Kemerdekaan 80 Tahun, Euforia Elit, Kekecewaan Rakyat
Oleh : Neni Moerdia
Bulan Agustus merupakan bulan kemerdekaan Indonesia yang diperingati oleh seluruh masyarakat Indonesia. Tahun 2025 sudah terhitung 80 tahun sejak berakhirnya penjajahan fisik 1945 yang di proklamasikan Ir.Soekarno. Penjajahan fisik memang berakhir tetapi penjajahan melalui pemikiran masih berlanjut, pemerasan rakyat melalui peraturan masih terlaksana. 80 tahun Indonesia merdeka, rentetan persoalan negeri yang tak kunjung reda. Bahkan semakin nyata. Realitas kemerdekaan yang hanya untuk elit semakin tersingkap.
Sejak awal Agustus publik banyak dikejutkan dengan pernyataan pejabat yang membuat geram. rentetan pernyataan kontroversial dari pejabat publik di antaranya:
1. Pada 7 Agustus 2025, di acara Forum Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri di ITB, muncul potongan video yang menyebut guru dan dosen sebagai "beban negara", memicu kemarahan publik. Namun, klarifikasi Kemenkeu menyatakan video itu merupakan rekayasa deepfake. Pernyataan asli Sri Mulyani adalah:
“... menjadi dosen atau menjadi guru tidak dihargai karena gajinya nggak besar, ini salah satu tantangan bagi keuangan negara.”
Ia bahkan mempertanyakan model pendanaan pendidikan: “Apakah semuanya harus keuangan negara ataukah ada partisipasi dari masyarakat?”(suara.com)
Meskipun maksudnya reflektif, gaya penyampaian dianggap kurang empatik, terutama oleh kalangan pendidik yang merasa terluka.
2. Pada 10 Agustus 2025, dalam acara Zikir Nasional dan Ikrar Bela Negara, Zulhas menyatakan:
“Tidak boleh rakyat kita diajarkan meminta‑minta terus, sedekah terus… kita harus ajari rakyat kita kreatif, produktif.” (Hukamanews)
Meskipun boleh jadi dimaksudkan sebagai motivasi, pernyataan ini dinilai menyinggung karena terdengar seperti menyalahkan rakyat yang butuh bantuan—terutama di tengah tekanan ekonomi pasca pandemi dan jelang peringatan HUT RI ke‑80.
3. Terkait kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB‑P2) tanpa melibatkan publik di berbagai wilayah di Indonesia —diumumkan di awal Agustus 2025, .
Protes besar meletus di Pati pada 13 Agustus 2025 dengan kenaikan 250% dari sebelumnya, kebijakan ini arogan dan menyakitkan rakyat Pati. Sorotan publik juga tertuju pada ucapan Sudewo (Bupati Pati) yang dianggap menantang rakyat (NUonline)
Kritik dari Amnesty International Indonesia juga menyoroti kebijakan ini sebagai simbol kekuasaan yang represif, menyebutnya sebagai indikator arogansi pejabat terhadap aspirasi publik.
4. Pada 10 Agustus 2025, beredar pernyataan dari Nusron Wahid yang menyebut bahwa:
“Tanah itu tidak ada yang memiliki, yang memiliki tanah itu negara, orang itu hanya menguasai.”
“Masyarakat hanya berhak menguasai atau mengelola tanah tersebut sesuai peraturan yang berlaku.”
“Kepemilikan sah baru diakui jika telah memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM).”
“Ini tanah mbah saya… emang mbah atau leluhur bisa membuat tanah? Tidak bisa membuat tanah.”
Pernyataan ini dianggap menyesatkan oleh masyarakat adat dan aktivis HAM. Kritik utamanya adalah bahwa Nusron menolak legitimasi hak kepemilikan atas tanah berdasarkan tradisi, adat, atau bukti non-formal lainnya—padahal secara hukum, hak-hak tersebut tetap diakui, seperti oleh UUPA 1960 dan realitas masyarakat adat.
5.mentri Patrikno koordinator bidang pembangunan manusia dan kebudayaan yang enggan menanggapi menyerahkan sepenuhnya kepada kementrian kesehatan dan mengaku sedang mengantuk saat sedang diwawancara media, ditanya soal balita yang meninggal karena cacingan (21 Agustus 2025, kompas.com)
Tepat 80 tahun Indonesia merdeka. ketika para pejabat tidak lagi merakyat yang seharusnya mewakili suara rakyat. Namun, di berbagai kesempatan, muncul kesan bahwa sebagian pejabat merasa lebih tinggi dari rakyat yang mereka wakili. Hal ini terlihat dari keputusan-keputusan yang diambil tanpa melibatkan partisipasi masyarakat secara memadai, bahkan terkesan mengabaikan aspirasi yang disuarakan.
Misalnya, pengesahan Undang-Undang yang mendapat penolakan luas dari masyarakat tetap dijalankan dengan cepat, tanpa transparansi dan diskusi publik yang cukup. Di saat yang sama, fasilitas mewah yang diterima para pejabat, seperti tunjangan tinggi, rumah dinas mewah, atau pembangunan gedung parlemen yang menelan biaya fantastis, sering kali menimbulkan pertanyaan mengenai prioritas lembaga tersebut.
Ketika rakyat bersuara, respons dari beberapa pejabat kadang justru menyinggung perasaan publik, dengan narasi yang mengesankan jarak antara wakil dan yang diwakili. Padahal, kekuasaan yang dimiliki para pejabat berasal dari amanah rakyat.
Seharusnya hal ini membuka mata kita bahwa sistem saat ini yaitu kapitalisme adalah sistem yang rusak dan merusak. Dampak dari sistem kapitalisme adalah sistemis, tidak hanya menimpa perseorangan, atau suatu kelompok masyarakat saja. Bahkan para pejabat dalam sistem kapitalisme yang menjadi penikmat cuan. Dalam sistem saat ini banyak orang yang rela membayar mahal demi mendapatkan jabatan. Jabatan tidak lagi dianggap sebagai amanah yang besar. Perilaku aji mumpung yang membudidaya, kerap menjadikan jabatan sebagai jalan tol untuk mengumpulkan dan menambah kekayaan.
Tidak hanya itu, sistem kapitalisme telah menjadikan harta sebagai standar kebahagiaan sehingga hal ini sangat berpotensi melahirkan para pejabat yang tamak. Alih alih sebagai pelayan rakyat, mereka justru minta dilayani. Merasa pantas mendapat pelayanan dan fasilitas terbaik tanpa merasa perlu berempati dengan kesulitan yang dialami masyarakat. Sikap ini juga mengikuti keluarga para pejabat. Gaya hidup glamor yang dipamerkan di media sosial tanpa segan.
Potret pejabat di sistem kapitalisme saat ini sangat berbeda d dengan pejabat di dalam sistem Islam. Dalam Islam, jabatan adalah amanah yang sangat besar tanggung jawabnya di dunia dan dimakan dipertanggung jawabkan di akhirat kelak. Pernah suatu ketika Abu Dzar al-Ghifari ra meminta kepada Rasulullah saw agar diberi jabatan, lalu Rosul bersabda “wahai Abu Dzar, sungguh engkau lemah. Sungguh kekuasaan itu adalah amanah, dan sungguh akan menjadi kerugian dan penyesalan pada hari kiamat, kecuali larang yang mengambil amanah itu dengan benar dan menunaikan kewajibannya di dalamnya” HR.Muslim
Karakter pejabat dalam Islam mereka adalah orang orang yang terdepan dalam ketaatan serta teladan yang baik dalam kedzuhudan. Mereka adalah orang pertama yang merasakan lapar dan yang terakhir merasakan kenyang. Mereka membawa masyarakatnya ke puncak keagungan melalui penerapan Islam secara kaffah.
Seperti halnya, khilafah Umar bin Khattab adalah teladan yang baik. Disaat negara sedang paceklik karena kemarau panjang, beliau yang merasakan lapar pertama. Ketika ada orang yang mengantar susu dan makanan, beliau bertanya “ apakah rakyatku juga mendapatkannya? jika rakyatnya tidak mendapatkannya, maka beliau tolak. Beliau tidak pernah bersikap aji mumpung menikmati fasilitas negara demi kepentingan pribadi.
Seorang pemimpin (khalifah) tidak akan memilih orang yang rakus dan cinta jabatan. Beliau akan memilih orang kuat dan terpercaya. Umar ra tidak ingin pejabatnya terfitnah oleh dunia, bermewah mewah, atau mendapat kelapangan hidup karena jabatan. Beliau berkata “aku menginginkan laki-laki yang jika ia berada ditengah suatu masyarakat yang tidak memiliki seorang pemimpin, ia tanpak seakan-akan menjadi pemimpin bagi mereka. Jika ia menjadi pemimpin di tengah suatu masyarakat, ia seakan-akan salah satu dari rakyat yang dipimpinnya.
Sebagai seorang muslim apapun posisi serta jabatannya akan menjadikan harta sebagai sarana untuk beribadah kepada Allah, bukan untuk bermewah-mewah. Pejabat pada masa Islam merupakan orang orang yang sederhana hidupnya, tetapi sangat bertanggung jawab pada amanah jabatannya.
Posting Komentar