Stop Menyetarakan Pajak dengan Zakat, Telaah Sistem Islam di Tengah Krisis Kapitalisme
Oleh : Ainaya Afifah
Pajak selalu menjadi bahan perdebatan hangat di negeri ini. Baru-baru ini, pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyamakan pajak dengan zakat dan wakaf memicu kontroversi. Tujuannya jelas, untuk mendorong kepatuhan masyarakat di tengah penerimaan pajak yang seret. Namun, benarkah pajak bisa disamakan dengan zakat atau wakaf? Pertanyaan ini penting, sebab di baliknya terdapat perbedaan mendasar antara cara pandang sistem kapitalisme yang kita jalani saat ini dengan ajaran Islam dalam mengatur distribusi kekayaan.
Dalam sistem kapitalisme modern, pajak menjadi tulang punggung ekonomi negara. Hampir setiap tahun, pemerintah mengandalkan pajak untuk membiayai belanja negara. Kontribusinya bahkan mencapai lebih dari 80 persen penerimaan APBN. Ketika penerimaan melemah, pemerintah pun mencari berbagai cara untuk menutup defisit, termasuk melahirkan ide-ide pajak baru. Wacana pajak warisan, pajak karbon, hingga pajak rumah ketiga muncul ke permukaan. Di saat yang sama, tarif pajak lama seperti Pajak Bumi dan Bangunan dinaikkan berkali-kali lipat. Hal ini tentu berdampak langsung pada rakyat, terutama kalangan menengah ke bawah yang sudah terbebani dengan biaya hidup sehari-hari.
Masalahnya, pajak dalam kapitalisme sering kali tidak sejalan dengan kepentingan rakyat banyak. Pajak memang diklaim sebagai instrumen pemerataan, tetapi dalam praktiknya lebih sering menjadi alat negara untuk menutup kekurangan anggaran akibat sistem yang salah urus. Ironisnya, ketika rakyat kecil dituntut membayar pajak hingga ke kebutuhan pokok yang dikenai PPN, kelompok kapitalis besar justru mendapat keringanan melalui program semacam tax amnesty atau fasilitas fiskal lain yang memberi ruang bernapas luas bagi korporasi raksasa. Dengan kata lain, pajak yang dikumpulkan dari rakyat tidak otomatis kembali untuk rakyat. Dana pajak kerap dipakai untuk proyek-proyek infrastruktur yang lebih menguntungkan investor ketimbang masyarakat luas, seperti pembangunan jalan tol berbayar atau kawasan industri yang dikuasai swasta.
Di sisi lain, kapitalisme juga membuka pintu lebar bagi privatisasi sumber daya alam. Minyak, gas, tambang, dan berbagai aset publik sering kali jatuh ke tangan swasta, bahkan asing. Negara hanya berperan sebagai pemungut pajak dari aktivitas eksploitasi itu. Konsekuensinya jelas: kekayaan alam yang seharusnya dinikmati seluruh rakyat malah dikuasai segelintir pihak. Ketika negara semakin bergantung pada pajak, rakyatlah yang dipaksa menutup kekurangan, sementara kapitalis besar justru menikmati fasilitas dan keuntungan. Situasi ini menjelaskan mengapa jurang kesenjangan semakin lebar—yang kaya kian kaya, yang miskin kian terhimpit.
Berbeda dengan itu, Islam memiliki kerangka distribusi kekayaan yang sama sekali lain. Islam tidak menempatkan pajak sebagai tulang punggung keuangan negara. Justru, ada mekanisme lain yang lebih adil dan berakar kuat pada syariat, yaitu zakat, wakaf, dan sistem baitulmal. Zakat, misalnya, merupakan rukun Islam yang wajib ditunaikan oleh setiap muslim yang hartanya telah mencapai nisab dan haul. Zakat bukan sekadar pungutan finansial, tetapi sebuah ibadah yang bernilai spiritual sekaligus sosial. Lebih penting lagi, sasaran distribusi zakat sangat jelas. Al-Qur’an dalam surah At-Taubah ayat 60 menyebutkan delapan golongan yang berhak menerima zakat, mulai dari fakir, miskin, amil, hingga ibnu sabil. Artinya, zakat sejak awal dirancang untuk benar-benar menyentuh kelompok yang membutuhkan, bukan untuk kepentingan elite atau proyek ambisius pemerintah.
Selain zakat, ada wakaf yang dalam sejarah Islam berperan besar dalam menopang kesejahteraan masyarakat. Wakaf memang bersifat sukarela dan bukan kewajiban seperti zakat, namun keberadaannya sangat vital. Banyak fasilitas pendidikan, kesehatan, bahkan infrastruktur sosial yang berdiri berkat wakaf. Keistimewaan wakaf terletak pada sifatnya yang abadi: aset yang diwakafkan tidak boleh dijual atau diwariskan, tetapi manfaatnya terus mengalir untuk umat. Dengan cara ini, wakaf menjadi instrumen sosial yang sangat efektif dalam membangun peradaban dan memperkuat kemandirian masyarakat.
Adapun soal pajak dalam Islam, kedudukannya sangat berbeda dengan konsep pajak dalam kapitalisme. Ulama klasik menyebut pajak dengan istilah *dharibah*, yang sifatnya bukan permanen, melainkan temporer dan hanya berlaku dalam kondisi tertentu. Pajak dalam Islam hanya boleh dipungut ketika baitulmal kosong dan ada kebutuhan mendesak yang harus dipenuhi negara. Bahkan, pemungutannya pun terbatas hanya pada laki-laki muslim yang kaya, bukan kepada semua orang. Dengan demikian, pajak dalam Islam bukan sumber utama, melainkan sekadar instrumen darurat. Perbedaan ini sangat mencolok dibandingkan sistem kapitalisme yang menjadikan pajak sebagai nafas utama anggaran negara.
Jika kita menengok konsep baitulmal, kita akan melihat betapa komprehensifnya Islam mengatur sumber keuangan negara. Baitulmal menampung berbagai pemasukan, mulai dari kepemilikan umum seperti minyak, gas, dan tambang yang wajib dikelola negara, hingga kepemilikan negara seperti kharaj, jizyah, dan ghanimah. Zakat juga masuk dalam pos pemasukan, dengan distribusi yang jelas dan terukur. Dengan sistem ini, negara Islam tidak pernah bergantung pada pajak rakyat untuk membiayai kebutuhannya. Justru, salah satu sumber terbesar berasal dari pengelolaan sumber daya alam yang hasilnya dikembalikan sepenuhnya kepada rakyat.
Perbedaan mendasar ini memperlihatkan bahwa dalam kapitalisme, negara sesungguhnya menjadi alat untuk melanggengkan kepentingan kapitalis. Pajak dipungut dari rakyat, tapi hasilnya sering dipakai untuk menguntungkan kelompok tertentu. Sementara dalam Islam, negara berperan sebagai pengelola amanah yang memastikan setiap sumber daya dan kewajiban keuangan benar-benar diarahkan untuk kesejahteraan umat. Zakat memastikan distribusi kekayaan berjalan merata, wakaf memperkuat pembangunan sosial, sementara pajak syar’i hanya muncul dalam keadaan darurat dan dengan aturan yang ketat.
Kritik terhadap kapitalisme semakin relevan ketika melihat dampak sosial-ekonomi yang ditimbulkannya. Kesenjangan ekonomi semakin parah, angka kemiskinan sulit ditekan, dan ketergantungan negara pada utang asing semakin besar. Pajak yang seharusnya menjadi solusi justru berubah menjadi beban tambahan bagi masyarakat. Sementara itu, model ekonomi Islam menawarkan jalan keluar yang lebih adil. Ketika zakat ditunaikan dengan benar, potensi dana yang terkumpul bisa mencapai triliunan rupiah per tahun. Ditambah dengan optimalisasi wakaf produktif dan pengelolaan SDA oleh negara, kesejahteraan rakyat bisa tercapai tanpa harus menekan masyarakat dengan pajak yang mencekik.
Kesimpulannya, menyamakan pajak dengan zakat atau wakaf adalah penyederhanaan yang keliru. Pajak dalam kapitalisme adalah kewajiban permanen yang sering menindas rakyat kecil, sedangkan zakat adalah ibadah wajib yang memiliki aturan distribusi jelas, dan wakaf adalah amal sukarela yang manfaatnya abadi. Pajak dalam Islam pun berbeda sama sekali, karena hanya dipungut dalam keadaan darurat dan dengan cakupan terbatas. Dengan demikian, Islam menawarkan paradigma ekonomi-politik yang lebih manusiawi dan berkeadilan. Di tengah kebuntuan sistem kapitalisme yang semakin membebani rakyat, model Islam layak dilirik sebagai solusi nyata untuk membangun kemandirian negara dan kesejahteraan seluruh rakyat.
Posting Komentar