-->

Konferensi Moderasi, Perusak Islam

Oleh: Pratma Julia Sunjandari

Barat -sebagai istilah yang melekat bagi kafir penjajah yang memusuhi Islam- butuh strategi matang untuk merusak Islam dan kaum muslimin. Demikian pula ketika mereka memunculkan ide moderasi Islam. Gagasan moderasi menguat sebagai kontra-reaksi atas kehadiran gerakan Islam yang ingin mengembalikan kejayaan Islam sejak Khilafah diruntuhkan Barat pada tahun 1924.

Moderasi ini menuntut gerakan politik untuk menampilkan diri sebagai gerakan dakwah yang damai, tidak terkait dengan kekerasan dan paksaan, jauh dari kesan ekstrim dan ekslusif. Tentu saja perlawanan terhadap pengarusan ide moderasi itu kian kuat, sehingga Barat terus melakukan diversifikasi usaha untuk menghambat perlawanan itu. 

Demi mengesankan persetujuan dunia Islam, Barat terbiasa merekayasa permufakatan yang dilakukan para mitra dan sekutunya. Baik individual, organisasi, institusi, ataupun partai dan komunitas sebagai komponen masyarakat sipil agar terkesan ide itu dikehendaki mereka. Kalangan inilah yang menjadi bagian yang memperkuat jaringan muslim moderat. Dalam perkembangannya, para cendekia berlatar belakang tsaqafah Islam pun dimanfaatkan untuk menyebarkanluaskan gagasan Islam moderat.

Al Azhar, salah satu lembaga pendidikan Islam tertua di dunia turut andil dalam menderaskan Islam moderat. Hal itu tampak dalam latar belakang Konferensi Internasional Al Azhar yang dihelat di Mesir 27-28 Januari 2020 lalu yakni kebutuhan untuk menghadirkan pandangan Islam yang moderat. “Pembaruan Pemikiran Islam” sebagai tema yang menghasilkan 29 rumusan menegaskan posisi Al-Azhar sebagai pembaharu pemikiran dan fikih sesuai metode wasathiyah (moderat) yang sudah menjadi ciri khasnya.

===

Kemunculan Islam moderat memang tak bisa dilepaskan dari dunia Arab. Beberapa rezim Arab memiliki kebutuhan menghidupkan Islam moderat untuk mengekang ekstremisme dan terorisme. Mereka merusak pemahaman agama demi tujuan politik agar Islam yang diaruskan negara secara resmi adalah rujukan yang benar. Di Mesir, Ikhwanul Muslimin sejak kemunculannya telah dianggap sebagai organisasi ekstrimis. Sehingga pemerintahan Gamal Abdul Nasir memunculkan berbagai skenario untuk mengubah pemikiran parpol yang disebut aliran garis keras melalui paham moderat.

Para akademisi dan politisi liberal nasionalis, baik di Mesir atau di negara-negara Arab lainnya, berkontribusi dalam memoderasi partai-partai politik. Atas peran mereka, format politik dunia Islam merujuk platform demokrasi ala Barat. 

Alhasil, gerakan-gerakan Islam tak lagi mengangkat panji "jihad" tapi cenderung akomodatif dengan pemikiran sekuler. Sekalipun demikian, Barat masih belum melihat keberhasilan kampanye moderasi ini sehingga perusakan ide Islam melalui konsep ‘pembaharuan’ masih terus terjadi.

===

Demikianlah yang terjadi di Konferensi Al Azhar Januari lalu. Salah satu rumusannya menegaskan bahwa pembaruan (tajdid) pemikiran Islam masih harus dilakukan untuk merespons hal-hal baru yang belum ada penjelasannya secara tegas dan rinci dari teks-teks Al-Qur'an dan hadis. Tentu saja rumusan ini mengada-ada, bahkan mengkhianati konsep dasar tasyri’ (penetapan hukum) dalam Islam. Sejak lama kaum muslimin telah mengenal metode ijtihad untuk menyelesaikan masalah ‘kekosongan hukum.’

Namun sejak Khilafah runtuh, tiada lagi pelindung untuk menuntun umat, termasuk ulama untuk menggunakan metode ijtihad yang baku. Yang hanya memperkenankan ijtihad dilakukan dengan merujuk teks-teks Al-Qur’an dan As Sunnah, bukan menggunakan akal. Apalagi bila akal itu telah ternoda dengan pemikiran asing -seperti kesetaraan, pembebasan, toleransi, humanisme, pluralisme, kesetaraan gender dan nondiskriminasi- sungguh tak pantas untuk menjadi penentu benar dan salah (mashdaru al hukmi).

Konsep moderat kian melekat pada rumusan tersebut saat menyatakan, masih menguatnya pengaruh kelompok ekstrem dan teroris pro kekerasan di dunia Islam.

Padahal terminologi ekstrimis, radikalis ataupun teroris diadopsi dari Barat yang terang-terangan memusuhi gerakan politik yang ingin menegakkan Islam kafah, yang dituduh mereka sebagai kalangan yang amat tekstual. Karena itu dalam resolusi itu Al Azhar menuduh kelompok ekstrim telah memanipulasi istilah al-Haakimiyyah (Allah sebagai sumber hukum), Khilafah, jihad dan sikap terhadap pihak-pihak yang berbeda pandangan. 

Pada hakikatnya, rumusan itu telah lancang menafsirkan al Hakiim –Allah sebagai pembuat hukum- disetarakan dengan kewenangan manusia.

Padahal tafsiran ‘seorang hakim (juru damai) dari keluarga laki-laki dan seorang hakim (juru damai) dari keluarga perempuan” (An-Nisa’/4:35) dan “…. putusan dua orang yang adil di antara kamu” (Al-Ma’idah/5:95) bukanlah terkait dengan pembuatan hukum. Tapi ayat-ayat tersebut membahas tentang hakim/qodli ataupun orang yang menengahi perselisihan itu bukanlah pembuat hukum, tapi sekadar menyampaikan hukum Allah yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an, As Sunnah, Ijma’ Sahabat dan Qiyas. Bagaimana pun juga, Islam tak pernah mengakomodir pemikiran demokrasi liberal yang mengizinkan manusia untuk membuat hukum di luar Syari’, Allah subhanahu wa ta'ala.

===

Karena itu makin terang benderang jika secara umum rumusan itu sekuler. Ditambah lagi, rumusan itu hanya mengulang-ulang gagasan liberal yang kerap dilemparkan para pengasong ide Islam moderat. Khilafah, jihad, takfiri, keterlibatan pada peringatan hari raya nonmuslim, kebolehan perempuan menjadi pejabat tertinggi negara, ditafsirkan sesuai terminologi yang mereka buat.

Permufakatan yang digagas di Mesir itu, terjadi pula di Indonesia, yang acap kali menyampaikan profiling-nya sebagai negara muslim terbesar, demokratis, pluralis dan pro gender. Karena itu pemerintah sangat terganggu bila kampanye moderasinya diusik kalangan muslim [yang disebut] ekstrim. Caranya pun tak berbeda. Di antaranya menghimpun berbagai komponen umat dalam konferensi dan kongres demi menyatukan visi dan misi moderasi Islam. Karena itu, sebagai khoiru umat hendaknya kita selalu mengawal agenda keumatan, bahkan harus selalu mengedepankan amar ma’ruf nahi munkar dalam kehidupan bermasyarakat.

Masyarakat Bangka Belitung akan menjadi tuan rumah Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) VII pada 26-29 Februari 2020 nanti. Sekalipun tema besarnya lebih terkesan terkait ekonomi [“Strategi Umat Islam Menuju Indonesia yang Maju, Adil, Makmur, dan Beradab”] namun tak bisa dipisahkan dari agenda moderasi. Poin ketiga agenda pembahasan KUII VII itu terkait persoalan keagamaan, menyampaikan pemikiran yang selalu dihembuskan kaum moderat.

Penyusun agenda tersebut ikut-ikutan menuduh kegagalan sebagian umat beragama dalam memahami pesan kemajuan dari ajaran agamanya karena bersifat ekstrim. Baik ekstrim ‘kanan’ [karena selalu merujuk pada teks Al-Qur’an dan Al Hadis] ataupun liberal-sekularis-sinkretis [tak mau menggunakan nash syariat Islam, namun merujuk pada pemikiran kufur].  Ujung-ujungnya, mereka menawarkan konsep moderat yang dianggap paling baik, karena berada di tengah-tengah (wasathiyah).

Padahal konsep moderat adalah konsep batil, tak pernah dikenal dalam tsaqafah Islam, bahkan justru mengadopsi pemikiran Barat kufur. Islam moderat amat suka mengambil substansi dan esensi saja, seperti ketenangan batin, kemuliaan akhlak, keadilan dan sebagainya. Aspek ini dianggap bersifat mutlak dalam menentukan kebenaran. Sehingga syariat dianggap hanya sebagai pelengkap. Syariat boleh diubah atau disesuaikan dengan substansinya, sehingga agama tidak diperlukan dalam mengatur negara.

===

Oleh karena itu, Islam moderat adalah gagasan yang amat berbahaya. Gagasan ini akan mengebiri ajaran Islam, seperti yang dilakukan Kemenag, mereduksi materi Khilafah dan jihad -dengan makna perang- sebagai bahasan fikih di buku-buku madrasah. Para pengasong moderasi Islam acap kali menimbulkan keraguan umat terhadap kebenaran Islam, sebagaimana pernyataan jilbab tidak wajib atau riba itu haram bila berlipat ganda saja. 

Islam moderat juga menyuburkan paham pluralisme yang digencarkan lewat dialog antar umat beragama atau pertunjukan perilaku para pejabat muslim yang turut rayakan Natal dan Cap Go Meh. Islam moderat juga sukses membelah umat sebagai golongan ekstrim-radikal versus moderat, kalangan sumbu pendek versus toleran, atau kelompok tekstual yang kaku versus kelompok konstektual yang luwes merespon perkembangan zaman. 

Opini Islam moderat ini bakal menyudutkan dakwah untuk nenerapkan syariat Islam, memonsterisasi ajaran Islam kafah serta mengkriminalisasi umat dan ulama. Tidak ada manfaat untuk mengaruskan Islam moderat.

===

Sekalipun Barat amat deras menggelontorkan dana untuk menerapkan berbagai strategi penderasan Islam moderat, Allah subhanahu wa ta'ala akan terus menjaga Al-Qur’an dan As Sunnah melalui kaum muslim yang ikhlas menjaga dan memperjuangkan penerapannya. 

Di seluruh dunia Islam, akan terus muncul penolakan terhadap semua konsep Islam moderat semisal demokrasi, hak asasi manusia, rasionalitas dan konten liberal. Karena para pengemban dakwah memahami jika “... Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.“ (Al Baqarah ayat 256).  

Untuk itu dakwah mengaruskan perjuangan melawan Islam moderat harus terus ditegakkan. Upayanya tentu harus memahami Islam sebagai ideologi, bukan sekadar agama ritual. Pemahaman itu akan membawa konsekuensi untuk mengungkap makar Barat dalam melemahkan umat Islam. 

Selanjutnya, gerakan dakwah itu harus menyadarkan umat tentang bahaya Islam moderat. Muara dari semua perjuangan itu adalah memperjuangkan Khilafah, karena hanya negara inilah yang akan menerapkan Islam kafah sebagai prasyarat keberkahan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Suatu ‘kemewahan’ dunia-akhirat yang tak bakal dicapai dalam sistem sekuler Kapitalis penjaja Islam moderat. []

===
Sumber : Muslimah News ID 
(Artikel ini merupakan materi diskusi online grup WhatsApp Muslimah News ID)