-->

Logika Cacat Akidah: “Haram Meniru Sistem Pemerintahan Rasul”

Oleh : Kanti Rahmillah, M.Si.

Bagai menggarami lautan, pekerjaan yang pastinya sia-sia. Syariat Allah SWT akan tetap mulia, walau berulang kali para penista menciderainya. Begitu pun dengan kebenaran ajaran Islam, akan senantiasa terjaga, walau banyak munafikun yang mencoba membuyarkan maknanya.

Ada banyak ulama yang siap menjaga kalam Allah SWT. Dan ada para pengemban dakwah yang setia meluruskan setiap manusia. Mereka semua rela berkorban waktu, harta, tenaga, bahkan nyawa, demi membela agama dan menyelamatkan umat manusia.

Kembali Menko Polhukam Mahfud MD memberikan narasi yang kontroversial. Setelah sebelumnya mengatakan “Perda Syariah itu Radikal” dan “Tidak ada sistem khilafah dalam Islam”. Kini tak tanggung-tanggung, dilansir dari nu.or.id, Mahfud menegaskan bahwa meniru sistem pemerintahan Nabi Muhammad saw., haram hukumnya.

Alasannya, negara yang didirikan oleh Rasulullah adalah negara Teokrasi, di mana Nabi memiliki tiga kekuasaan sekaligus yaitu legislatif, yudikatif, dan eksekutif. Semua peran itu berada dalam diri Nabi Muhammad Saw sendiri. Nabi berhak dan boleh memerankan ketiga-tiganya karena dibimbing langsung oleh Allah Swt. Sedangkan manusia lainnya tidak akan sanggup, jadi harus dipisah menjadi tiga.

Hal tersebut disampaikan Mahfud pada Diskusi Panel Harapan Baru Dunia Islam: Meneguhkan Hubungan Indonesia-Malaysia di Gedung PBNU Kramat Raya, Jakarta, Sabtu (25/01).

Setidaknya, ada 5 poin yang bisa kita bahas dalam merespons logika sesat tersebut. Sebuah ucapan yang seharusnya tak pantas diucapkan oleh seorang pejabat tinggi di negeri muslim terbesar ini.

Pertama, Sistem Pemerintahan yang Rasul Bawa Bukanlah Teokrasi
Negara teokrasi adalah negara dengan pemusatan kekuasaannya di tangan tokoh-tokoh spiritual yang sekaligus kepala negara. Dalam sistem ini, kepala negara merangkap sebagai tokoh spiritual, yang berujung pada pengkultusan. Kepala negara pun dianggap keturunan dewa atau manusia setengah Tuhan atau manusia pilihan Tuhan, bahkan reinkarnasi dari orang suci.

Sistem ini bisa dilihat pada negara mesir kuno, yang mengangkat Firaun sebagai kepala negara dan Tuhan sekaligus. Firaunlah yang berhak menentukan mana yang benar dan mana yang salah. Begitu pun yang menjalankan roda pemerintahan adalah Firaun, sehingga aturannya mutlak bersumber dari dirinya. Ini terjadi di abad pertengahan. Pada abad sekarang, kita bisa melihat negara Vatikan yang bersistemkan Teokrasi Katolik. Semua kebijakan di bawah kekuasaan gereja.

Berbeda dengan sistem Islam yang Nabi Muhammad terapkan. Muhammad saw. adalah seorang manusia biasa. Bukan manusia setengah Tuhan, apalagi Manusia titisan Tuhan. Muhammad adalah utusan Allah SWT, penyampai risalah-Nya. Dan dalam setiap aturan yang Nabi terapkan, murni sepenuhnya bersumber dari wahyu Allah SWT.

Jadi, menyamakan sistem Islam yang dibawa oleh Muhammad Saw dengan sistem Teokrasi adalah logika cacat akidah. Karena Akidah Islam mengajarkan pada kita, bahwa Rasulullah Saw adalah utusan, bukan titisan Allah Swt.

Kedua, Nabi Tidak Pernah Mengadopsi Trias Politika
Begitu pun alasan yang dikemukakan Mahfud, yang mengharamkan umat Muslim meniru sistem Islam. yaitu karena Nabi mampu menjalankan tiga kekuasaan dalam Trias politika, sedangkan manusia biasa tak akan sanggup menjalankan tiga kekuasaan tersebut; yudikatif, eksekutif dan legislatif. Ini pun merupakan pernyataan ngawur, karena Islam tak mengenal Trias Politika.

Konsep Trias Politika merupakan ide dasar dalam Demokrasi barat. Pemikiran ini berkembang di Eropa pada abad XVII dan XVIII M. John Locke dan diteruskan oleh Montesquieu, mengatakan bahwa kekuasaan harus dibagi menjadi tiga bagian, kekuasaan legislatif (membuat undang-undang), kekuasaan yudikatif (untuk mengadili atas pelanggaran undang-undang) dan eksekutif (untuk melaksanakan undang-undang).

Hal demikian telah nyata bertentangan dengan Islam. Sebab; pertama, sumber konsep ini adalah manusia yang terbatas dan lemah. Kedua, konsep ini merupakan konsep dasar demokrasi yang kufur, karena dalam demokrasi yang berdaulat adalah rakyat. Jelas ini batil, karena dalam Islam, yang berdaulat adalah syariat Allah.

Islam telah memiliki mekanisme agar abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan) tidak terjadi, yaitu dengan mewajibkan kaum muslim untuk mengoreksi penguasa. Dan melakukan amar makruf nahi mungkar pada para pejabat, bukan memecah kekuasaan menjadi tiga seperti konsep trias politika.

Ketiga, Negara Islam Menerapkan Seluruh Syariat
“Saya tak mengatakan mendirikan negara Islam tapi nilai-nilai Islam. Sebab itu saya sering menggunakan istilah kita tak perlu negara Islam tapi perlu negara Islami. Islami itu kata sifat, jujur, sportif, bersih, taat hukum, antikorupsi, pokoknya yang baik-baik itu Islami. Sehingga seperti New Zealand bukan negara Islam tapi negara islami,” ucap Mahfud (Republika.co.id 26/01)

Statement ini pun seperti asbun (asal bunyi), karena tak ada landasan dalilnya. Rasul telah mengajarkan pada kita untuk melaksanakan seluruh aturan yang Allah Swt ciptakan. Bukan hanya sekedar jujur. Syariat Allah SWT membentang luas, dari mulai urusan bangun tidur hingga bangun negara, telah Allah SWT rincikan.

Jujur, bersih, disiplin bukanlah inti ajaran Islam. Semua agama pun mengajarkan hal demikian. Jadi apa landasannya mengatakan negara New Zaeland adalah negara Islami? Jika seekor monyet memiliki mata sama dengan kita manusia. Apakah lantas, monyet adalah manusia? Tentu tidak. Karena mata adalah bagian yang lumrah yang ada pada mahluk Allah SWT.

Perbedaan mendasar manusia dengan monyet adalah dari sisi ada tidaknya akal. Sehingga bisa kita katakan manusia jelas bukan monyet, karena manusia mempunyai akal, sedangkan monyet tidak. Begitu pun negara yang terkenal disiplinnya tinggi, seperti Jepang. Tak bisa kita katakan negara tersebut adalah negara Islami. Karena pada faktanya, hal mendasar yang disebut sebagai negara Islami adalah negara yang memiliki sifat Islam secara mendasar. Yaitu akidah Islam dan aturan yang diterapkan adalah Islam juga.

Keempat, Sistem Pemerintahan Khilafah adalah Syariat
“Sebab itu Indonesia memilih bentuk republik dengan presidensial, Malaysia memilih bentuk kerajaan. Apakah itu melanggar Al Quran dan sunah? Tidak. Karena memang di Al Quran dan Sunah tidak ada ajaran bentuk negara. Bahwa manusia bernegara ya, bentuknya seperti apa? terserah,” ucap Mahfud MD (Republika.co.id 26/01)

Mungkin Pak Mahfud kurang piknik. Padahal telah jelas dalam Alquran dan Sunah perihal kewajiban penerapan Islam secara Kafah. Dan hal ini tentu tak akan mungkin bisa dilakukan, jika sistem negaranya bukan Islam.

Sistem pemerintahan dalam Islam disebut sistem Khilafah. Seperti halnya sistem ekonomi dalam Islam, yang mengharamkan riba, namanya sistem Iqtishodi. Juga sistem persanksian dalam Islam, namanya sistem Uqubat.

Sehingga, bentuk negara pun ada syariatnya. Buktinya, untuk memberlakukan hukum potong tangan pada pencuri saja tidak bisa dilakukan. Karena bentuk negara kita republik presidensial, yang merupakan kerangka pembingkai demokrasi. Padahal, Alquran telah jelas menyampaikan bahwa hukuman bagi para pencuri itu adalah potong tangan.

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. Maka barang siapa bertobat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (al-Mâidah/5:38-39)

Sistem pemerintahan Khilafah akan meniscayakan seluruh aturan Allah SWT diterapkan, tanpa pilih-pilih. Adapun dalil wajibnya bentuk negara Khilafah sebagai berikut:

“Bani Israil dahulu telah diurus urusan mereka oleh para Nabi. Ketika seorang Nabi [Bani Israil] wafat, maka akan digantikan oleh Nabi yang lain. Sesungguhnya, tidak seorang Nabi pun setelahku. Akan ada para Khalifah, sehingga jumlah mereka banyak.” [HR Muslim]

Para imam mazhab (yang empat) telah bersepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah wajib…” [Lihat, Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala al-Madzâhib al-Arba’ah, Juz V/416].

Kelima, Sistem Sekuler Demokrasi Lahirkan Rezim Anti-Islam

Kesedihan umat muslim yang begitu dalam adalah saat para pemimpin yang seharusnya ada di garda terdepan dalam membela agama, nyatanya mereka malah menistakannya. Memenjarakan para ulama. Mengkriminalisasi ajarannya.

Mencap teroris dan radikal pada umat muslim, yang membunuh semut saja tidak boleh jika tidak ada sebabnya. Membubarkan ormas Islam yang begitu giat menyebarkan dakwah. Persekusi kerap dilakukan rezim, pada pengajian yang terkandung ilmu Allah di dalamnya.

Mahasiswa di-DO hanya karena lantang menyuarakan Khilafah. Pasal karet UU IT, telah memenjarakan banyak kaum muslim yang ingin menyuarakan keadilan. Mengapa di bumi pertiwi, yang mayoritas warganya muslim ini, Islam selalu dimonsterisasi?

Dimusuhi hanya karena dianggap tak sesuai pancasila, yang definisinya pun masih sesuai rezim yang berkuasa. Dianggap pemecah belah NKRI, padahal sudah jelas dalam hadis bahwa kaum muslim adalah bersaudara, apa alasannya memecah-belah?

Jika dianggap Islam ingin menghomogenkan Indonesia? Jelas tertulis dalam Alquran, tidak boleh memaksakan keyakinan pada penganut lainnya. Islam tak pernah mengajarkan korupsi. Karena pejabat yang menzalimi umat, haram memasuki surga.

Mari lihat Indonesia kita, tata kelola yang amburadul. Korupsi mengakar belukar. Kriminalitas meningkat tajam akibat kemiskinan yang sistematis. Semua bak sinetron yang menjadi tontonan sehari-hari.

Jika agama sebaik ini dimusuhi oleh penguasa dan satu sisi telah nyata kebobrokan tata kelolanya. Berarti ada sesuatu yang membuat para penguasa bersikukuh mempertahankan sistem bobrok ini, apalagi kalo bukan kepentingan rente dan kekuasaan.

Mereka sungguh mengetahui, jika Islam yang menjadi aturan negara ini, akan melibat semua kepentingan mereka. Demokrasilah yang menjaga kepentingan mereka. Memperkaya diri sendiri, tak peduli pada rakyat yang telah lama bergelut dengan kemiskinan. Wajarlah Demokrasi dibela hingga mati.

Sistem sekuler demokrasilah yang melahirkan para pemimpin yang senantiasa menentang Islam. Narasinya basah dengan propaganda-propaganda sesatnya. Kebijakannya selalu saja menyakiti umat muslim.

Kita menginginkan para pejabat yang amanah. Pejabat yang dengan kesalehannya, membangun bangsa. Kepala negara yang memahami Islam secara Kafah, agar kebijakannya senantiasa merujuk pada Alquran dan Sunah. Dan itu hanya terwujud dalam Khilafah. Mari bersama berjuang, mewujudkannya. [MNews]

________
Sumber : MuslimahNews.com