-->

Sertifikasi Halal Dihapus? Sungguh Terlalu...



Oleh : Ismawati (Aktivis Dakwah Muslimah)

Sebagai seorang muslim, dengan agama Islam yang memiliki aturan yang sangat sempurna. Bahkan, dalam perkara apa-apa yang masuk kedalam tubuh seorang muslim sangat diperhitungkan halal haramnya. Seperti halnya makanan, sejatinya menjadi asupan dalam tubuh yang diatur didalam islam. Seorang muslim diperintahkan memakan makanan yang halal lagi toyib untuk dirinya. 
Karena Allah SWT berfirman : 

“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat dibumi, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan itu adalah musuh kalian yang nyata” (TQS : Al-Baqarah : 168)

Namun, saat ini dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja mengusulkan tidak membebankan sertifikasi kepada pelaku UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah), namun kepada produsen bahan baku. Kementrian Koperasi dan UMKM Teten Masduki dilansir situs media online kompas.com mengusulkan agar sertifikasi bukan lagi pada produk jadi, namun pada bahan bakunya. 
“Misalnya pisang goreng harus disertifikasi halal. Bahan pisang goreng kan jelas, ada pisang, minyak goreng, terigu, susu, gula. Nah, bisa mungkin yang disertifikasi nanti bukan pisang gorengnya, tapi bahan bakunya,. Dengan begitu, kalau mereka memproduksi dari bahan-bahan yang sudah tersertifikasi pada hulunya, ya mereka (para pelaku UMKM) tidak perlu sertifikasi lagi. Ini bisa jadi solusi” Ujar Teten. Beliau juga mengatakan “Ini berbagai usulan dari kami untuk Omnibus Law. Misalnya yang paling pokok untuk UMKM adalah sertifikat dari BPOM dan Sertifikat halal. Karena itu yang sekarang memberatkan pelaku UMKM,” . 

Inilah gambaran yang terjadi akibat menerapkan sistem berasas sekulerisme (memisahkan agama dari kehidupan) maka setiap kebijakan yang lahir rawan manipulasi. Apalagi dalam mengeluarkan sertifikasi halal misalnya, birokrasi mendapatkan sertifikasi halal cukuplah sulit tentu dengan biaya yang tidak sedikit. Terlebih, rezim saat ini terlalu fokus akan sertifikasi halal dan gagal melindungi hak rakyat yakni dengan memberikan jaminan bahwa hanya produk halal yang harus beredar dipasaran. Ongkos produksi bahan baku yang mahal misalnya, tidak sesuai dengan keuntungan yang didapat  para pelaku usaha.

Belum lagi, beban biaya hidup dalam sistem kapitalisme saat ini yang kian melonjak naik. Tak ayal, pelaku usaha akan menghalalkan segala cara untuk memperoleh keuntungan dengan modal yang sedikit. Misalnya, dengan membeli bahan baku yang halal namun diolah dengan bahan baku tambahan yang non halal seperti pengawet, pewarna tekstil, bahkan pengenyal seperti boraks. Sehingga sertifikasi dapat lahir dengan manipulasi demi tercapainya kepentingan materialistik semata. Maka mengabaikan jaminan halal ditingkat pengolahan dan distribusi dengan cukup hanya ditingkat produsen dengan alasan menggenjot produktifitas dan kemudahan dalam berbisnis adalah watak dari penerapan sistem ekonomi kapitalis yang tidak sesuai dengan prinsip hidup seorang muslim. 

Seringkali sertifikasi halal ini dijadikan sebagai upaya mendongkrak keuntungan pedagang agar masyarakat tertarik untuk membeli karena label halal yang telah tersemat didalam produknya. Karena Indonesia merupakan negara dengan mayoritas muslim, tentu yang pertama kali diperhatikan adalah label halal dalam kemasan makanan/minuman tersebut. Meskipun pada akhirnya pedagang bisa saja mengganti bahan bakunya yang tidak sesuai dengan bahan baku yang di sertifikasi. Maka wajar, sistem kapitalisme saat ini negara tidak mampu mengikat produsen untuk senantiasa memperhatikan kehalalan produknya.

Sementara didalam Islam, ketika sistem islam diterapkan menjadi sistem pemerintahan yang mengatur manusia. Negara yang berkewajiban memberikan jaminan halal terhadap makanan yang akan dikonsumsi rakyatnya. Karena dikatakan dalam hadist : 

“Imam (Khalifah) adalah pemimpin dan bertanggungjawab atas rakyatnya..” (HR. Bukhari). 

Artinya, dalam menghadirkan produk makanan/ minuman halal dibutuhkan peran negara sebagai pengurus urusan rakyat bukan malah memberikan kepada pengusaha yang notabene demi tercapainya keuntungan atau malah menghapuskannya demi kemudahan komersial bisnis.

Inilah kemuliaan ketika sistem islam dalam bingkai Khilafah diterapkan. Beredarnya makanan tidak cukup hanya sekedar “label” halal saja. Namun diperhatikan kehalalan dan ke-thayyiban suatu produk. Sudah seyogyanya negara hadir dalam memperhatikan urusan rakyat terlebih makanan yang dikonsumsi rakyatnya. Kareana apa-apa yang dikonsumsi akan mempengaruhi sikap dan perilaku kita.

Wallahu a’lam.