Saat Cinta Menggeser Akidah, Kritik atas Kurikulum Berbasis Cinta
Oleh : Nabila Muthmainnah
Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag) baru-baru ini meluncurkan sebuah terobosan dalam dunia pendidikan Islam yang diberi nama Kurikulum Berbasis Cinta (KBC). Digambarkan sebagai wajah baru pendidikan Islam yang lebih humanis, inklusif, dan spiritual, kurikulum ini dinilai sebagai langkah besar untuk merespons krisis kemanusiaan, intoleransi, serta kerusakan lingkungan yang makin mengkhawatirkan. Namun, di balik nama yang terdengar indah dan penuh harapan itu, terdapat berbagai catatan kritis yang perlu dikaji lebih dalam, khususnya dari sudut pandang ideologis dan keislaman.
Sekilas, gagasan Kurikulum Berbasis Cinta terdengar menjanjikan: pendidikan yang berlandaskan kasih sayang, toleransi, dan penghargaan terhadap keberagaman. Namun, pertanyaan yang muncul adalah: cinta versi siapa yang dijadikan dasar? Apakah cinta yang dimaksud adalah cinta yang bersumber dari ajaran Islam yang murni, ataukah cinta yang dikonstruksi oleh nilai-nilai sekuler yang mengesampingkan hukum-hukum Allah?
Salah satu persoalan mendasar dalam KBC adalah upaya deradikalisasi sejak dini yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari kurikulum ini. Narasi radikalisme kerap disematkan pada umat Islam yang ingin menjalankan ajaran agamanya secara kaffah, terutama mereka yang memperjuangkan penerapan syariat Islam secara menyeluruh. Ironisnya, dalam kerangka kurikulum ini, mereka yang teguh pada agamanya justru distigmatisasi sebagai radikal dan ekstrem, bahkan tidak jarang mengalami persekusi, pembubaran kajian, dan tekanan sosial lainnya.
Sementara itu, kurikulum ini tampak begitu lunak terhadap kelompok non-Muslim. Sikap hormat, lembut, dan toleran justru lebih diutamakan kepada mereka, hingga pada titik-titik tertentu bisa melemahkan *ukhuwah Islamiyah*. Seakan-akan, umat Islam diajarkan untuk bersikap keras terhadap saudara seiman yang berbeda pandangan, namun sangat lembut kepada pihak yang secara ideologi tidak berada dalam barisan Islam. Ketimpangan ini menunjukkan adanya standar ganda dalam membentuk karakter generasi Muslim.
Masalah berikutnya adalah dasar ideologis dari KBC. Alih-alih berlandaskan akidah Islam, kurikulum ini justru dibangun di atas nilai-nilai sekularisme yang menjadikan akal manusia sebagai penentu benar dan salah. Hal ini sangat bertentangan dengan prinsip pendidikan dalam Islam, di mana akidah Islam harus menjadi fondasi utama dari setiap aspek kehidupan, termasuk dalam dunia pendidikan. Pendidikan dalam Islam bukan hanya untuk mencetak manusia yang cerdas secara akademik, melainkan untuk membentuk pribadi yang taat secara totalitas kepada syariat Allah.
Jika kurikulum pendidikan tidak menjadikan akidah Islam sebagai asasnya, maka akan lahir generasi yang tercerabut dari identitas keislamannya, serta mudah larut dalam arus pemikiran Barat yang liberal dan permisif. Sebaliknya, bila akidah dijadikan dasar kurikulum, umat akan memiliki pondasi kuat untuk menghadapi berbagai tantangan zaman dan mampu menyelesaikan masalah kehidupan dengan petunjuk wahyu.
Dengan demikian, Kurikulum Berbasis Cinta tidaklah sesederhana yang terlihat. Di balik istilah "cinta", tersimpan agenda besar pembentukan paradigma berpikir sekuler dan moderat dalam generasi Muslim. Oleh karena itu, umat Islam perlu waspada dan kritis terhadap setiap kebijakan pendidikan yang menjauhkan mereka dari syariat Islam. Solusi sejati bagi problem pendidikan adalah dengan mengembalikan sistem kurikulum yang berbasis pada akidah Islam, bukan sekadar cinta dalam narasi humanisme yang menyesatkan.
Posting Komentar