Sudan yang Terkepung Kepentingan dan Kehilangan Suaranya
Oleh : Meidy Mahdavikia
Sudan sedang berada dalam masa paling sunyi sekaligus paling bising dalam hidupnya. Sunyi karena banyak suara yang tidak lagi bisa didengar, seperti tawa anak-anak, obrolan tetangga, atau panggilan ibu dari dapur. Bising karena ledakan dan tembakan tak pernah benar-benar berhenti. Negeri yang dulu hidup dari Sungai Nil yang mengalir tenang kini seperti kehilangan napasnya sendiri.
Di kota-kota yang porak-poranda, keluarga terpaksa berpisah tanpa waktu untuk saling memeluk. Anak-anak bangun dengan mata kebingungan, mencari sosok yang biasanya menyambut mereka setiap pagi. Orang-orang dewasa, terutama yang sudah renta, menjalani hari-hari panjang sambil membawa ketakutan yang tak pernah selesai.
Dilansir dari Republika.id (29/10/2025) menggambarkan betapa parahnya situasi itu. Tempat-tempat yang seharusnya menjadi titik aman seperti masjid, rumah sakit, dan rumah-rumah kecil justru ikut menjadi sasaran. Tidak ada lagi batas yang jelas antara ruang perlindungan dan ruang bahaya.
Empat hari saja cukup untuk membuat lebih dari enam puluh ribu warga El Fasher berbondong-bondong pergi, menurut laporan Minanews.net (2/11/2025). Banyak yang hanya membawa tubuh mereka sendiri dan pakaian yang sedang dikenakan. Sisanya terpaksa mereka tinggalkan.
Yang membuat semuanya terasa semakin ironis adalah kenyataan bahwa Sudan bukan negeri yang kekurangan. Tanahnya kaya dan airnya mengalir sepanjang sejarah. Namun justru kekayaan inilah yang membuat banyak pihak luar ingin ikut campur.
Negeri yang Direbut, Diperebutkan, lalu Ditinggalkan
Jika dilihat dari kejauhan, konflik Sudan sering dipahami sebagai pertarungan antara Sudan Armed Forces dan Rapid Support Forces. Kenyataannya jauh lebih rumit. Konflik ini seperti simpul yang ditarik oleh banyak tangan, dan sebagian besar bukan tangan rakyat Sudan sendiri.
Sejumlah laporan menyebutkan bahwa negara-negara kuat seperti Amerika Serikat dan Inggris memiliki kepentingan politik dan ekonomi di kawasan tersebut. Negara lain seperti Uni Emirat Arab dan beberapa pihak lain juga sering muncul dalam berbagai pembahasan. Mereka kerap hadir dengan nama bantuan, tetapi hasil akhirnya justru membuat keadaan semakin tidak menentu.
Sudan memiliki emas, minyak, dan sungai yang menjadi jalur kehidupan. Tiga hal ini saja sudah cukup untuk menarik perhatian banyak negara. Dalam sistem global yang digerakkan oleh kepentingan ekonomi, negara yang kaya sumber daya seperti Sudan sangat sulit berdiri sepenuhnya atas kaki sendiri. Bahkan lembaga internasional yang seharusnya netral tidak sepenuhnya bebas dari pengaruh kekuatan besar.
Dan seperti yang sering terjadi, rakyat biasa menjadi pihak yang paling menderita. Mereka tidak memulai perang, tetapi merekalah yang harus menanggung akibatnya. Cerita mereka sering hanya menjadi angka dalam laporan berita, terlihat sebentar lalu dilupakan.
Islam sebagai Pelindung di Tanah yang Terluka
Yang dibutuhkan Sudan bukan sekadar berhentinya letusan senjata. Mereka membutuhkan sistem yang benar-benar berdiri untuk rakyatnya, bukan untuk kepentingan negara atau kelompok luar.
Islam membawa konsep tersebut. Dalam ajaran Islam, kekayaan alam tidak boleh dikuasai oleh segelintir orang. Rasulullah SAW pernah menyampaikan bahwa air, padang rumput, dan api merupakan milik bersama umat. Prinsip ini menegaskan bahwa sumber daya besar seperti emas dan minyak seharusnya dikelola negara untuk kepentingan seluruh rakyat.
Islam juga menekankan persatuan yang nyata. Sebuah kepemimpinan yang mampu menyatukan potensi negeri-negeri Muslim agar mereka tidak berjalan sendiri. Jika persatuan semacam ini ada, Sudan tidak perlu menghadapi tragedinya tanpa bantuan yang layak dari saudara-saudara seiman.
Kepemimpinan dalam Islam bukan hanya tentang aturan, tetapi tentang perlindungan dan keberpihakan kepada yang lemah. Pemimpin adalah payung bagi mereka yang kehilangan rasa aman.
Karena itu, krisis Sudan bukan sekadar konflik dua pihak bersenjata. Ini adalah benturan dua cara pandang. Islam yang memuliakan manusia dan sistem kapitalisme sekuler yang menempatkan keuntungan di atas segalanya.

Posting Komentar