UU KPK justru berpotensi melemahkan KPK dalam memberantas korupsi. OTT yang seharusnya dilakukan pada kantor PDIP, terjegal oleh izin Dewas (Dewan Pengawas).
Terbukti sudah 18 hari sejak Harun Masiku berstatus tersangka, namun aparat penegak hukum, baik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun kepolisian, belum juga bisa menangkap tersangka perkara suap mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan ini.(TEMPO.CO)
Demokrasi Lahirkan Wabah Virus Korupsi
Demokrasi adalah sistem yang mengatur tata kelola negeri ini. Adanya berbagai kasus korupsi tak lepas dari regulasi yang diciptakan. Itu artinya, demokrasilah yang melahirkan wabah virus korupsi di semua pilar kekuasaan negara. Karena dengan regulasinya, demokrasi telah menciptakan "Trias Koruptika" di Indonesia.
Lingkaran oligarki kader politik yang menguasai hampir semua jabatan publik, berpotensi untuk saling mendukung dan melindungi dari jeratan korupsi. Para elite di sistem demokrasi senantiasa tercebur dan berkelindan dengan praktek korupsi, lantaran semua hajatan politik membutuhkan dana yang tidak sedikit. Maka, para elite politik ini diduga terjebak dalam praktik korupsi untuk memenuhi ambisi politiknya. Inilah salah satu infeksi virus korupsi di wadah demokrasi. Sementara penegakan hukum yang dipraktekkan, jauh dari nilai keadilan.
Islam Obat Penawar Virus Korupsi
Islam dengan kesempurnaan syari'atnya, dapat menjadi obat penawar bagi virus korupsi. Karena dalam hukum syari'at Islam, terdapat solusi yang kaffah. Yaitu dari sisi pencegahan (preventif) maupun penindakan (kuratif) bagi masalah korupsi.
Secara preventif, paling tidak ada 7 langkah untuk mencegah korupsi menurut Syari'at Islam yaitu sebagai berikut :
Pertama, rekrutmen SDM aparat negara wajib berasaskan profesionalitas dan integritas, bukan berasaskan koneksitas atau nepotisme. Dalam istilah Islam, mereka yang menjadi aparatur peradilan wajib memenuhi kriteria kifayah(kapabilitas) dan berkepribadian Islam (syakhshiyah islamiyah). Nabi SAW pernah bersabda,“Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah Hari Kiamat.” (HR Bukhari). Umar bin Khaththab pernah berkata,“Barangsiapa mempekerjakan seseorang hanya karena faktor suka atau karena hubungan kerabat, berarti dia telah berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya, dan kaum mukminin.”
Kedua, negara wajib melakukan pembinaan kepada seluruh aparat dan pegawainya. Khalifah Umar bin Khaththab selalu memberikan arahan dan nasehat kepada bawahannya. Umar pernah menulis surat kepada Abu Musa Al-Asy’ari,”Kekuatan dalam bekerja adalah jika kamu tidak menunda pekerjaan hari ini sampai besok. Kalau kamu menundanya, pekerjaanmu akan menumpuk….”
Ketiga, negara wajib memberikan gaji dan fasilitas yang layak kepada aparatnya. Sabda Nabi SAW,”Siapa saja yang bekerja untuk kami, tapi tak punya rumah, hendaklah dia mengambil rumah. Kalau tak punya isteri, hendaklah dia menikah. Kalau tak punya pembantu atau kendaraan, hendaklah ia mengambil pembantu atau kendaraan.” (HR Ahmad). Abu Ubaidah pernah berkata kepada Umar,”Cukupilah para pegawaimu, agar mereka tidak berkhianat.”
Keempat, Islam melarang menerima suap dan hadiah bagi para aparat negara. Nabi SAW bersabda,“Barangsiapa yang menjadi pegawai kami dan sudah kami beri gaji, maka apa saja ia ambil di luar itu adalah harta yang curang.” (HR Abu Dawud). Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Nabi SAW berkata, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kekufuran.” (HR. Ahmad).
Kelima, Islam memerintahkan melakukan perhitungan kekayaan bagi aparat negara. Khalifah Umar bin Khaththab pernah menghitung kekayaan para pejabat di awal dan di akhir jabatannya.
Keenam, adanya teladan dari pimpinan. Manusia cenderung mengikuti orang terpandang dalam masyarakat, termasuk pimpinannya. Maka Islam menetapkan kalau seseorang memberi teladan yang bagus, dia juga akan mendapatkan pahala dari orang yang meneladaninya. Sebaliknya kalau memberi teladan yang buruk, dia juga akan mendapatkan dosa dari yang mengikutinya.
Ketujuh, pengawasan oleh negara dan masyarakat. Umar bin Khaththab langsung dikritik oleh masyarakat ketika akan menetapkan batas maksimal mahar sebesar 400 dirham. Pengkritik itu berkata, “Engkau tak berhak menetapkan itu, hai Umar.”
Kalau memang korupsi telah terjadi, Syariah Islam mengatasinya dengan langkah kuratif dan tindakan represif yang tegas, yakni memberikan hukuman yang tegas dan setimpal. Hukuman untuk koruptor masuk kategori ta’zir, yaitu hukuman yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Bentuknya mulai dari yang paling ringan, seperti nasehat atau teguran, sampai yang paling tegas, yaitu hukuman mati. Berat ringannya hukuman disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan. (Abdurrahman Al Maliki,Nizhamul Uqubat, hlm. 78-89).
Dari sini semakin jelas, bahwa hanya hukum Syari'at Islam, yang mampu menjadi obat penawar dan memutus rantai penyebaran virus korupsi.
Wallahu'alam bisshowwab.
Posting Komentar