-->

Kohabitasi dan Mutilasi, Buah Busuk dari Liberalisasi Seksual dalam Sistem Sekuler


Oleh : Koiroh Anisya, S.Pd

Lagi dan lagi, publik kembali dikejutkan oleh tragedi yang memilukan. Kasus seorang perempuan muda yang dibunuh dan dimutilasi oleh kekasihnya, setelah lima tahun hidup bersama dalam hubungan tanpa ikatan pernikahan. Kasus ini bukan yang pertama, dan sayangnya, sangat mungkin bukan yang terakhir. Ia adalah bagian dari fenomena sosial yang lebih besar dan lebih berbahaya: liberalisasi pergaulan dalam sistem sekuler liberal yang telah menjauhkan manusia dari aturan Sang Pencipta.

Kohabitasi atau kumpul kebo, istilah halus untuk zina yang dilakukan secara permanen telah menjadi gaya hidup “normal” di tengah masyarakat modern saat ini. Bahkan sebagian kalangan, dengan dalih kebebasan dan cinta, membela praktik ini sebagai bagian dari hak individu. Namun kenyataannya, dari balik tirai kebebasan semu itu, tersimpan potensi kekerasan, penelantaran, gangguan psikologis, dan bahkan kejahatan keji seperti pembunuhan dan mutilasi.

Berbagai kasus kohabitasi berujung mutilasi tersebut menegaskan realitas rusaknya pergaulan di tengah masyarakat hingga berakhir dengan pembunuhan. Saat ini kohabitasi atau kumpul kebo sudah jamak dilakukan generasi muda. Laki-laki dan perempuan nonmahram hidup bersama tanpa ikatan pernikahan selama bertahun-tahun. Mereka sudah tidak mengindahkan norma masyarakat maupun syariat agama (Islam). Gaya hidup sekuler liberal menuntun mereka untuk mengejar kesenangan bersama pasangan. Yang penting senang, yang penting keinginan biologis terpenuhi. Mereka tidak lagi peduli halal haram.

Faktor ekonomi juga berperan. Demi mendapatkan materi, tempat tinggal, pakaian kekinian, gadget, dan aneka gaya hidup lainnya, sebagian perempuan rela melepaskan kehormatannya dengan hidup bersama pacarnya. Jalan ini ditempuh karena jauhnya mereka dari pemahaman agama yang sahih. Meski muslim, memiliki nama ala Islam, dan berhijab, bukan jaminan mereka paham Islam. Paham sekularisme menjadikan mereka tidak takut dosa besar dan azab dari Allah Taala hingga nekat melakukan zina.

Normalisasi Zina: Kejahatan yang Dipoles Menjadi Gaya Hidup

Kasus-kasus mutilasi yang melibatkan pasangan kohabitasi bukan sekadar cerita kriminal. Mereka adalah bukti konkret dari rusaknya tatanan pergaulan manusia dalam sistem yang membebaskan nafsu dan menjadikan kesenangan sebagai tolok ukur kebenaran. Kohabitasi tak hanya membuka pintu zina, tetapi juga menciptakan hubungan tanpa tanggung jawab hukum, sosial, dan spiritual.
 
Akibatnya, ketika terjadi konflik, kekerasan menjadi jalan pintas. Ketika ada kehamilan, penolakan tanggung jawab bisa berubah menjadi pembunuhan. Tragisnya, semua ini dianggap biasa. 
Di balik kasus-kasus mengerikan ini, negara berdiri diam dan mandul tak bisa berbuat apa - apa. KUHP versi terbaru bahkan hanya menjadikan zina dan kohabitasi sebagai delik aduan terbatas. Artinya, negara hanya akan bertindak jika ada laporan dari orang tua atau pasangan resmi. Masyarakat yang mencoba menegur, justru bisa dituduh melanggar hukum atau melakukan persekusi. Sungguh miris, Negara justru lebih sibuk menjaga citra demokrasi dan HAM daripada menjaga moral dan keselamatan rakyatnya.

Ironi lain, negara juga memfasilitasi penyebaran gaya hidup liberal. Tayangan yang meromantisasi zina, lagu yang melegalkan hubungan di luar nikah, bahkan pornografi yang mudah diakses, semua mendapat ruang luas atas nama “ekspresi seni”. Inilah hasil logis dari sistem sekuler liberal, di mana agama dikurung di tempat ibadah dan hukum hanya bicara soal kejahatan setelah terjadi, bukan mencegah sejak awal.

Islam Mencegah Zina Sejak Akar: Sistem Preventif dan Kuratif yang Tuntas

Islam tidak memandang zina sebagai masalah personal atau privat. Ia adalah kemaksiatan sosial yang berdampak luas dan merusak sendi-sendi masyarakat. Karena itu, Islam bukan hanya melarang zina, tetapi juga menutup semua pintu yang mengarah kepadanya, sebagaimana firman Allah: “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’ [17]: 32)

Negara Islam (Khilafah) bertugas sebagai raa'in (pengurus) dan junnah (pelindung). Ia tidak membiarkan warganya tenggelam dalam lautan maksiat. Sistem pendidikan dalam Islam dibangun untuk membentuk akidah kuat pada individu, memperkuat kontrol sosial di masyarakat, dan menerapkan hukum syariat oleh negara secara menyeluruh. Ini adalah tiga pilar perlindungan dari zina dan seluruh kerusakan turunannya.

Dalam Khilafah, tidak akan ada tempat bagi kohabitasi. Hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara tegas bukan untuk membatasi cinta, tetapi untuk menjaga kehormatan dan keselamatan semua pihak. Pergaulan dibatasi sesuai syariat, interaksi dibatasi pada hal yang syar’i dan profesional, ikhtilat dan khalwat dicegah, dan ikatan seksual hanya boleh dan hanya akan terjadi dalam ikatan pernikahan.

Kalaupun terjadi kejahatan seperti mutilasi, Islam tidak tinggal diam. Pembunuhan disengaja akan dihukum berdasarkan hukum qishash, diat, atau dimaafkan oleh keluarga korban. Ini bukan hanya memberi keadilan, tetapi juga memberi efek jera. Dalam Islam, nyawa manusia adalah kehormatan yang sangat agung yang tidak bisa ditukar dengan alasan cinta, sakit hati, atau kekecewaan semata.

Liberalisme Harus Diakhiri, Syariat Harus Diterapkan

Selama sistem kehidupan masih dikuasai oleh liberalisme sekuler, selama itu pula berbagai bentuk kemaksiatan akan terus mengakar dan menghasilkan kejahatan-kejahatan turunan. Negara yang membiarkan zina dengan dalih HAM sejatinya adalah negara yang menyiapkan panggung bagi tragedi seperti pembunuhan pasangan, bayi dibuang, hingga mutilasi.

Sudah cukup umat Islam menjadi korban dari sistem yang rusak ini. Kita tidak butuh tambal sulam hukum pidana. Kita tidak butuh lagi slogan “edukasi seks aman” atau “pacaran sehat”. Kita butuh perubahan total dan revolusi sistemik dengan mengganti sistem sekuler dengan sistem Islam.

Sistem Islam, melalui Khilafah, telah terbukti secara historis menjaga kehormatan wanita, melindungi keluarga, dan menciptakan masyarakat yang bersih dari pergaulan bebas. Khilafah bukan mimpi, ia adalah tuntutan syar’i dan solusi real dari krisis sosial hari ini.
Berapa lagi korban mutilasi yang harus kita saksikan? Berapa lagi perempuan yang harus dibunuh oleh orang yang katanya mencintai mereka? Sampai kapan umat ini akan terus menjadi penonton dari kerusakan moral yang terus membesar akibat sistem liberal?

Islam tidak datang hanya untuk mengatur ibadah. Islam adalah sistem kehidupan yang membawa rahmat bagi seluruh alam. Jika kita ingin menyelamatkan generasi, menjaga nyawa, kehormatan, dan masa depan mereka, maka tidak ada jalan lain selain menerapkan syariat Islam secara kaffah dalam naungan Khilafah Islamiyah.