-->

ALTURISTIS DALAM KELUARGA, HARUSKAH?

Oleh: Aishaa Rahma (Founder Sekolah Bunda Sholihah)

Menyorot kasus perceraian di Indonesia dalam kurun  tiga tahun terakhir ini  (2015-2017) menunjukkan tren meningkat.  Berupa perkara putusan perceraian yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) di Peradilan Agama seluruh Indonesia.  Datanya, sebanyak 29 Pengadilan Tinggi Agama pada tahun 2017 mencatat sekurang-kurangnya 394.246 perkara.  yang di antaranya permohonan cerai talak (oleh suami) sebanyak 113.068 perkara, sedangkan gugatan perceraian (oleh istri) sebanyak 281.178 perkara). Sedangkan di tahun 2018 tercatat sebanyak 403.070 perkara yang diantaranya permohonan cerai talak sebanyak 113.968 perkara dan gugatan perceraian sebanyak 289.102 perkara).  Sementara di tahun 2019, tercatat total sebanyak 415.848 perkara yang diantaranya berupa permohonan cerai talak oleh pihak suami sebanyak 113.987 perkara dan gugatan perceraian oleh pihak istri sebanyak 301.861 perkara. 
Tercatat tren perkara perceraian yang diputus dan telah inkracht van gewijsde kurang lebih antara 353.843 hingga 374.516 perkara. (Vide :Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Mahkamah Agung Statistik Indonesia BPS). Angka tersebut belum termasuk keluarga (secara syariat) telah putus (cerai), baik suami telah menjatuhkan talak, maupun istri mengajukan khulu’,  tetapi tidak dilakukan pengurusan perceraiannya.

Menurut Kepala Seksi I Bimbingan pada Badilag MA, Hermansyah Hasyim, angka putusan gugatan perceraian oleh pihak istri selalu lebih tinggi dibanding permohonan cerai talak oleh suami.  Nyaris di kisaran 60-70 persen dari jumlah perkara yang masuk. Kebanyakan alasan mereka mengajukan gugat cerai lantaran banyak mengalami ketidakharmonisan dalam kehidupan rumah tangga. (Vide : hukum online.com).

Memang, dalam praktiknya, perkara ahwal al-syakshiyah atau persoalan hukum keluarga, banyak didominasi persoalan yang disebabkan oleh kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) baik secara fisik maupun secara psikis. Hal tersebut masih erat pula hubungannya dengan permasalahan ekonomi. Sangat perlu diteliti lebih dalam tentang apa makna, peran dan fungsi keluarga yang harus diterapkan oleh keluarga muslim,  khususnya di negeri ini sehingga kasus perceraian tidak mudah terjadi dan dalam jumlah yang besar pula.

Pemicu Cerai Tak Hanya Faktor Internal
Perlu diwaspadai  faktor-faktor yang memicu munculnya problem keluarga.  Salah satunya,  faktor pemikiran yang ‘disuntikkan’ Barat untuk melumpuhkan pola pikir kaum muslimin.  Memang keluarga-keluarga muslim inilah yang paling serius digarap. Tujuannya jelas, agar tidak melahirkan generasi cemerlang yang mampu membangun peradaban dan kejayaan Islam di masa mendatang.  Tidak main main, beragam pemikiran yang menyerang langsung fungsi dan peran keluarga, begitu masif digencarkan.  Mulai dari merusak peran suami, merusak peran istri, hingga merusak masa emas pertumbuhan anak. Juga dengan memunculkan slogan-slogan maupun kampanye untuk membatasi dan mengontrol kelahiran di tengah keluarga muslim, di seluruh dunia.

Isu yang sering disebarkan secara masif di tengah masyarakat, contohnya adalah kebebasan bereproduksi (termasuk kebebasan untuk tidak berketurunan), persamaan dan kesetaraan gender, penghapusan diskriminasi seksual dan perlindungan wanita atas nama Hak Asasi Manusia (HAM). 

Demikian kenyataan yang terjadi, proses yang merusak terus berjalan sangat cepat dan terencana. Tidak hanya digelontorkan melalui kampanye di media massa, mereka juga gencar melakukannya melalui jalur pendidikan. Bahkan dengan mempengaruhi para alim ulama (su’) yang terbungkus dengan ide kebebasan (liberalisme) terhadap kehidupan keluarga.

Padahal, keluarga merupakan institusi yang mewadahi beberapa individu (natuurlijk persoon). Yang di dalamnya harus saling menopang, mendukung, menguatkan dan mempengaruhi antara satu dengan yang lain. Karena bagaimanapun, tak dapat dipungkiri bahwa di dalam suatu keluarga terdapat sebuah ikatan ataupun bonding. Dalah Islam disebut Mitasqon Gholidzon atau ikatan (perjanjian) yang kokoh.

Allah Swt telah berfirman :  
“Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kokoh“  (TQS.  an-Nisa’ ayat 21).

Ikatan ini tidak terbentuk secara tiba tiba atau otomatis. Ikatan tersebut terbentuk melalui serangkaian perbuatan, pola sikap dan pola perlakuan yang tentunya memiliki asal usul. Sangat dipengaruhi oleh visi dan misi keluarga tersebut. Baik diakui atau tidak , disadari atau pun tidak disadari.  Ketika rangkaian perbuatan dsb ada, maka setelahnya muncul konsekuensi terhadap visi tersebut. Apakah konsekuen dengan visi yang dipilihnya atau tidak. Berikutnya, menyusun misi keluarga untuk mewujudkan visi/tujuan.

Maka dengan terbentuknya visi dan misi dalam keluarga tersebut, sangat erat hubungannya dengan sikap konsekuen dan konsisten (istiqomah). Konsekuen adalah akibat yang lazimnya dipikul karena dipilihnya atau ditentukannya sebuah visi, dan konsisten adalah akibat yang lazimnya dipikul atau dipertanggung jawabkan dalam menjalankan misi itu. Di sini letak tantangannya, apakah sebuah keluarga bisa terus konsekuen dan konsisten pada visi dan misi-nya?

Tantangan ini tidak dapat begitu saja dijawab, bisa dilalui atau tidak. Sebab  masalah yang dihadapi bisa sangat kompleks. Bersifat menahun, dalam jangka waktu yang panjang. Sehingga setiap individu di dalam keluarga perlu memiliki bekal mengarungi hidup bersama.  Ya, bekal ilmu dan tsaqofah seputar al-Usroh (keluarga), atau apa saja yang harus dikuasai agar bisa siap menyikapi semua persoalan ke depan.  Tak cukup hanya sekedar berbekal pengalaman (bersama keluarga lain atau orangtuanya sendiri). Karena bisa jadi sebuah keluarga hanya berkesempatan belajar dari sebuah pengalaman yang tidak baik. Atau tak layak diteladani.

Untuk satu unsur ini, yaitu ilmu, keluarga muslim tentu tidak dapat memperolehnya kecuali harus melakukan upaya pengkajian, berdasarkan hal-hal yang benar, tidak ada keraguan di dalamnya, serta dilakukan dengan cara yang benar (berguru) agar jelas jalan transmisi keilmuan yang dikuasainya. Dapat dipertanggung jawabkan. Bukan sekedar otodidak, belajar sendiri, atau bahkan melalui mesin pencarian di internet. 

Menghadapi ujian keluarga 

Problem di dalam keluarga sangatlah beragam, ada yang terkait dengan rezeki dan penafkahan.  Ada pula yang berhubungan dengan penyakit dan keturunan.  Belum lagi soal karakter pasangan, juga tingkah polah anak yang belum dewasa, dan sebagainya.
 
Ilmu atau pengetahuan khusus tentang keluarga, di dalamnya secara komprehensif mengandung berbagai hal yang bersifat praktis, tidak sekedar bersifat teoritik belaka. Maka setiap peristiwa atau problem yang dialami di dalam keluarga di atas, haruslah dipandang sebagai ujian. Apakah ilmu di atas sudah meresap dan dipahami dengan baik. Bukan sarana untuk menyalahkan suami atau istri. Apalagi orang lain. Seolah ketika terjadi problem diakibatkan oleh pihak di luar dirinya. Padahal masalah utamanya adalah penguasaan Ilmu atau pengetahuan khusus tentang keluarga yang masih lemah!  Sehingga mudah terbawa arus kerusakan yang ‘sengaja’ disebarkan di masyarakat. Maka kaidah dan standar Islam haruslah menginternalisasi di setiap keluarga muslim. 

Keluarga dengan visi dan misi yang jelas, disertai ilmu atau tsaqofah Islam yang menunjang, maka mereka akan menjadi kokoh. Namun keluarga muslim adalah keluarga yang tidak individualis, maka dalam masyarakat mereka perlu juga mempunyai komunitas yang menunjang.  Dengannya, keluarga bisa menyebarluaskan kebaikan yang telah diperjuangkan eksistensinya dan menjadi pengalaman, kepada keluarga keluarga yang lain. 

Dalam hal ini, Islam menyebarluaskan kebaikan yang terkandung di dalamnya dengan jalan dakwah, melebur di tengah masyarakat.  Bahkan keluarga muslim dan komunitas ke-Islaman ini akan bisa berjuang bersama memahamkan kebenaran, terutama melawan propaganda dan segala jenis kerusakan yang dijajakan masif oleh Barat yang dibantu anteknya di negeri muslim.

Khatimah 

Dengan demikian, telah diketemukan unsur-unsur keluarga sebagai sebuah institusi, yang tidak sekedar berbicara urusan suami dan istri saja, kesenangan dan ketidaksenangan suami atau istri, melainkan kepengurusan yang menyeluruh dan bersifat saling mengedepankan kepentingan dan kebutuhan pihak yang lain, ketimbang kepentingan pribadinya atau alturistis, dengan syarat  memenuhi kualifikasi sebagai berikut :

1. Adanya Ilmu atau pengetahuan khusus (tsaqofah) yang dimiliki karena pendidikan atau pengkajian ilmu secara intensif, dalam rentang waktu yang tak sedikit.

2. Memerlukan latihan dan ujian sebagai parameter penguasaan ilmu atau pengetahuan khusus tentang keluarga.

3. Adanya kaidah dan standar Islam sebagai acuan,  baik untuk keluarga itu sendiri dan anggota anggotanya, maupun keluarga pada masyarakat.

4. Adanya pengabdian pada masyarakat dengan jalan dakwah, sehingga  mengedepankan kepentingan masyarakat. Bukan individualistik.

5. Menjanjikan karir hidup dan keanggotaan yang permanen.

6. Mempunyai jamaah, sebuah komunitas yang sekaligus berfungsi sebagai penasihat dan pengawas.

Berdasarkan uraian diatas, pembahasan mengenai hukum keluarga atau ahwal syakhsiyah, bukan pembahasan yang ringan dan sepele, karena pada kenyataannya, sangatlah kompleks dan memerlukan visi dan misi, sarana prasarana pendukung untuk dapat dikatakan sebagai sebuah profesi. Oleh karenanya, semoga keluarga muslim dimampukan untuk menjadi pioner peradaban dimulai dari Institusi keluarga. Wallahu a'lam.