Banjir, Butuh Solusi Sistemis
Oleh : Asri
Sebagaimana diberitakan melalui lama (Waspada.id) bahwa curah hujan berintensitas tinggi selama lima hari dari Senin hingga Jumat 24-28
November 2025 menyebabkan 11 kecamatan di Kabupaten Serdangbedagai (Sergai), terendam banjir.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sergai melaporkan ketinggian air di sejumlah titik berkisar 10 hingga 60 sentimeter.
Kalak BPBD Sergai, Abdul Rahman Purba, mengatakan luapan debit air sungai menjadi pemicu utama banjir yang merata di banyak wilayah. “Luapan debit air sungai menjadi penyebab utama, termasuk meluapnya Sungai Sibarau yang melewati tanggul di Dolok Masihul, hingga Sungairampah, Sei Baung Perbaungan dan Sei Buluh,” ujarnya kepada Waspada.id, Jumat siang (28/11/2025).
Sementara itu melalui KOMPAS.com juga diberitakan bahwa Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumatera Utara memperbarui data sementara terkait korban banjir dan longsor yang melanda wilayahnya. Berdasarkan data terakhir pada Jumat, 5 Desember 2025, pukul 17.00, jumlah korban meninggal mencapai 314 orang.
Daerah yang terdampak meliputi Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, Humbang Hasundutan, Pakpak Bharat, Mandailing Natal, Langkat, Deli Serdang, Nias, Serdang Bedagai, Asahan, Batubara, dan Nias Selatan. Selain itu, Kota Sibolga, Padangsidempuan, Medan, Binjai, dan Tebing Tinggi juga mengalami dampak.
Pemerhati kebijakan publik Maiyesni Kusiar menilai, banjir besar yang menghantam Sumatra bukan sekadar peristiwa alam yang tiba-tiba datang dan pergi tanpa sebab. ”Banjir itu adalah penanda kuat bahwa ada sesuatu yang salah—secara struktural, sistemis, dan berulang—dalam cara negeri ini mengelola ruang hidup,” jelasnya kepada MNews, Kamis (4-12-2025).
Menurutnya, perulangan bencana banjir di Sumatra Utara, Sumatra Barat, dan Aceh, dengan kerusakan yang kian masif setiap tahun, adalah refleksi betapa buruknya tata kelola ruang hidup dalam paradigma kapitalisme sebagai sistem hidup yang diterapkan hari ini. ”Curah hujan tinggi memang menjadi pemicu, tetapi ia bukan penyebab utama. Bagaimana mungkin air bah membawa gelondongan kayu berukuran besar jika hutan kita tidak dibabat? Bagaimana mungkin tanah kehilangan daya serap jika tidak ada deforestasi yang merajalela?” tanyanya retoris.
Dalam sistem kapitalisme, ucapnya, alam ditempatkan sebagai objek yang boleh dieksploitasi sejauh memberikan profit. ”Izin konsesi diberikan dengan mudah, pola pembukaan lahan besar-besaran menjadi normal, dan pertumbuhan ekonomi dijadikan alasan pembenar untuk menghancurkan ekosistem. Para pemilik modal menikmati keuntungan yang mengalir tanpa henti, sementara rakyat kecil—yang tidak pernah ikut memutuskan dan tidak pernah ikut menikmati hasil—ditinggalkan untuk berjuang menyelamatkan diri ketika bencana datang,” ulasnya.
Jelas, faktor penyebab bencana bukan sekadar cuaca ekstrem atau pasang air laut. Justru ketika lingkungan alam tidak rusak, cuaca ekstrem dan banjir rob bisa diatasi. Ini karena alam adalah benteng paling tepat untuk menghadapi fenomena ekstrem yang juga berasal dari alam.
Namun, pada saat bencana sudah benar-benar terjadi, penguasa tidak juga serius memfasilitasi berbagai sarana penanggulangan dan penanganan korban. Setiap musim bencana, kita patut bertanya, di mana peran negara?
Miris, faktor keterbatasan anggaran dan peralatan selalu menjadi alasan kelambanan di lapangan. Bukan tidak mungkin, bantuan pemerintah untuk bencana alam sering kali seadanya. Selain itu, bantuan kerap terlambat datang dengan alasan lokasi sulit dijangkau. Juga personel penanganan bencana yang belum tiba di lokasi karena masih menangani bencana di daerah lain. Alih-alih bicara mitigasi yang memadai sebelum terjadinya bencana, untuk tanggap darurat saja pemerintah sering kali gagap.
Solusi yang dilakukan pemerintah tidak menyentuh akar masalah bencana sebagai sesuatu yang penanganannya harus sistemis. Sistem sekuler kapitalisme meniscayakan keserakahan dan ketamakan untuk mengeksploitasi SDA demi keuntungan penguasa dan kroninya. Mereka tidak peduli dengan nasib masyarakat luas yang terdampak, bahkan menjadi korban bencana alam. Atas alasan ini, tidak layak kita berharap dengan solusi dari kapitalisme yang jelas tambal sulam.
Sejatinya, bantuan yang rakyat harapkan adalah bantuan yang lebih strategis dibandingkan sekadar logistik. Di antaranya berupa bantuan dana, alat berat, jumlah personel penyelamat yang memadai, pembangunan jalan alternatif untuk membuka jalur transportasi yang putus akibat bencana, juga kebijakan publik untuk melarang alih fungsi hutan menjadi perkebunan.
Islam menetapkan fungsi kepemimpinan adalah mengurusi urusan umat (raa’in) dan melindungi mereka (junnah). Penguasa wajib mengerahkan segala daya untuk menyejahterakan umat dan menjauhkan mereka dari semua hal yang membinasakan.
Allah Taala berfirman di dalam ayat,
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS Ar-Ruum [30]: 41).
Juga ayat,
وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَّا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنكُمْ خَاصَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.” (QS Al-Anfal [8]: 25).
Sungguh, bencana alam sejatinya alarm agar manusia berhenti berbuat kerusakan. Kedua ayat di atas memberikan gambaran bahwa bencana alam bisa terjadi karena kerusakan yang dilakukan manusia.
Pemimpin di dalam sistem Islam akan membuat berbagai kebijakan seputar penataan lingkungan dan pemetaan lahan. Ada lahan-lahan khusus yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi sehingga tidak boleh dialihfungsikan menjadi permukiman, pertanian, infrastruktur, apalagi pariwisata. Kawasan konservasi ini berperan sebagai penyangga ekosistem.
Untuk kawasan yang rawan bencana, ini harus diatur menurut manajemen kebencanaan, mulai dari edukasi kebencanaan, pembangunan infrastruktur yang memadai seperti bangunan antigempa, serta sistem peringatan dini dan penanganan bencana yang sistemis dan terpadu. Begitu pula soal sistem logistik darurat serta sistem kesehatan yang menjadi bagian integral dari sistem penanganan terpadu kebencanaan, semuanya harus benar-benar diperhatikan. Dengan begitu, korban bencana yang tidak bisa bekerja sebagaimana biasanya, tetap mendapatkan jaminan kebutuhan primer bagi dirinya dan keluarganya.
Persoalan penanganan dan penanggulangan bencana ini sangat diperhatikan oleh sistem Islam. Bahkan, di dalam sistem keuangan negara Islam (Khilafah) terdapat pos keuangan khusus untuk rehabilitasi bencana. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani memerinci hal tersebut di dalam kitab Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam (Sistem Ekonomi Islam), bab “Baitulmal” pada pembahasan pengeluaran baitulmal. Di dalamnya dijelaskan bahwa kas negara Islam (baitulmal) memiliki pos pengeluaran khusus, yakni pos yang hak pembelanjaannya terjadi karena adanya unsur keterpaksaan, seperti bencana alam.
Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain bagi umat Islam, selain segera kembali kepada syariat-Nya dan berupaya menegakkan kepemimpinan Islam sebagai sebuah kewajiban yang harus ditunaikan. Tentu butuh perjuangan yang serius dan panjang yang dimulai dari membangun kesadaran di tengah umat Islam. Terutama kesadaran bahwa keimanan menuntut ketaatan kepada seluruh syariat Islam, dan bahwa pelaksanaan seluruh syariat Islam butuh kekuasaan atau kepemimpinan Islam.

Posting Komentar