-->

Khilafah Semakin Dilarang akan Semakin Terang




Khilafah Semakin Dilarang akan Semakin Terang

Oleh: Henyk Nur Widaryanti

Fajar kemenangan itu segera datang. Gaung kemuliaannya semakin membahana. Ia bagaikan cahaya, yang siap menembus relung-relung setiap jiwa. Menyinari setiap hati dari gelap gulita. Menumbuhkan kehidupan baru dari setiap tarikan nafas yang terbelenggu.

Sudah menjadi kodrat alam. Cahaya akan selalu berperang dengan kegelapan. Allah akan tetap memenangkan cahaya atas gelap gulita malam. Sebagaimana firman Allah dalam QS Al Baqarah: 257,
“Allah pelindung orang-orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya adalah setan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka adalah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.”

Sama halnya seperti saat ini, berbagai macam upaya telah dilakukan untuk membungkam Islam. Termasuk di antara adalah khilafah dan jihad. Sebelumnya tersiar dalam pemberitaan pelajaran tentang khilafah dan jihad akan dihapus. Karena dinilai menjadi penyebab pelajar banyak terpengaruh radikalisme.
Namun, akhir-akhir ini pemberitaan tersebut dibantah oleh Menteri Agama sendiri. Dilansir dari detik.com (9/12/2019), Menteri Agama Fachrul Razi menyampaikan bahwa tidak ada penghapusan pelajaran khilafah dan jihad. Pelajaran tersebut hanya dipindahkan dari fikih ke sejarah. Khilafah adalah bagian dari sejarah, maka tidak mungkin untuk menghapuskannya dari sejarah kaum muslim.

Masih menurut Fachrul, pelajaran tentang khilafah ini perlu ditekankan pada titik poin tertentu. Ia menambahkan para pengajar harus menyampaikan bahwa khilafah tak relevan bagi Indonesia. Khilafah tak cocok bagi negara bangsa.
Lebih dari itu menurutnya tidak hanya materi khilafah dan jihad yang dibatasi. Para pengajarnya juga perlu, agar tidak menyimpang dari aturan yang telah ditentukan.

Menyikapi hal ini, sebagai seorang muslim kita perlu bersikap tenang. Tidak perlu “grusa-grusu” langsung mendukung atau menolak tanpa ilmu. Kita perlu mengetahui, di manakah duduk khilafah dan jihad berada. Akankah keduanya dapat dihapus dalam fikih ataupun sejarah?
Memahami Makna fikih dalam Islam
Dalam kitab Ushul Fikih karya ‘Atha Bin Khalil, fikih memiliki dua makna. Secara bahasa fikih diartikan sebagai pemahaman. Sebagaimana firman Allah Surat Hud ayat 11.
Secara makna syariat fikih adalah pengetahuan terhadap hukum-hukum syara yang bersifat praktis, yang digali dari dalil-dalil terperinci, dan topik yang menyangkut perbuatan (aktivitas manusia). Seperti halal, haram, sah, batal, fasad, dll.
Sebagaimana kaidah syara’: “Jika ada dua makna dalam satu bahasa, maka yang diambil adalah makna syara’.” Oleh karena itu kita mengambil fikih secara makna syariat. Dengan bahasa sederhananya, fikih diartikan ilmu yang membahas tentang hukum yang mengatur segala aspek kehidupan. Baik pribadi, bermasyarakat, maupun dengan Tuhannya.

Menurut ulama fikih Abu Hanifah, fikih didefinisikan sebagai pengetahuan seorang muslim sebagai kewajiban dan hak muslim terhadap Allah Swt.. Maka dari itu kita dapat simpulkan bahwa fikih berisi penjelasan hukum syariat. Mana aktivitas yang harus dilakukan dan ditinggalkan seorang muslim.

Fikih ini diambil dari segala bentuk penjelasan Rasul Saw., baik perkataan, aktivitas, maupun diamnya Rasul Saw.. Dalam sebuah ayat disampaikan, “Dan apa yang diberikan Rasul (Shallallahu ‘alaihi wasallam) kepadamu maka terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (QS Al-Hasyr : 7).
Dalam ayat di atas jelas bahwa seorang muslim memiliki kewajiban untuk mengambil semua yang dicontohkan Rasul. Bukan sekadar mempelajarinya, namun harus mengikutinya. Jika ada hal-hal yang dirasa memberatkan atau tidak cocok dengan pemahaman kita, Rasul pun telah mencontohkan untuk tetap taat dengan totalitas.

Allah memberikan penjelasan dalam QS. Al Baqarah 216, “Bisa jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan bisa jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
Artinya, anggapan seburuk apa pun itu, tidak perlu kita ikuti. Karena apa yang telah ditentukan Allah adalah yang terbaik bagi manusia. Bukankah Allah Maha Mengetahui dan Maha Penyayang?
Tidak mungkin Allah akan menjerumuskan manusia dalam kesengsaraan. Maka, sudah menjadi kewajaran bagi kita untuk menjalankan aturannya (yang dijelaskan dalam fikih).

Bagaimana kita menghadapi sangkaan manusia?
Manusia dilahirkan dengan akal. Akal ini digunakan sebagai pembeda antara yang benar dan salah. Namun, kadang kala akal tak mampu menjangkau suatu masalah dan sering melahirkan sangkaan-sangkaan yang menegasi.

Maha benar Allah. Allah telah menyiapkan dalil untuk menyelesaikan masalah ini. Dalam Qur’an Surat Al Hujurat ayat 12 Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain.”
Maknanya Allah melarang kita berprasangka. Dalam masalah ketaatan berprasangka itu sangat merugikan. Apalagi jika berprasangka buruk. Sebagaimana pernyataan tokoh-tokoh yang menolak khilafah. “Khilafah tidak layak bagi Indonesia”.

Pernyataan seperti ini merupakan prasangka saja, tanpa berpikir, meneliti, ataupun mengkaji dalil kewajibannya. Dengan alasan nasionalisme langsung menolak khilafah.
Maka, sebagai seorang muslim kita tidak boleh terbawa arus begitu saja. Kita perlu tahu dalil-dalil khilafah.
Khilafah dalam Fikih Islam
Sudah banyak tulisan yang menjelaskan wajibnya khilafah. Di sini saya menekankan penjelasan bahwa tidak hanya ulama di luar Indonesia. Ulama di Indonesia pun telah sepakat bahwa khilafah dan jihad adalah bagian dari fikih.
Dalam buku Fiqh Islam karya H. Sulaiman Rasyid di halaman 494 Bab XV ada bab khusus tentang khilafah. Dalam buku tersebut dijelaskan khilafah adalah suatu susunan pemerintahan yang diatur menurut ajaran agama Islam, sebagaimana yang dibawa dan dijalankan oleh Nabi Saw dan dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin.
Masih dalam buku tersebut, beliau menjelaskan ada tiga alasan kenapa khilafah itu wajib. Pertama, ijmak sahabat. Para sahabat lebih memilih bermusyawarah mencari pengganti Rasulullah setelah wafatnya. Padahal mengurus jenazah hukumnya fardu kifayah. Artinya memilih pengganti Rasul jauh lebih urgen daripada memakamkan jenazah Beliau Saw.
Kedua, kesempurnaan kewajiban. Tidak sempurnanya kewajiban sebelum ada institusi yang menaunginya menguatkan urgensi wajibnya khilafah. Misalnya, kewajiban membela agama, menjaga keamanan, memberikan sanksi pada pelanggar hukum syara’, menjaga kontinuitas ibadah.
Ketiga, beberapa dalil yang menunjukkan kewajiban khilafah. Baik dalam Al Qur’an maupun Hadits. Allah SWT berfirman: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sungguh Aku akan menjadikan di muka bumi Khalifah…””(TQS al-Baqarah [2]: 30). Menurut Al Qurtubi ini adalah dalil asal diwajibkannya khilafah.
“Siapa saja yang mati, sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada imam/khalifah), maka ia mati jahiliah.” (HR. Muslim). Berdasarkan hadis ini, menurut Syekh ad-Dumaiji, mengangkat seorang imam (khalifah) hukumnya wajib.
Janji Allah akan terbitnya khilafah
Sebesar apa pun kebencian musuh Islam tak mampu menghalangi tegaknya khilafah. Sebagaimana sang surya yang pasti bersinar di ufuk timur. Janji Allah akan tegaknya khilafah tak pernah kendur. Sebuah bisyarah Rasul akan kembalinya khilafah menjadi penopang harapan. Mimpi yang diragukan sebagian orang akan terlaksana.
“Akan datang kepada kalian masa kenabian, dan atas kehendak Allah masa itu akan datang. Kemudian, Allah akan menghapusnya, jika Ia berkehendak menghapusnya. Setelah itu, akan datang masa kekhilafahan ‘ala Minhaaj al-Nubuwwah; dan atas kehendak Allah masa itu akan datang.
Lalu, Allah menghapusnya jika Ia berkehendak menghapusnya. Setelah itu, akan datang kepada kalian, masa kekuasaan menggigit (yang zalim), dan atas kehendak Allah masa itu akan datang. Lalu, Allah menghapusnya, jika Ia berkehendak menghapusnya.
Setelah itu, akan datang masa kekuasaan diktator (pemaksa); dan atas kehendak Allah masa itu akan datang; lalu Allah akan menghapusnya jika berkehendak menghapusnya. Kemudian, datanglah masa Khilafah ‘ala Minhaaj al-Nubuwwah (Khilafah yang berjalan di atas kenabian). Setelah itu, Beliau diam.” (HR Imam Ahmad).
Masa Kenabian, Khulafaur Rasyidin, dan kekuasaan yang zalim telah berakhir. Kini tiba masa kekuasaan yang diktator. Memaksakan segala kebijakan tanpa melihat kondisi rakyatnya. Allah berjanji setelah masa ini berakhir, terbitlah Khilafah. Sang cahaya penerang seluruh dunia. Hingga tak ada rumah yang tak mengenal Islam.
Maka, sebesar apa pun cara mereka menjauhkan khilafah dari hadapan umat, Allah akan mendekatkannya kembali. Menjadi kewajiban bagi kita berusaha mengenalkan khilafah di hadapan umat. Karena Allah menilai amal kita, bukan hasilnya.
Khilafah adalah janji Allah. Keberadaannya pasti akan terjadi. Sesulit apa pun medan dakwah pada khilafah, kita tetap memegang janji. Sebagaimana Rasulullah saw. saat berhadapan dengan kafir Qurays.

“Wallahi, Demi Allah. Seandainya mereka meletakkan matahari di tangan kananku, dan bulan di tangan kiriku, agar aku menghentikan dakwah ini, niscaya aku tidak akan menghentikan dakwah ini hingga Allah memenangkannya atau aku binasa.” Wallahu ‘alam bishawab. [MNews]